Tolak RUU TNI, Tolak Militerisasi Ruang Siber

Illustrasi gambar oleh Ai

Pernyataan Sikap SAFEnet: Tolak RUU TNI, Tolak Militerisasi Ruang Siber

Denpasar, 17 Maret 2025 – Kami, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi masyarakat sipil yang fokus memperjuangkan hak digital, mengutuk proses pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang tidak transparan dan tidak partisipatif. Kami menyoroti salah satu poin pembahasan RUU TNI, yaitu mengenai perluasan kewenangan TNI di ruang digital, yang kami lihat sebagai bentuk militerisasi ruang siber.

Dalam keterangan persnya pada 15 Maret 2025, Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), TB Hasanuddin, mengonfirmasi bahwa salah satu poin yang telah disepakati adalah perluasan operasi militer selain perang (OMSP) dengan mencakup pertahanan siber. Berdasarkan dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) versi pemerintah terakhir yang kami peroleh, salah satu usulan dari pemerintah adalah memperluas wilayah OMSP, termasuk untuk mendukung pemerintah dalam menghadapi ancaman siber.

Pemerintah menjelaskan bahwa:

“…Perang Siber tidak hanya menyerang infrastruktur secara fisik, namun juga dimensi virtual dan kognitif. Musuh/Lawan melakukan manipulasi sosial, polusi informasi, memperkuat narasi dengan ekspresi berlebihan untuk menyerang kerawanan kognitif. Konflik yang mengeksploitasi keunggulan informasi ini menjadi suatu senjata yang sangat berbahaya dengan cara memengaruhi keyakinan, sikap, dan perilaku masyarakat yang mengakibatkan konflik sosial, politik, dan ekonomi yang pada akhirnya mengancam keamanan negara.”

Bagi kami, keterangan ini sangat kental dengan nuansa militerisasi ruang siber (militarization of cyberspace). Militerisasi ruang siber merupakan upaya negara dalam mengonstruksi domain siber sebagai ancaman utama terhadap keamanan nasional, sehingga dapat digunakan untuk melegitimasi penerapan langkah-langkah berorientasi militer dalam menangani ancaman siber serta membenarkan pengembangan dan peningkatan berkelanjutan kapabilitas militer siber tanpa henti.

Kami menilai bahwa narasi ini sangat berbahaya bagi penghormatan terhadap hak-hak digital masyarakat Indonesia. Perluasan kewenangan OMSP untuk mengatasi dimensi virtual dan kognitif dari perang siber dapat diinterpretasikan secara luas dan sangat rentan disalahgunakan. Jika dimensi virtual dan kognitif dari ancaman siber dipandang sebagai ancaman eksistensial, negara dapat menjadikannya justifikasi untuk menerapkan langkah-langkah koersif yang bertentangan dengan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). 

Narasi ancaman “Perang Siber” dengan negara lain dapat dijadikan kambing hitam untuk membungkam wacana-wacana kritis dan meningkatkan kontrol negara atas sirkulasi informasi publik di ruang digital dengan cara pengawasan massal yang merupakan pelanggaran hak atas privasi, penyensoran konten/situs web yang merupakan pelanggaran hak atas informasi, dan pengetatan regulasi terkait ekspresi daring yang merupakan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi.

Kami juga menilai bahwa pemerintah mereduksi ancaman siber semata-mata sebagai ancaman terhadap negara dan militer, alih-alih melihatnya sebagai permasalahan yang lebih luas dan kompleks. Hemat kami, pengaturan tentang tanggung jawab korporasi digital yang kerap memfasilitasi manipulasi opini publik, serta percepatan pembahasan peraturan turunan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar segera berlaku efektif, justru jauh lebih penting dan mendesak untuk dibahas pemerintah bersama DPR RI. Peraturan-peraturan ini dapat memberikan dampak nyata dan manfaat langsung bagi warga negara, ketimbang memperluas kewenangan militer.

Selain perluasan OMSP, ketentuan membuka kesempatan kepada prajurit aktif militer untuk menduduki jabatan-jabatan sipil juga membuka ancaman baru bagi penghormatan hak-hak digital warga. Ketentuan baru ini memungkinkan militer untuk menduduki posisi-posisi strategis di lembaga-lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mengatur ruang siber, seperti Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia. Hal ini dapat berimplikasi pada lahirnya kebijakan-kebijakan militeristik terkait ruang siber, yang acap kali berlawanan dengan nilai-nilai HAM.

Dampak Revisi UU TNI terhadap Perempuan sebagai Kelompok Berisiko Tinggi

Sejalan dengan alasan yang sudah disebutkan sebelumnya, alasan lain kami menolak revisi UU TNI karena akan menambah represi terhadap perempuan dan kelompok berisiko tinggi lainnya. Selain menyasar pada ancaman digital, kami menilai militer turut serta pada tindakan kekerasan bersenjata di wilayah konflik. Militer kerap menggunakan pelecehan seksual, penyiksaan terhadap perempuan dan pembunuhan secara sistemik dalam operasi militer. 
Perempuan Pembela HAM juga semakin beresiko tinggi untuk mengalami tindakan intimidasi, represi dan kriminalisasi.

Militer turut serta dalam melanggengkan budaya patriarki dengan melakukan represi politik dan sosial. Perempuan mengalami operasi terstruktur dan sistemik melalui kontrol peran gender yang timpang dalam struktur militer, termasuk pada pengaturan hak ketubuhan dan objektifikasi perempuan (peran pasif).

Revisi UU TNI akan menempatkan perempuan dan kelompok berisiko tinggi sulit untuk mengakses dan mendapatkan keadilan. Hal ini disebabkan karena militer yang semakin kuat di hadapan hukum dan sistem peradilan militer yang bersifat tertutup. Korban kekerasan seksual, misalnya, akan sulit mendapatkan pendampingan dan keadilan apabila pelaku berasal dari kalangan militer.

Kami juga menilai bahwa pembahasan RUU TNI yang tertutup dan minim partisipasi ini merupakan salah satu gejala dari menyempitnya ruang kebebasan sipil di kabinet saat ini dan abainya DPR terhadap partisipasi masyarakat sipil. Apabila hal ini terus berlanjut, maka RUU TNI akan menambah daftar legislasi yang mengancam kebebasan sipil di Indonesia. Oleh karenanya, kami juga mendesak perbaikan tata kelola pembentukan legislasi secara menyeluruh agar DPR RI dapat menghadirkan legislasi yang berbasis pada data dan ilmu pengetahuan, dibuat dengan proses transparan, dan sesuai dengan aspirasi dari masyarakat.

Desakan kepada Pemerintah dan DPR RI

Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, kami mendesak pemerintah bersama DPR RI untuk:

  1. Menghentikan pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan tidak partisipatif.
  2. Menghapus ketentuan-ketentuan yang melegitimasi militerisasi ruang siber, termasuk ketentuan perluasan OMSP yang membuka peluang bagi militer untuk menangani ancaman siber di dimensi virtual dan kognitif, serta pasal yang mengizinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil.