Rilis Pers
Tim Advokasi Untuk Demokrasi
“Perkembangan Pendampingan Hukum: Penangkapan dan Penahanan Delpedro dkk. Memperburuk Kebebasan Sipil di Indonesia”
Sabtu, 6 Agustus 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mengecam keras proses hukum terhadap aktivis maupun pegiat media sosial yang dituduh sebagai penghasut dalam berbagai aksi demonstrasi sepanjang 25 sampai dengan 31 Agustus 2025.
Sebelumnya, Pada 1 September 2025, Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation ditangkap oleh Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya atas tuduhan menghasut orang-orang untuk demonstrasi yang terjadi selama sepekan terakhir. Penangkapan atas tuduhan yang serupa juga terjadi pada Syahdan Hussein (admin akun Gejayan Memanggil), Muzaffar Salim. Hal serupa juga dialami Khariq Anhar, seorang aktivis mahasiswa asal Riau pada 29 Agustus 2025.
Peristiwa ini terjadi di tengah meningkatnya kekhawatiran publik atas tindakan represif aparat yang sebelumnya telah menangkap ribuan demonstran di berbagai wilayah dengan tuduhan keterlibatan dalam kerusuhan. Selain itu, di saat publik menuntut transparansi dan akuntabilitas kepolisian atas tewasnya sedikitnya 10 orang selama demonstrasi, aparat justru memprioritaskan proses hukum terhadap mereka yang menyuarakan pendapat di ruang publik dan media sosial.
Selain itu, proses hukum yang dijalankan terhadap para aktivis dan penggiat media sosial ini memperkuat dugaan bahwa sedang berlangsung operasi perburuan “kambing hitam” (scapegoating) semata-mata untuk meredam situasi sosial-politik, tanpa menyentuh akar persoalan yang sebenarnya. Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya eskalasi konflik di tengah gelombang demonstrasi yakni terkait peristiwa pelindasan Affan Kurniawan yang menaikkan amarah publik dan juga penggunaan gas air mata berlebihan dan tidak adanya itikad baik dari pemerintah atau pun kepolisian untuk meredam konflik tersebut, alih-alih sebaliknya, mencari “kambing hitam” terhadap orang-orang yang ingin menikmati kebebasan konstitusionalnya sebagai warga negara.
Kami menilai proses hukum ini merupakan bentuk kriminalisasi, karena instrumen hukum pidana tidak digunakan sebagaimana mestinya, melainkan justru dijadikan alat untuk membungkam kebebasan berpendapat dan berekspresi warga negara. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi selaku kuasa hukum berpandangan sebagai berikut:
Pertama, kami dengan tegas menyampaikan bahwa demonstrasi atau protes adalah hak konstitusional dari setiap warga negara Indonesia yang dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai instrumen hukum dan HAM. Demonstrasi bukan tindakan kriminal. Oleh karena itu, partisipasi dalam demonstrasi, termasuk menyerukan aspirasi melalui media sosial, tidak serta merta dapat dijadikan dasar kriminalisasi.
Dalam konteks hukum pidana, tuduhan-tuduhan yang dialamatkan terhadap Delpedro dkk mensyaratkan adanya ajakan yang eksplisit dan akibat nyata berupa pelanggaran hukum yang dapat dirunut sebab-akibatnya (kausalitas) dengan jelas. Namun, dalam kasus Delpedro dkk., tidak ditemukan bukti yang memenuhi unsur-unsur tersebut. Tuduhan yang dialamatkan lemah secara hukum dan berpotensi melanggar prinsip due process of law.
Tuduhan yang ada justru terkesan konspiratif karena dengan serampangan mengaitkan antara postingan di media sosial dengan kerusuhan yang terjadi di sepanjang 25-31 Agustus 2025. Padahal jika dicermati, eskalasi kemarahan warga bukan karena postingan media sosial, melainkan karena berbagai kebijakan Pemerintah dan DPR yang dianggap tidak adil hingga kematian alm. Affan Kurniawan karena dilindas kendaraan milik Brimob Polri.
Kedua, ambisi untuk mengungkap apa yang terjadi dan siapa dalang di balik serangkaian aksi demonstrasi ini justru bersifat kontraproduktif dan tidak menjawab kebutuhan publik. Hingga saat ini, publik masih bertanya-tanya mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dalam berbagai pemberitaan, muncul dugaan kuat adanya keterlibatan pihak-pihak di luar kalangan demonstran yang menunggangi penyampaian aspirasi masyarakat dalam aksi-aksi yang berlangsung pada 25–31 Agustus 2025. Selain itu, penyebab kematian 10 orang dalam rentang waktu tersebut juga belum diusut secara tuntas dan menyeluruh.
Dalam konteks ini, sangat wajar apabila proses hukum terhadap Delpedro Marhaen dkk dinilai sebagai langkah hukum yang prematur sekaligus sewenang-wenang.
Ketiga, Fenomena ini bukan hal baru. Sejarah republik ini mencatat berbagai momen dimana negara bertindak represif terhadap aspirasi warga. Kita dapat mengingat Peristiwa Malari 1974, ketika demonstrasi mahasiswa menentang dominasi modal asing dan otoritarianisme Orde Baru berujung pada penangkapan besar-besaran dan pemberangusan kehidupan kampus.
Di era reformasi, pola ini tetap hidup. Aksi-aksi seperti Reformasi Dikorupsi (2019) hingga demonstrasi Omnibus Law (2020) menunjukkan bagaimana negara merespons kritik dengan cara-cara yang anti-demokrasi menggunakan kekerasan fisik dan seperangkat instrumen hukum pidana. Kebebasan warga negara yang dijamin konstitusi dan berbagai instrumen HAM justru dikerdilkan atas nama stabilitas.
Keempat, pelanggaran hukum oleh aparat Kepolisian dalam proses pemeriksaan massa aksi merupakan pelecehan terhadap kepastian hukum dan hak asasi manusia, hal ini terlihat dari pemeriksaan terhadap massa aksi yang ditangkap dilakukan secara ilegal/ tidak prosedural yakni paling sering ditemukan dengan berita acara klarifikasi/investigasi/interogasi yang tidak dikenal dalam KUHAP dan dalam praktiknya menjadi ruang untuk mencari-cari atau memaksakan kesalahan karena ketiadaan bukti permulaan yang cukup.
Selain itu, kami juga menemukan pola dugaan pelanggaran/tindakan sebagai berikut:
- Penangkapan dilakukan lebih dari 1 x 24 jam yang melanggar Pasal 19 ayat (1) KUHAP dan Pasal 30 UU SPPA;
- Penangkapan dan penahanan tidak segera diberitahukan kepada pihak keluarga, ditunjukkan dengan adanya beberapa laporan orang hilang melalui kanal hotline dan sulitnya kami mengonfirmasi jumlah orang yang ditangkap oleh tiap-tiap kantor kepolisian dengan data yang diadukan;
- Pembatasan informasi perihal identitas dan jumlah yang ditangkap di masing-masing satuan kewilayahan atau kantor kepolisian, hal ini ditemukan saat Tim Advokasi untuk Demokrasi mencoba memberikan bantuan hukum kepada massa aksi yang ditangkap;
- Pemeriksaan sudah berjalan tanpa didampingi oleh penasihat hukum;
- Korban atau keluarga korban tidak dapat memilih penasihat hukum secara leluasa;
- Penangkapan dilakukan dengan kekerasan;
- Penangkapan dibuat seolah-olah “tertangkap tangan” padahal tidak memenuhi syarat-syarat tertangkap tangan dalam KUHAP;
- Penggeledahan terhadap kediaman orang tua Delpedro Marhaen sebagai penghuni, sudah berjalan tanpa disaksikan oleh ketua lingkungan. Walaupun orang tua Delpedro Marhaen telah meminta petugas menunggu kuasa hukum untuk datang terlebih dahulu untuk memastikan tidak adanya pelanggaran hukum acara.
Serangkaian tindakan Aparat Kepolisian di atas telah jelas mengancam kebebasan sipil khususnya hak berkumpul dan menyampaikan pendapat di muka umum serta melanggar berbagai ketentuan undang-undang terkait seperti UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Narkotika, UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, dan Peraturan Kepolisian Kepolisian RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.
Kelima, kriminalisasi ini membahayakan hak privasi dan hak atas perlindungan data pribadi para pembela HAM. UU Perlindungan Data Pribadi, memberikan pengecualian bagi tindakan yang bertujuan untuk “melindungi pertahanan dan keamanan nasional”. Selain itu, Permenkominfo 5/2020, mewajibkan perusahaan media sosial untuk memberikan data pribadi kepada negara dalam rangka penegakan hukum. Perusahaan media sosial, utamanya Google dan Meta yang mengelola data pribadi para aktivis, akan mencederai komitmennya dalam GNI Principles on Freedom of Expression and Privacy jika mematuhi peraturan ini dengan memberikan informasi dan data pribadi para pembela HAM yang dikriminalisasi.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, Tim Advokasi Untuk Demokrasi mendesak agar:
- Presiden dan DPR RI segera melakukan reformasi penegakan hukum oleh Kepolisian melalui perubahan fundamental terhadap struktur, kultur, dan kewenangan Polri;
- Kapolri dan Kapolda Metro Jaya untuk segera menghentikan proses hukum terhadap beberapa aktivis dan penggiat media sosial. Serta bekerja serius dengan mengusut penyebab kematian 10 orang dalam demonstrasi sepanjang tanggal 25-31 Agustus 2025 serta melaksanakan proses pidana terhadap para pelaku;
- Pengawas Internal Polri, seperti Kadiv Propam, Irwasum, Karowassidik untuk melakukan pengawasan dan supervisi terhadap tindakan penyidik di tingkat Bareskrim dan Polda Metro Jaya. Serta melakukan penegakan hukum terhadap anggota Polri yang diduga melakukan pelanggaran selama demonstrasi dan penyidikan;
- Kementerian Komunikasi dan Digital untuk segera melakukan koordinasi kepada Penyidik dan Aparat Kepolisian terkait penafsiran pasal-pasal karet UU ITE dengan perspektif Hak Asasi Manusia untuk menghentikan kriminalisasi ekspresi;
- Lembaga Negara Pengawas Eksternal Kepolisian, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) untuk melakukan pemantauan terhadap temuan dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum sepanjang 25-31 Agustus 2025, proses penegakan hukum terhadap Delpedro Marhaen dkk., serta melakukan upaya preventif dan korektif sesuai dengan mandat dan kewenangan masing-masing lembaga serta melaporkannya secara berkala kepada publik.
- Perusahaan media sosial, utamanya Google dan Meta, untuk melindungi privasi dan data pribadi para pembela HAM yang menjadi korban kriminalisasi ekspresi, dengan menolak segala bentuk permintaan pemerintah maupun aparat penegak hukum untuk membuka data para aktivis yang berada di masing-masing platform.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi
Narahubung: Fian Alaydrus, Fadhil Alfathan, Sekar Banjaran Aji, Nena Hutahaean, dan Ma’ruf Bajammal. (+62 817‑9323‑375)