Kriminalisasi terhadap Khariq Anhar: Ancaman Kebebasan Berekspresi

Pers Rilis: Tim Advokasi untuk Demokrasi “Pernyataan Sikap atas Kriminalisasi terhadap Khariq Anhar: Ancaman Kebebasan Berekspresi, Jalan Terjal Demokrasi dan Pembungkaman Suara Kritis”

Pers Rilis:

Tim Advokasi untuk Demokrasi

“Pernyataan Sikap atas Kriminalisasi terhadap Khariq Anhar: Ancaman Kebebasan Berekspresi, Jalan Terjal Demokrasi dan Pembungkaman Suara Kritis”

Senin, 1 September 2025 – Tim Advokasi Untuk Demokrasi menyayangkan penangkapan terhadap Khariq Anhar oleh Pihak Kepolisian Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya Direktorat Reserse Siber Unit II pada tanggal 29 Agustus 2025 di Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang-Banten. Kriminalisasi atas Khariq sangatlah terkesan dipaksakan untuk segera dilakukan penahanan ketika Khariq Anhar hendak kembali ke daerahnya, yaitu Riau. Khariq Anhar dikenal aktif menyuarakan kritik dan aspirasi publik melalui media sosial serta aksi-aksi damai. Penangkapan ini menambah daftar panjang praktik kriminalisasi terhadap warga negara yang menjalankan hak konstitusionalnya untuk berpendapat, berekspresi, dan menyampaikan kritik terhadap penyelenggaraan negara.

Penangkapan terhadap Khariq Anhar tidak bisa dipandang hanya dalam kerangka perkara hukum biasa tetapi perlu dilihat sebagai upaya sistematis dan terencana untuk membungkam pihak-pihak yang kritis menyuarakan pendapatnya melalui media sosial. Tindakan Penahanan dan Penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian sangat serampangan serta tidak mengedepankan prosedur hukum yang baik dan benar. Kepolisian Polisi Daerah Metro Jaya tidak menerapkan dan pelaksanaan sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) yang dimana dalam prosesnya fakta menyatakan bahwa Khariq Anhar tidak pernah dipanggil untuk dimintai keterangan kedudukannya sebagai saksi, menunjukkan bahwa pihak kepolisian secara sengaja melangkahi proses penyelidikan.

Pembungkaman terhadap Khariq bermula dari laporan polisi yang menyatakan bahwa ia telah melakukan pelanggaran sebagaimana yang termuat dalam Pasal 48 ayat (1) Jo Pasal 32 ayat (1) dan atau Pasal 48 ayat (2) Jo Pasal 32 ayat (2) dan/atau Pasal 51 ayat (1) Jo Pasal 35 Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Padahal yang dilakukan olehnya adalah membuat konten satire yang mempertanyakan larangan pelibatan mahasiswa dalam unjuk rasa tanggal 28 Agustus. Hal ini yang membuat Tim Advokasi Untuk Demokrasi kembali merasa bahwa laporan yang dialamatkan dengan pasal  yang disangkakan kepada Khariq terkesan dipaksakan agar seolah-olah ada pelanggaran hukum yang dilakukan.

Kriminalisasi terhadap Khariq akan memuluskan pembungkaman. kepada aktivitas setiap orang yang menyuarakan pendapat dan ekspresi di media sosial. Kasus ini menambah panjang penerapan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berpotensi dapat merusak nilai keadilan dan kebenaran yang tertuang dalam konstitusi. Aktivisme Khariq Anhar bukan hanya di media sosial. Namun, secara aktif ia juga menyuarakan berbagai masalah sosial salah satunya perihal pendidikan gratis dan mengkritik mahalnya uang kuliah tunggal (UKT).

Kami menilai penggunaan Pasal 32 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang digunakan untuk mengkriminalisasi Khariq telah menjadi “senjata baru” untuk mengkriminalisasi kritik dan ekspresi yang sah pasca pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian direvisi pada 2024. Penggunaan pasal ini juga sangat berbahaya karena ancaman pidana pada pasal tersebut 8 hingga 9 tahun, yang membuat polisi memiliki landasan untuk melakukan penahanan. Pembungkaman ini tidak berhenti di Khariq Anhar. Pembungkaman ini akan menjadi preseden buruk bagi setiap orang yang menyuarakan pendapat di media sosial. Pembungkaman ini juga menunjukkan bahwa ekspresi politik yang sah sangat rentan untuk dikriminalisasi dan dibungkam dengan dalih dianggap melanggar hukum. 

Anomali dalam kasus ini semakin terasa ketika membaca fakta bahwa orang yang melaporkan Khariq ke Polda Metro Jaya adalah seseorang yang bernama Baringin Jaya Tobing, seorang pengacara. Khariq Anhar tidak mengenal dan mengetahui tentang orang yang dimaksud baik secara pribadi maupun di media sosial. Tidak hanya Khariq, Baringin Jaya Tobing juga kerap menjadi pelapor dalam perkara hukum yang dimana tidak memiliki kaitan dengannya. Dengan demikian, pelapor tidak mendapatkan kerugian riil dari postingan yang dilakukan oleh Khariq pada media sosial @aliansimahasiswapenggugat. Hal ini yang membuat kami memiliki pandangan bahwa upaya hukum yang dilakukan kepada Khariq secara nyata dapat dinyatakan sebagai bentuk upaya kriminalisasi dan pembungkaman terhadap orang muda yang bersuara kritis.

Atas hal-hal tersebut, kami berpandangan sebagai berikut:

Pertama, menyampaikan pendapat merupakan bentuk kebebasan berekspresi. Setiap orang berhak untuk memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi serta ide dalam bentuk apapun, melalui media apa pun sebagaimana termaktub Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 serta Pasal 23 dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sehingga proses hukum pidana terhadapnya merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Proses hukum terhadap Khariq jelas kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat yang adalah pelanggaran hak asasi manusia sebab bertentangan dengan kewajiban pemerintah untuk menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kedua, proses penangkapan dan penetapan tersangka terhadap Khariq dapat diduga sangat tergesa-gesa dan seakan memburu, Kepolisian Polisi Daerah Metro Jakarta Raya Direktorat Reserse Siber tidak mengedepankan upaya preventif dengan memanggil terlebih dahulu khariq untuk dimintai keterangan. Seharusnya Kepolisian menerapkan asas ultimum remedium yang dimana penerapan sanksi pidana sebagai upaya terakhir, bukan solusi pertama dalam penegakan hukum. Maka sudah seharusnya pihak kepolisian mengedepankan proses klarifikasi dan dimintai keterangan alih-alih dengan tergesa-gesa menetapkan sebagai tersangka, menangkap, menahan Khariq. Dalam konteks ini, kami juga menilai bahwa penyidik tidak hati-hati dan menerapkan hukum acara pidana secara serampangan. 

Ketiga, laporan terhadap Khariq yang menggunakan undang-undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Informasi dan Transaksi Elektronik menunjukkan upaya pembungkaman yang memiliki preseden berbahaya. Kami koalisi masyarakat sipil sangat menolak penerapan serampangan Undang-Undang tersebut karena sangat sering dijadikan sebagai dasar untuk membungkam kritik dan ekspresi masyarakat yang merupakan pola yang berulang. Perlu diperhatikan bahwa penerapan Pasal 32 ayat (1) dan (2) tersebut sangatlah berpotensi disalahgunakan orang lain untuk mengkriminalisasi seseorang yang dianggap kritis dalam menyuarakan pendapat dan ekspresinya terutama pada ruang-ruang digital.

Oleh karena itu, kami mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera menginstruksikan kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya dan memerintahkan Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya untuk segera memerintahkan penyidik untuk menghentikan seluruh proses penyidikan terhadap Khariq Anhar dan mencabut status tersangka, karena tindakan yang dilakukan masih dalam lingkup kebebasan berekspresi yang sah serta dijamin oleh Konstitusi, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia;
  2. Kementerian Komunikasi dan Informatika segera mengeluarkan pernyataan publik yang menegaskan komitmen negara dalam menjamin kebebasan berekspresi di ruang digital, khususnya terhadap kritik yang dilontarkan warga, serta menghimbau seluruh pihak untuk tidak lagi menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai instrumen kriminalisasi;
  3. Presiden Republik Indonesia mengambil langkah tegas terhadap institusi Polri untuk memastikan tidak ada lagi praktik kriminalisasi terhadap masyarakat yang menggunakan hak konstitusionalnya dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat;
  4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ombudsman Republik Indonesia, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera melakukan pemantauan aktif dan menyeluruh terhadap dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi di ruang digital dan publik serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya, guna menjamin perlindungan hak warga negara.

Bahwa yang terjadi pada Khariq adalah contoh penegakan hukum yang buruk. Jangan sampai ada Khariq yang lain.

Jakarta, 1 September 2025

Hormat kami,

Tim Advokasi Untuk Demokrasi

Narahubung:

  • Lembaga Bantuan Hukum Jakarta 
  • Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru
  • Lembaga Bantuan Hukum Pers
  • SAFEnet
  • Celios