[Laporan Riset] Pelanggaran Hak-hak Digital di Papua Bagian Barat

SAFEnet baru saja menyelesaikan riset tentang pelanggaran hak-hak digital di Papua Barat berjudul Su Tra Bisa Bendung. Penelitian selama lima bulan itu menemukan bahwa pelanggaran hak-hak digital di daerah paling bergejolak di Indonesia itu terjadi mulai dari pembatasan akses internet, kriminalisasi, hingga serangan digital secara kasar maupun halus.

Menggunakan metode campuran; kualitatif dan kuantitatif, tim riset memantau di lapangan bagaimana situasi hak-hak digital di Papua Bagian Barat.

Pertama, pemenuhan hak digital masyarakat Papua Bagian Barat untuk mengakses internet menunjukkan adanya ambivalensi. Di satu sisi memang terjadi peningkatan pembangunan infrastruktur di bagian timur Indonesia ini. Perkembangan ini dipicu sejumlah proyek strategis nasional, misalnya, Palapa Ring yang meliputi wilayah Indonesia timur termasuk Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Meskipun demikian, pembangunan infrastruktur masih menghadapi sejumlah tantangan. Misalnya, kurangnya pilihan perusahaan jasa layanan internet selain perusahaan milik pemerintah serta kesenjangan akses dari sisi geografis.

Ambivalensi akses internet ini terasa ketika melihat pembatasan, terutama dari sisi politis. Setiap kali ada kejadian sosial politik, misalnya unjuk rasa, akses Internet tiba-tiba terganggu. Koneksi internet dari perangkat bergerak yang biasanya dipakai melakukan siaran langsung di media sosial dan mengirim berita langsung mati. Masyarakat pun terhambat dalam pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka. Pemutusan akses internet dalam skala besar pernah terjadi di Papua Bagian Barat pada tahun 2019 yang oleh Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan sebagai tindakan melanggar konstitusi.

Kedua, praktik-praktik penurunan konten digital di situs dan media sosial, pengancaman dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap individu atau organisasi masyarakat sipil tertentu menjadi modus untuk memberangus ekspresi. Praktik ini menimbulkan ketakutan dan berdampak jangka panjang (chilling effect) terutama untuk menggunakan pada platform paling populer di Papua Bagian Barat, yaitu Facebook.

Pasal yang paling sering ditodongkan kepada aktivis Papua Bagian Barat adalah pasal-pasal dalam UU ITE dan pasal-pasal yang berkaitan dengan makar. Targetnya adalah aktivis yang sudah terkenal di komunitas, punya pengaruh, dan punya banyak pengikut. Aparat kepolisian menggunakan barang bukti dari tangkapan layar status Facebook yang sudah disimpan dan bisa digunakan setiap saat. Tangkapan layar itu digunakan untuk menjerat para aktivis, atau setidaknya sebagai “alat tukar”.

Beberapa aktivis diminta untuk menghapus status yang sudah mereka buat, menandatangani surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi membuat status serupa, dan dipaksa untuk membuat status baru sebagai klarifikasi atas status yang sudah mereka buat sebelumnya.

Tuduhan lain adalah provokasi di media sosial sebagaimana marak terjadi setelah terjadi tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua pada 2019. Tak hanya ancaman kriminalisasi, warga juga menghadapi pembatasan ekspresi di mana beberapa video yang memperlihatkan aksi kekerasan aparat berakhir dengan penghapusan materi tersebut dari media sosial.

Ketiga, serangan digital terhadap aktivis dan jurnalis Papua Bagian Barat. Serangan ini pada umumnya memiliki tren serangan kasar dalam bentuk upaya peretasan (hacking), pemancingan (phishing) dan pengambilalihan akun. Kanal dan situs organisasi atau komunitas diserang dengan metode serangan distributed denial of service (DDoS) sehingga situs menjadi lumpuh dan tidak dapat diakses.

Serangan digital juga terjadi dalam bentuk lebih lunak yaitu doxing data pribadi, dan penghapusan konten secara sepihak oleh platform digital atas pertimbangan yang terkadang tidak jelas. Selain itu, ada indikasi gerakan masif dan tersistematis untuk mengontrol wacana di media sosial melalui perang informasi yang menyudutkan gerakan-gerakan aktivis, jurnalis, serta organisasi masyarakat sipil.

Sebagaimana rentannya masyarakat sipil dalam menyuarakan pendapatnya di ruang publik, misalnya rentannya serangan, penangkapan dan pembatasan, keadaan tak jauh berbeda terjadi pula di ranah daring. Bahkan, serangan-serangan digital dalam lima tahun terakhir terhadap aktivis dan jurnalis di Papua Bagian Barat secara paralel menjadi ruang masuk bagi penangkapan fisik sebagaimana yang terjadi pada pembungkaman secara digital.

Laporan versi lengkap bisa diunduh di tautan laporan Su Tra Bisa Bendung.