Bahaya Polisi Siber

Zine: Bela Hak Sesama #Warga Bela Warga!

Bahaya Polisi Siber

Oleh: SAFEnet

Polisi menyatakan telah menurunkan Polisi Siber untuk mengawasi ruang digital dan mencari provokator dari aksi-aksi yang telah berlangsung. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah hari ini, alih-alih mengevaluasi “mengapa turun demonstrasi?” menjadi “siapa yang menyebabkan terlaksananya demonstrasi ini?”. Aktivitas polisi siber ini sampai pada “penjemputan” warga di berbagai daerah. Wilayah Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Kediri, dan Makassar menjadi daerah yang operasi dilakukan dengan masif. Berdasarkan informasi jejaring dan media, warga ditangkap hanya karena membuat status whatsapp dan memberikan komentar di TikTok LIVE. Ia ditahan 1×24 jam, setelah itu dibebaskan dengan wajib lapor. Terjadi penangkapan juga tujuh warga Bandung dan disangkakan dengan UU ITE. Penangkapan dan penetapan tersangka juga dilakukan kepada admin-admin media sosial hingga individu yang kritis terjadi di kota-kota lainnya. Penangkapan yang dilakukan juga seringkali sewenang-wenang tanpa dasar yang jelas dan juga proses yang sesuai dengan hukum acara pidana. Kehadiran Polisi Siber yang melakukan patroli ruang digital, bahkan hingga pada ruang-ruang privat seperti whatsapp menimbulkan efek gentar (chilling effect) pada warga yang menyuarakan ekspresinya dan mengancam ruang privasi. 

Polisi Siber bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) juga menyatakan telah menyisir dan memblokir 592 akun media sosial yang menyebarkan narasi memuat provokasi dan penghasutan. Hal ini tentu sangat berbahaya karena prosesnya tidak transparan dan juga akuntabel. Penilaian takedown konten dan pemblokiran akun seharusnya dilakukan secara proporsional, sesuai kebutuhan, dan non-diskriminatif. Intransparansi dalam pemblokiran ini tidak hanya dilakukan oleh negara, perusahaan media sosial juga bungkam, tidak mengungkap ke publik secara detail akun apa saja yang diminta pemerintah untuk diblokir dan alasan di belakangnya. Hal ini berujung pada pembatasan oleh negara dan perusahaan media sosial terhadap ekspresi dan memperoleh informasi yang menjadi hak seluruh warga negara. Sehingga, seolah mengalihkan publik dari masalah sesungguhnya. Menjadi pertanyaan pada pernyataan dan komitmen pemerintah bahwa rezim ini terbuka pada kritik dan masukan pasca, tetapi mengapa justru kritik warga dibungkam dengan kriminalisasi ekspresi serta pembatasan informasi besar-besaran?

Selengkapnya dapat di lihat di https://bit.ly/WargaBelaWarga