SIARAN PERS
Dugaan Korupsi 13,3 Miliar BAZNAS Jabar Ditelaah KPK, Koalisi Masyarakat Sipil Desak Hentikan Kriminalisasi Whistleblower!

Jakarta, 19 Juni 2025 — Dugaan korupsi dana zakat senilai Rp 9,8 miliar dan penyelewengan dana hibah APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 3,5 miliar di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Barat yang sebelumnya telah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi telah sampai pada tahap penelaahan. Berdasarkan pertemuan perwakilan Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) dengan pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disebutkan bahwa saat ini laporan telah memasuki tahap telaah oleh KPK, setelah sebelumnya laporan tersebut dinyatakan terverifikasi berkaitan dengan dugaan korupsi.
“Tentunya harapannya dugaan korupsi yang ada di BAZNAS Jawa Barat untuk segera ditindaklanjuti dan ditangani oleh KPK,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, M. Rafi Saiful Islam usai beraudiensi dengan tiga orang perwakilan dari KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (18/6/2025) kemarin.
Modus Korupsi 13,3 Miliar
Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW Wana Alamsyah yang turut hadir di KPK, mengatakan bahwa terdapat dugaan penyelewengan dana zakat sebesar Rp9,8 miliar. Modus penyelewengan adalah biaya operasional/hak amil di BAZNAS Jawa Barat yang mencapai 20 % dari zakat, padahal peraturan membatasi paling banyak hanya 12.5% biaya operasional dari zakat. Dengan demikian, lanjut Wana, BAZNAS Jawa Barat telah melanggar peraturan Keputusan Menteri Agama No 606 Tahun 2020 Bab 3, point 2K “penggunaan hak amil dari dana zakat tidak melebihi 1/8 atau 12,5 persen dari total penghimpunan dalam setahun dan tidak terjadi pengambilan hak amil ganda dalam konteks penyaluran”. Selain itu, Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 8 (Ayat 1) juga mengatur “penerimaan Hak Amil dari dana zakat paling banyak 12,5 persen dari penerimaan dana zakat”.
Dugaan penyelewengan dana zakat 9,8 Miliar berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit, aliran dana diduga untuk kepentingan memperkaya dan memberikan fasilitas mewah bagi lima pimpinan BAZNAS Jawa Barat berupa sewa mobil mewah, hal ini terlihat dari beban sewa di tahun 2020 sebesar 11 juta pada tahun 2022 naik menjadi Rp 493.159.996. Fasilitas mewah lainnya bagi pimpinan adalah memberikan kebebasan perjalanan dinas, sopir pribadi, pengadaan laptop, handphone dan pengaturan tunjangan yang ugal-ugalan.
Bentuk aliran penyelewengan dana lainnya adalah kenaikan beban gaji karyawan dari Rp 1,5 Miliar di tahun 2020 naik pesat menjadi Ro 3,3 Miliar pada tahun 2022, hal ini karena penambahan karyawan besar-besaran yang diduga berasal dari kolega, rekan dan keluarga pimpinan BAZNAS Jawa Barat. Kenaikan beban operasional lainnya yang tidak wajar seperti tunjangan kesehatan, beban kelengkapan SDM dan beban operasional yang naik ratusan juta.
Pimpinan BAZNAS Jawa Barat diduga menikmati kenaikan gaji sampai 121 %, hal ini terlihat pada 2023 kisaran gaji/honorarium Rp 30 juta/orang/bulan (belum termasuk tunjangan dan fasilitas lainnya) dibandingkan pada tahun 2020 gaji/honorarium kisaran Rp 13 juta/orang/bulan, maka selama 3 tahun pimpinan BAZNAS Jawa Barat mengalami kenaikan gaji/honorarium sebesar 121%.
Sedangkan dugaan penyelewengan dana hibah APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 3,5 miliar di Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Jawa Barat terkait bantuan penanggulangan Covid-19 untuk masyarakat, terdapat dugaan bantuan tidak tersalurkan, tidak tepat sasaran, penyalahgunaan jabatan, bantuan dikapling bagi kolega pimpinan dan perlakuan istimewa pada mitra penyalur tertentu.
Hentikan Kriminalisasi Whistleblower
Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) juga mendesak KPK untuk berkoordinasi dengan Polda Jawa Barat untuk menghentikan kriminalisasi whistleblower TY, karena TY adalah pelapor dugaan korupsi 13,3 Miliar di BAZNAS Jawa Barat. Kasus ini menjadi preseden buruk dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Alih-alih mendapatkan perlindungan, TY justru dikriminalisasi dengan Pasal 32 UU ITE. Kasus ini mencerminkan kegagalan hukum yang sistemik dan absennya keberpihakan negara terhadap pelapor, serta membuka ruang impunitas bagi pelaku korupsi.
“Penetapan TY sebagai tersangka merupakan bentuk kriminalisasi terhadap whistleblower dengan memanfaatkan pasal karet di UU ITE. Pemerintah harus memberikan perlindungan kepada TY dan whistleblower lain. Perubahan sistemik juga harus dilakukan dengan memperketat tafsir di Pasal 32 UU ITE yang digunakan untuk mengkriminalisasi TY,” ungkap Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Dari hasil audiensi, KPK menyatakan turut prihatin dan sedih atas kejadian yang menimpa TY serta menyesalkan tindakan aparat yang tidak memahami pentingnya melindungi pelapor korupsi, apalagi status TY sebelumnya adalah Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal, yang telah menjalankan tugasnya dengan baik dengan membantu aparat memberantas korupsi.
Kriminalisasi terhadap whistleblower tidak hanya mencederai keadilan, tetapi juga merusak prinsip transparansi, melemahkan akuntabilitas publik, dan mengancam partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi. Hal ini juga mencerminkan kemunduran serius dalam praktik demokrasi, serta bertentangan dengan komitmen anti korupsi.
Kasus TY melanggar berbagai ketentuan hukum yang menjamin perlindungan terhadap pelapor, yaitu:
- Pasal 10 ayat (1)-(2) UU No. 31 Tahun 2014 yang melarang tuntutan hukum terhadap pelapor, kecuali tanpa itikad baik. Jika ada tuntutan, prosesnya wajib ditunda hingga laporan dugaan korupsi selesai diperiksa secara hukum.
- Pasal 41 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang menjamin hak masyarakat untuk melapor.
- Pasal 1 angka 6 UU No. 31 Tahun 2014 yang mengatur larangan intimidasi atau ancaman terhadap pelapor, karena dapat menimbulkan efek gentar (chilling effect) dan menghambat partisipasi publik dalam pengawasan.
“Tindakan ini merupakan pelanggaran prinsip perlindungan whistleblower serta bentuk pembalasan (retaliation) yang menciptakan efek jera bagi pelapor lainnya. Penggunaan Pasal 32 UU ITE untuk menjerat TY justru mengalihkan fokus dari substansi laporan korupsi. Kami mendesak polisi menghentikan proses kriminalisasi ini dan memprioritaskan investigasi dugaan korupsi, serta memastikan perlindungan hukum bagi TY sebagai pelapor beritikad baik,” ungkap Rafi.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) yang secara tegas, melalui Pasal 33, mewajibkan negara memberikan perlindungan kepada pelapor dugaan korupsi. Ini bukan hanya kewajiban hukum internasional, tetapi mandat moral dan politik yang harus dijalankan negara.
“Indonesia tidak dapat mengklaim memerangi korupsi sambil mengadili mereka yang mengungkapnya. Meskipun ada kewajiban UNCAC dan klausul nominal dalam UU KPK, tidak ada mekanisme yang dapat ditegakkan, tidak ada lembaga yang memimpin, dan tidak ada konsekuensi bagi mereka yang membalas. Ini bukan kelalaian, ini adalah kekosongan kebijakan yang disengaja.” ungkap Danang Widoyoko, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia.
Oleh karena itu, Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber) menuntut:
- Usut tuntas dugaan korupsi senilai total Rp 13,3 Miliar, dari dana zakat dan hibah APBD Jawa Barat secara transparan dan akuntabel.
- Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap TY dan berikan perlindungan hukum penuh sebagai pelapor dugaan korupsi.
- Fokus penegakan hukum harus pada dugaan korupsi di BAZNAS dan kerugian negara, bukan pada upaya membungkam pelapor.
- Tindak pejabat publik yang membocorkan identitas pelapor dan bocorkan dokumen aduan, karena melanggar prinsip kerahasiaan pelapor dan berpotensi membahayakan keselamatannya.
- Reformasi regulasi yang memperkuat perlindungan bagi pelapor dan hapus ketentuan-ketentuan karet yang membuka celah kriminalisasi di UU ITE. Kriminalisasi pelapor adalah bentuk nyata pelemahan gerakan antikorupsi. Perlindungan terhadap whistleblower adalah aspek penting untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, terbuka, dan akuntabel.
Narahubung:
08179323275 (SAFEnet)
Organisasi yang tergabung dalam Koalisi Lawan Kriminalisasi Whistleblower (Koliber):
1. LBH Bandung – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
2. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
3. Indonesian Corruption Watch (ICW)
4. Transparency International Indonesia (TII)
5. Indonesia Zakat Watch (IZW)
6. Themis Law Firm
7. IM57+ Institute
8. Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP)
9. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
10. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
11. Amnesty International Indonesia12. LBH AP PP Muhammadiyah