
Pernyataan Sikap SAFEnet : Putusan MK Kemenangan Parsial, Belum Sepenuhnya Jamin Kebebasan Berekspresi
Kami, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi masyarakat sipil yang fokus memperjuangkan hak digital, mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PUU-XXII/2024 serta 115/PUU-XXII/2024 yang telah mempersempit ruang multitafsir atas pasal-pasal karet di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meski demikian, kami menilai putusan ini masih jauh dari kata cukup untuk menjamin kebebasan berekspresi di ranah digital. Satu-satunya cara untuk menjamin kebebasan berekspresi di ranah digital tanpa menciderai hak asasi manusia orang lain adalah dengan memberlakukan aturan dan kebijakan yang sesuai dengan standar HAM internasional.
Menyikapi putusan MK tersebut, yang sangat penting dalam menjamin lingkungan kebebasan berekspresi daring bagi warga di masa depan, SAFEnet menyatakan:
Pertama, putusan MK ini penting untuk memberikan kepastian tafsir atas pasal-pasal karet yang terkandung dalam UU ITE, baik bagi polisi, jaksa, hakim, advokat, maupun masyarakat umum. Artinya, peluang bagi pasal-pasal ini untuk disalahtafsirkan oleh aparat penegak hukum dan dijadikan senjata oleh para pemegang kekuasaan akan semakin sempit. Putusan Nomor 105 memberikan jaminan bahwa Pasal 27A UU ITE mengenai pencemaran nama tidak dapat digunakan oleh lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Hal ini cukup krusial, mengingat berdasarkan data dokumentasi kami selama tahun 2018 hingga 2024, organisasi/institusi, pejabat pemerintah, dan korporasi masih menjadi mayoritas pelapor UU ITE. Batasan-batasan yang ditetapkan dalam putusan MK dapat meminimalisir penyalahgunaan berdasarkan relasi kuasa ini.
Putusan Nomor 105 juga memperjelas tafsir atas Pasal 28 ayat 2 UU ITE dengan menekankan pasal ini hanya dapat dikenakan kepada penyebar kebencian di depan umum dan menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Hal ini memperjelas bahwa transmisi melalui percakapan pribadi tidak dapat masuk ke delik pasal ini. Kami mengapresiasi putusan atas dua pasal ini karena sejalan dengan berbagai standar HAM internasional, sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP), Siracusa Principles, dan Rabat Plan of Action. Penambahan tafsir ini sangat penting mengingat kendati sudah direvisi, namun pasal ini masih memiliki celah yang bisa dieksploitasi dan disalahgunakan.
Selain itu, kami juga mengapresiasi penegasan interpretasi unsur kerusuhan dalam Pasal 28 ayat (3) mengenai pemberitahuan bohong menjadi “kerusuhan di ruang fisik, bukan di ruang digital” sebagaimana termaktub dalam Putusan Nomor 115. Meskipun ketentuan ini sesungguhnya sudah tercantum pada bagian penjelasan pasca revisi UU ITE 2024, namun kami masih mendokumentasikan lima kasus pelaporan dengan menggunakan Pasal 28 ayat (3) sejak pertama kali diberlakukan pada awal 2024. Sama seperti pasal pencemaran nama dan ujaran kebencian, pasal ini juga kerap digunakan untuk mengkriminalisasi kritik publik.
Kedua, kami menyayangkan putusan MK tidak sepenuhnya mengabulkan permohonan untuk melarang penggunaan pasal pencemaran nama bagi tokoh publik (public figure). Pasalnya, berdasarkan dokumentasi yang kami lakukan, tokoh publik, baik pengusaha, politisi, selebritis, pesohor, hingga tokoh agama merupakan pihak yang banyak menggunakan pasal-pasal karet di UU ITE. Padahal berdasarkan standar HAM internasional, termasuk Komentar Umum Komite HAM PBB No. 34 tahun 2011, tokoh publik, khususnya yang berada di ranah politik memiliki tingkat perlindungan yang lebih rendah terhadap ekspresi-ekspresi yang bersifat lebih ofensif demi melindungi kritik dan partisipasi publik.
Ketiga, pencemaran nama dan pemberitahuan bohong seharusnya tidak diatur dalam ranah hukum pidana, melainkan perdata. Hal ini sebagaimana tercantum dalam berbagai instrumen HAM internasional. Meskipun termasuk dalam derogable rights yang dapat dibatasi, namun pembatasan kebebasan berekspresi tetap harus bersandar pada three part-test, yaitu uji legalitas, uji proporsionalitas-nesesitas, dan memiliki tujuan yang jelas sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 (3) KIHSP.
Komentar Umum Komite HAM PBB No. 34 (2011) tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat menyerukan kepada negara-negara yang telah meratifikasi KIHSP untuk mempertimbangkan dekriminalisasi pencemaran nama. Pasalnya, penjara bukan merupakan hukuman yang tepat bagi orang yang dianggap melakukan pencemaran nama. Selain itu, komentar umum ini juga menyoroti hukuman penjara yang tidak sejalan dengan asas proporsionalitas dalam penyelesaian kasus pencemaran nama. Padahal, asas proporsionalitas merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pembatasan HAM.
Hal ini diperkuat oleh Joint Declaration on Freedom of Expression and “Fake News”, Disinformation, and Propaganda pada tahun 2017. Secara tegas, deklarasi yang dihadiri oleh pakar HAM dari berbagai organisasi internasional itu menyebutkan bahwa hukum pidana atas pencemaran nama telah membatasi kebebasan berekspresi secara berlebihan dan harus dihapuskan. Selain pencemaran nama, deklarasi tersebut juga menekankan pentingnya menghapus pasal hukum pidana terkait “berita yang salah”.
Deklarasi itu menyebutkan bahwa larangan atas penyebaran informasi secara tidak jelas, seperti “berita yang salah” atau “informasi yang tidak objektif”, tidak sesuai dengan pembatasan kebebasan berekspresi dalam standar HAM internasional, dan harus dihapuskan. Di sisi lain, deklarasi tersebut menyatakan bahwa aturan hukum perdata tentang pertanggungjawaban atas pernyataan palsu dan fitnah hanya sah secara hukum jika pihak tergugat diberi kesempatan penuh untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, dan juga dapat memanfaatkan pembelaan lain, seperti komentar yang adil (fair comments).
Kami menilai, putusan MK memang mengurangi risiko pasal pencemaran nama dan berita bohong dapat digunakan oleh orang-orang atau sekelompok orang yang memiliki kuasa ekonomi, sosial, maupun politik tertentu. Namun, di sisi lain, masih membuka keran bagi kriminalisasi dalam permasalahan horizontal di masyarakat dan belum menyelesaikan akar permasalahannya, yaitu rumusan pasal yang tidak sesuai dengan standar HAM internasional.
Keempat, putusan MK belum sepenuhnya menjamin kebebasan berekspresi di ranah digital. Hingga saat ini, terdapat kecenderungan bahwa kriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet UU ITE berlanjut ke proses penyidikan hingga proses pengadilan. Meskipun tafsir baru dapat mengurangi kemungkinan putusan bersalah, tetapi tindakan-tindakan seperti penahanan, persekusi, dan stigmatisasi tetap terus terjadi dan merugikan korban, baik secara ekonomi, fisik, maupun psikologis. Eksistensi pasal-pasal anti-demokrasi ini masih menghantui masyarakat, disamping terus terjadinya stigmatisasi, doxxing, dan berbagai bentuk serangan digital lainnya terhadap orang-orang yang berekspresi di ranah digital. Penegak hukum masih seringkali menggunakan pasal-pasal karet yang ada di UU ITE lama, sehingga tidak menutup kemungkinan tafsir baru MK tidak teramplifikasi dan terimplementasikan dengan baik. Apalagi belum adanya pedoman teknis baru yang lebih jelas bagi penegak hukum.
Melihat situasi tersebut, putusan MK ini merupakan kemenangan parsial untuk kebebasan berekspresi, terutama dalam konteks membuka ruang kritik terhadap institusi, dan mencegah kriminalisasi karena reaksi atau kerusuhan digital. Namun, masih ada celah hukum dan praktik kriminalisasi yang tetap bisa terjadi, terutama lewat delik personal dan kelemahan budaya hukum di tingkat aparat. Putusan MK ini hanya menjadi satu kepingan solusi yang harus disusun bersama kepingan lainnya untuk melakukan pembenahan komprehensif terhadap regulasi yang dapat menjamin kebebasan berekspresi bagi warganet.
Dengan mempertimbangkan berbagai argumentasi di atas, kami mendesak:
- Menteri Hukum Supratman Andi Atgas, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Viada Hafid, dan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk menghapus pasal pencemaran nama dan pemberitahuan bohong di UU ITE;
- Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai dan Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk memperkuat perlindungan atas kebebasan berekspresi publik di ruang digital agar bebas dari strategic litigation against public participation (SLAPP);
- Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Listyo Sigit Prabowo, dan Ketua Mahkamah Agung Sunarto, untuk memastikan Putusan MK Nomor 105 dan 115 dipatuhi dan segera diimplementasikan secara efektif dengan sebaik-baiknya oleh seluruh aparat penegak hukum.
Denpasar, 8 Mei 2025
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
Narahubung: +628179323375 (Hotline)