Nicholas Negroponte, penulis buku Being Digital yang terbit pada tahun 1995 bernubuat: “Computing is not about computers any more. It is about living.”
Ia sudah membayangkan bahwa pada suatu ketika, revolusi teknologi informasi akan membebaskan komputer dari sekedar kotak berisi keyboard dan layar hingga menjadi benda- benda yang kita gunakan untuk berbicara, kendarai, sentuh, bahkan gunakan. Senyatanya kini kita melihat teknologi informasi telah mengubah cara hidup; cara kita berbisnis, cara kita belajar, cara kita menggunakan waktu luang kita, cara kita kontak dengan pemerintah, dan cara kita berdemokrasi.
Bahkan Frank La Rue, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Ekspresi dan Akses Informasi 2008-2014 menulis dalam laporan pada 16 Mei 2011 bahwa internet menjadi instrumen paling kuat dalam abad ke-21 untuk meningkatkan transparansi dalam mengawasi pemerintahan, memberi akses pada informasi, dan juga memfasilitasi warga untuk berpartisipasi dalam membangun masyarakat yang demokratis. Internet bukan hanya memampukan seseorang untuk menggunakan hak untuk berpendapat secara bebas, tetapi juga menyuarakan HAM dan mendorong kemajuan masyarakat ke arah yang lebih baik. Internet juga berperan untuk memenuhi hak atas kebenaran.
Lalu selama 20 tahun terakhir ini, kita bisa melihat bagaimana internet mengubah dunia. Kejatuhan Soeharto di Indonesia (1998), Indignados & Podemos di Spanyol (2011), The Arab Spring di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, Suriah, Bahrain. Memicu protes besar di Aljazair, Irak, Yordania, Maroko, dan Oman, dan protes kecil di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Arab Saudi, Sudan, dan Sahara Barat. (2010-2012), Referendum Uni Eropa/Brexit (2016) hingga Referendum Catalonia (2017). Dalam pidato di depan Referendum Uni Eropa pada 25 Juni 2009, Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan, “Internet adalah alat penyerbuk luar biasa yang mengubah pertarungan seorang diri menjadi kampanye massal; mengubah erangan menjadi gerakan; menggairahkan perhatian ratusan, ribuan, jutaan orang dan membangkitkan mereka untuk bertindak.” Selama itu pula kita melihat bagaimana masyarakat sedang menggunakan internet untuk melakukan counter-power; cara mengkontestasi kekuasaan yang selama ini dikendalikan oleh negara, agama, dan oligarki.
Namun “Sama seperti tanah, air, udara, dunia siber menjadi rebutan dan perebutan itu dapat menciptakan konflik,” tulis Laura DeNardis dalam buku The Global War for Internet Governance (2014). Negara lekas-lekas mengambil langkah untuk meregulasi internet.
John G. Palfrey, Jr. membagi 4 fase proses regulasi dunia siber. Fase 1: The Open Commons/Open Internet (1960 – 2000) – Periode negara-negara mengabaikan internet atau hanya mengatur internet seperlunya saja. Fase 2: Access Denied (2000 – 2005) – Periode negara-negara mulai berpikir aktivitas dan pemikiran di internet perlu diblokir dengan segala cara. Mulai dari China, Singapura dan Myanmar. Fase 3: Access Controlled (2005 – 2010) – Periode negara mulai menggunakan pendekatan regulasi untuk tak hanya memfilter/ memblokir, tapi sebagai mengontrol internet. Fase 4: Access Contested (2010 – sekarang) – Periode ada dan akan lebih banyak terjadi penolakan terhadap kontrol internet.
Di Asia Tenggara, terjadi pengekangan kebebasan ekspresi online lewat dikeluarkannya banyak regulasi yang menghukum seseorang bila kedapatan melanggar dengan ancaman pidana yang lebih berat dari hukum pidana. Bahkan ancaman hoax pun digunakan sebagai dalih untuk melakukan pengetatan atas konten apa yang diposting di internet.
Karenanya, Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi dan Akses Informasi David Kaye menerbitkan rekomendasi-rekomendasi bagi negara dan korporasi agar perlu menggunakan pendekatan Hak Asasi Manusia dalam pengaturan platform konten untuk memperbaiki mekanisme penanganan konten online oleh negara dan perusahaan platform media sosial yang selama ini sering memarjinalkan hak akses pada informasi, kebebasan pers dan kebebasan berekspresi.
[embeddoc url=”https://safenet.or.id/wp-content/uploads/2018/06/Pengekangan-Kebebasan-Ekspresi-Online-di-Asteng.pdf” download=”all” height=”50%”]
* Dipresentasikan dalam acara “Membincang Demokrasi dan HAM di Asia” di Jakarta, 29 Juni 2018.