[Rilis Pers] Kriminalisasi Ecky Lamoh Adalah Ancaman Serius Bagi Kehidupan Demokrasi

Dalam rilis yang disebarluaskan pada 28 Juni 2018, LBH Yogyakarta menyatakan kasus Ecky Lamoh merupakan ancaman serius bagi kehidupan demokrasi. Isi siaran pers selengkapnya bisa dibaca berikut ini.

Siaran Pers LBH Yogyakarta:
Kriminalisasi Ecky Lamoh Dengan Pasal 27 ayat 3 UU ITE Ancaman Serius Bagi Kehidupan Demokrasi

Sidang perdana kasus terhadap Ecky Lamoh, digelar hari ini, Kamis, 28 Juni 2018 di Pengadilan Negeri Bantul. Persidangan ini menambah panjang daftar kriminalisasi menggunakan pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sebelumnya kami mendampingi Ervani Emy Handayani dan Fatkhurohman yang juga kena pasal serupa.

Sekilas, kasus yang menimpa Ecky Lamoh bermula dari kasus tindak pidana penipuan dan penggelapan yang diduga dilakukan oleh HS, yang menempatkan Ecky sebagai korban. Ecky sudah mengadukan kejadian itu ke Kantor Polres Bantul sejak sekitar 2013. Namun, laporan itu lamban ditindaklanjuti. Sampai pada 22 September 2015, sekira dua tahun sesudah laporan dilayangkan, Ecky mengunggah status di akun Facebook miliknya. Ia menuliskan keluh kesah bernada kritik terkait dengan lambatnya penanganan polisi atas laporannya sebagai korban. Bukannya ditanggapi dengan respon cepat, Ecky justru dilaporkan balik oleh HS dan parahnya polisi menindaklanjutinya dengan menetapkan Ecky menjadi tersangka hingga menggulirkan perkaranya ke persidangan.

Senyatanya, Ecky bikin status tersebut niatnya cuma kritik atas kinerja polisi yang tak sigap dan cenderung lambat. Sama sekali tak terbersit niat mencemarkan nama HS. Toh, belakangan sekira 2017 HS juga ditetapkan sebagai tersangka. Jadi tidak ada yang salah dari kalimat-kalimat yang ditulis di dalam Facebooknya. Ecky-lah yang sesungguhnya menjadi korban. Korban yang oleh polisi justru ditersangkakan. Ia dituduh telah melakukan pencemaran nama, melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE untuk menjerat Ecky Lamoh jelas salah kaprah. Pertama, Ecky adalah korban yang mustinya memperoleh pelayanan secara profesional dari polisi. Kedua, tindakan Ecky merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia, yakni hak untuk menyatakan pikiran dan pendapat (ekspresi), apalagi pendapat itu adalah kritik terhadap kerja institusi. Ketiga, polisi menutup mata bahwasanya pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan ketentuan yang sangat represif dan anti demokrasi. Sebagaimana sudah disampaikan di awal, telah banyak korban berjatuhan (dipenjara) gara-gara keberadaan pasal karet ini.

Sikap polisi yang menetapkan Ecky Lamoh sebagai tersangka dan jaksa yang melimpahkan perkara ke pengadilan sungguh telah mengabaikan aspek-aspek hak asasi manusia. Sebagai aparatur negara, semestinya polisi dan jaksa menjadi pemangku kewajiban yang menghormati, melindungi dan memenuhi hak warga negaranya. Konstitusi, UUD 1945, sudah memaklumatkan, Indonesia adalah negara hukum. Pilihan terhadap paham negara hukum menimbulkan konsekuensi kewajiban bagi negara untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia, termasuk juga kebebasan untuk berpendapat. Terlebih Pasal 28E ayat 2 menerangkan, setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ayat 2 pasal yang sama kembali menegaskan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Menyimak bunyi pasal 28E ayat 2 dan 3 tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kebebasan untuk berpendapat merupakan hak konstitusional warga negara yang tak dapat belenggu.
Di samping itu Indonesia telah meratifikasi Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Politik dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005. Pada pasal 19 ayat 1 menyatakan, setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu. Kemudian pada ayat 2 kembali ditekankan, setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni atau melalui media lainnya sesuai dengan pilihannya. Kebebasan berpendapat terdapat pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 23 ayat 2 secara garis besar mengakomodasi hak setiap orang untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik. Terlebih bagi polisi, mustinya polisi menerapkan Perkap Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Standar Dan Pokok Pokok HAM dalam tugas-tugas kepolisian.

Bertolak dari hal-hal tersebut, nyata Pasal 27 ayat 3 UU ITE semakin dipakai serampangan untuk menjerat suara-suara kritis warga di dunia maya. Kasus Ecky yang harus dibawa ke persidangan kian memperlihatkan, polisi maupun jaksa, abai terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Kasus kriminalisasi Ecky Lamoh, penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE merupakan ancaman serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Karena pasal ini kebebasan berekspresi dikebiri. Oleh karena itu, kami menuntut hakim untuk membebaskan Ecky Lamoh dari segala dakwaan dan kepada negara untuk menghapuskan pasal 27 ayat 3 UU ITE serta menjamin kebebasan warga negara untuk menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nuraninya.

Yogyakarta, 28 Juni 2018
Hormat kami
Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta