M mungkin tidak pernah menyangka, unggahan yang dia sebarkan di media sosial pribadinya yang mengomentari demonstrasi di bulan Agustus 2025 ini akan membawa keresahan pada dia dan keluarganya.
Sebuah pesan WhatsApp masuk ke akun adiknya, pengirimnya nomor yang tidak dikenal. Isi pesannya dimulai dengan kalimat “Hapus akun twitter kakak kamu sekarang atau akan kami viralkan ini”, menyusul kemudian sebuah foto yang berformat seperti foto daftar pencarian orang (DPO) milik kepolisian. Di foto itu ada gambar wajah M lengkap dengan nama, NIK, nomor telepon, alamat, dan nama ibu kandung. Tidak hanya itu, foto itu dilengkapi dengan keterangan kalau M adalah pelaku kriminal yang sedang dicari polisi.
M tentu gundah, dia bukan pelaku kriminal dan tidak pernah berurusan dengan hal-hal berbau kriminal, tapi pesan itu terasa sangat mengganggu. Wajar saja bila ada rasa kuatir dan tertekan yang muncul, apalagi pesan itu dikirimkan kepada keluarga dekatnya.
Apa yang terjadi pada M hanya satu dari sekian banyak modus yang sama selama periode 25 Agustus hingga 5 September 2025, atau selama pecahnya aksi demonstrasi yang berawal dari tuntutan kepada DPR-RI. M dan sekian korban lainnya adalah korban intimidasi atau pengancaman dengan membawa-bawa data pribadi korban. Target dari pelaku adalah warganet yang bersuara kritis di media sosial, mengomentari aksi demonstrasi bulan Agustus tersebut, atau mengomentari kebrutalan aparat yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa pada aksi demonstrasi tersebut.
Modusnya sama, pelaku tidak dikenal membuat editan foto seolah-olah target adalah pelaku kriminal yang sedang dicari aparat penegak hukum, lalu pelaku menghubungi keluarga dekat korban — biasanya ibu atau saudara korban, lalu meminta agar korban menghapus akun media sosial atau foto editan itu akan disebar dan dibuat viral. Pesan ini tentu memberikan chilling effect yang kemudian berakhir dengan rasa ketakutan pada korban.
Apa yang terjadi pada M dan korban lainnya jelas adalah pelanggaran atas hak digital, pelanggaran hak atas rasa aman di dunia maya.
Maraknya Pelanggaran Hak Digital
Selama periode 25 Agustus hingga 5 September 2025, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat 65 kasus pelanggaran hak digital yang berkaitan dengan aksi demonstrasi mengkritik DPR-RI dan kebrutalan aparat. Data itu didapatkan dari pemantauan (33 kasus) dan aduan (32 kasus). Bentuknya beragam, dari kriminalisasi, serangan digital, pembatasan akses internet, operasi berita bohong, moderasi berlebihan, ujaran kebencian, hingga kekerasan berbasis gender online (KBGO). Kasus ini tidak berdiri sendiri sehingga satu kasus bisa saja memuat lebih dari satu pelanggaran hak digital.
Dari kasus kriminalisasi, setidaknya ada 11 kasus yang menjerat admin beberapa media sosial yang bersuara kritis terkait aksi demonstrasi. Mereka semua dituduh menjadi dalang kerusuhan atau dituduh sebagai provokator kerusuhan. Hingga saat ini para tertuduh masih mendekam di Polda Metro Jaya dan menjalani pemeriksaan.
Selain kriminalisasi, bentuk pelanggaran hak digital yang paling banyak terjadi adalah serangan digital. Dari catatan SAFEnet, setidaknya ada 32 kasus yang menyasar bukan hanya pendemo atau mereka yang turun ke lapangan, tapi juga warganet yang bersuara kritis di akun media sosial mereka.
Serangan digital ini beragam, dari telepon terus menerus dari nomor tidak dikenal atau spam call, penyebaran data pribadi atau doxing, pengambilalihan akun, order fiktif yang mengatasnamakan korban, hingga beredar informasi nomor kontak pegiat koalisi masyarakat sipil yang ditulis sebagai nomor kontak anggota DPR-RI. Ini menyebabkan mereka mendapatkan beragam telepon tidak dikenal, pesan bernada mengancam dan melecehkan, hingga gangguan keamanan fisik.
Bentuk serangan digital lain adalah intimidasi yang menyasar korban dengan membuat narasi seolah-olah mereka adalah pelaku kejahatan seperti yang terjadi pada M dan korban-korban lainnya.
Di lapangan, para demonstran yang ditangkap juga mengalami penyitaan handphone oleh aparat yang disertai dengan permintaan kata kata kunci untuk membuka handphone mereka. Beberapa penyitaan menurut penuturan korban diikuti dengan tindak kekerasan dan pemaksaan oleh aparat.
Gangguan Akses dan Moderasi Berlebihan
Pelanggaran hak digital tidak berhenti di situ. Selama masa demonstrasi pelanggaran atas hak akses juga marak terjadi. Beberapa fitur di media sosial mengalami penghambatan seperti penggunaan lagu beberapa musisi yang tidak bisa dipakai untuk story Instagram hingga kesulitan untuk mengunggah ulang beberapa story yang bernada kritis.
Aplikasi TikTok bahkan sempat mematikan fitur live dengan alasan untuk menjaga stabilitas keamanan akibat banyaknya pengguna TikTok yang melakukan siaran langsung aksi kekerasan aparat selama masa demonstrasi. TikTok sendiri mengakui langkah itu dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa adanya permintaan dari pemerintah.
Platform media sosial menjadi salah satu pelaku pelanggaran hak digital selama masa demonstrasi, termasuk melakukan moderasi berlebihan atau over moderation. Salah satunya adalah konten video yang berisi perintah polisi menembak para demonstran yang masuk ke Mako Brimob. Akun-akun yang menyebarkan video tersebut ditangguhkan oleh platform.
Dalam masa demonstrasi, beredar juga informasi bohong yang disinyalir dilakukan secara sistematis. Beberapa informasi bohong tersebut berisi konten bernada provokatif yang tujuannya adalah membuat kerusuhan dalam aksi demonstrasi dengan mengatasnamakan konsolidasi mahasiswa. Beberapa konten bahkan masuk dalam kategori doxing atau penyebaran data pribadi.
Pelanggaran hak digital lain yang terjadi adalah kasus ujaran kebencian dan kekerasan berbasis gender online atau KBGO. Kelompok minoritas etnis serta perempuan dan anak menjadi sangat rentan akibat narasi yang dibangun pihak tertentu yang terkesan ingin membuat kerusuhan seperti yang terjadi pada tahun 1998.
Pengekangan di Bulan Kemerdekaan
Apa yang terjadi pada rentang masa demonstrasi ini tentu tidak bisa dibiarkan. Ragam pelanggaran hak digital tersebut sudah sangat mengganggu rasa aman dan nyaman warganet, utamanya yang bersuara kritis. Pelanggaran atas rasa aman tersebut jelas sudah melanggar hak asasi manusia di negeri yang katanya menghargai kebebasan berpendapat ini.
Jumlah dan jenis pelanggaran hak digital yang didokumentasikan oleh SAFEnet mungkin hanya segelintir dari yang bisa dipantau dan dicatatkan dari aduan, data yang sebenarnya di lapangan bisa saja jauh lebih besar.
Namun, sekecil apapun data yang didokumentasikan, pelanggaran hak digital tetaplah pelanggaran. Pemerintah dituntut harus menjamin rasa aman dan rasa bebas dari warga negaranya, bukan hanya jaminan yang manis di mulut tapi pahit di pelaksanaan. Pelanggaran hak digital tidak boleh dibiarkan karena ini akan berdampak sangat buruk pada demokrasi kita.
Di bulan memperingati kemerdekaan Republik Indonesia, kita justru merasa kebebasan kita terancam. Sungguh sebuah ironi.