Kembalikan Militer ke Barak, Hentikan Militerisasi Ruang Siber!

Pernyataan Sikap DDRN

#TolakRUUTNI: Kembalikan Militer ke Barak, Hentikan Militerisasi Ruang Siber!

#TolakRUUTNI

Jakarta, 19 Maret 2025 – Kemarin, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyepakati draf final revisi Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Semua fraksi setuju draf ini untuk dibawa untuk disahkan di rapat paripurna yang akan dilaksanakan besok, yaitu Kamis, 20 Maret 2025. Digital Democracy Resilience Network (DDRN) menolak keras draf final RUU TNI yang telah disepakati oleh Komisi I karena mengandung ketentuan yang membuka peluang penggembosan demokrasi digital dan pelanggaran hak-hak digital, seperti hak atas kebebasan berekspresi, hak atas privasi, dan hak atas informasi.

Pada draf final RUU TNI tersebut, terdapat perluasan fungsi pada Pasal 7 ayat 2b mengenai operasi militer selain perang (OMSP). Fungsi TNI diperluas “membantu dalam upaya menanggulangi Ancaman siber”. Pada penjelasannya, disebutkan bahwa “TNI berperan serta dalam upaya menanggulangi Ancaman siber pada sektor pertahanan (cyber defense)”. Rumusan pasal ini bersifat karet dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber. Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi daring.

Saat ini, tidak ada definisi hukum di level undang-undang yang baku dan jelas soal apa itu “Ancaman siber” dan “pertahanan siber”. Mengacu pada dokumen Pedoman Pertahanan Siber Nasional (2014), pemerintah menganggap perang informasi, kegiatan propaganda, dan manipulasi informasi sebagai ancaman siber. Sementara itu, “pertahanan siber” didefinisikan sebagai suatu upaya untuk menanggulangi serangan siber yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan pertahanan negara. Pada dokumen yang sama, “serangan siber” didefinisikan sebagai “segala bentuk perbuatan, perkataan, pemikiran…yang disasarkan pada sistem elektronik atau muatannya (informasi) maupun peralatan yang sangat bergantung pada teknologi dan jaringan….yang mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa”.

Dalam dokumen Daftar Inventaris Masalah (DIM) pemerintah tahun lalu mengenai RUU TNI, pemerintah turut menganggap ancaman virtual dan kognitif seperti manipulasi sosial, polusi informasi, dan narasi dengan ekspresi berlebih sebagai bentuk ancaman siber. Meskipun sudah dihapus dan tidak disebutkan secara eksplisit dalam draf final, tapi hal ini menggambarkan konstruksi berpikir pemerintah yang mencampuradukkan antara cyber operations (serangan teknis yang menargetkan komputer/infrastruktur siber) dengan cyber-enabled information warfare (serangan sosial yang menargetkan pikiran manusia). Hal ini semakin terlihat dari dokumen Satuan Siber (Satsiber) TNI, yang mencampuradukkan dua jenis perang ini. Pada dokumen itu, Satsiber TNI juga terlihat sangat berambisi untuk menguasai kemampuan takedown konten dan akun hingga operasi kontra opini publik.

Selain perluasan OMSP, Pasal 47 ayat 1 juga membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi sipil yang mengatur ruang siber. “Prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi….siber dan/atau sandi negara,..”. Rumusan pasal ini membuka peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki posisi-posisi strategis di Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN).

Berdasarkan hal-hal sebagaimana kami uraikan di atas, kami berpandangan sebagai berikut:

Pertama, perluasan OMSP ke ruang siber berpotensi menjadi alat justifikasi bagi Negara untuk mengambil kebijakan-kebijakan koersif-militeristik yang membatasi ruang sipil. Beberapa di antaranya seperti: pembatasan informasi, penurunan konten, pemblokiran website, pengetatan regulasi ekspresi online, dengan dalih ancaman propaganda asing tanpa terdapatnya penilaian yang transparan dan rasional. Pasalnya, berdasarkan rumusan ketentuan pada draf terakhir RUU TNI, kualifikasi ancaman siber tidak terbatas pada cyber operations dalam bentuk serangan teknis terhadap infrastruktur siber. Pemenuhan hak-hak sipil politik, termasuk namun tidak terbatas pada ruang digital, harus bersifat pasif atau minim intervensi, semakin banyak intervensi yang dilakukan oleh Negara akan selalu beriringan dengan menurunnya kebebasan ruang sipil.

Kedua, pemerintah gagal melihat persoalan ancaman siber secara holistik dan komprehensif. Ancaman siber dipandang sebatas ancaman terhadap negara dan militer. Padahal, terdapat peraturan lain yang jauh lebih mendesak untuk dibahas dan disahkan, seperti peraturan mengenai akuntabilitas korporasi digital yang bertanggung jawab atas operasi informasi di platformnya dan peraturan pelaksana Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar dapat segera berlaku secara efektif. Dibandingkan dengan memperluas fungsi TNI, peraturan-peraturan ini justru lebih penting karena dapat memberikan dampak dan manfaat langsung bagi masyarakat, seperti melindungi privasi serta menjamin hak atas informasi yang kredibel.

Ketiga, perluasan peran TNI juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih wewenang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). UU ITE menjadikan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) sebagai penanggung jawab utama penanganan konten-konten ilegal dan berbahaya. Jika TNI diberikan kewenangan yang luas dalam menangani ancaman siber non-teknis seperti operasi informasi, maka akan terjadi konflik kewenangan dengan Komdigi. Penyensoran yang berpotensi semakin masif akibat konflik kewenangan kedua lembaga negara ini justru akan semakin menggerus kebebasan berekspresi masyarakat di ruang digital. Sementara itu, RUU KKS juga mengandung substansi yang sama, sehingga berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan Badan Siber dan Sandi Nasional (BSSN). Hal ini semakin menyudutkan posisi rentan demokrasi masyarakat vis-a-vis aparatur sipil, quasi-militer, dan militer sekaligus di ranah digital.

Keempat, perluasan jabatan sipil terkait ruang siber yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif merupakan ancaman nyata bagi prinsip supremasi sipil dalam konteks tata kelola siber. Jika prajurit TNI aktif dapat menduduki posisi-posisi strategis di BSSN, maka independensi badan tersebut dalam merumuskan kebijakan dapat terdistorsi oleh kepentingan militer. Selain itu, dominasi militer dalam tata kelola siber juga dapat melahirkan kebijakan-kebijakan siber yang bersifat militeristik, yang acapkali tidak sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Maka dari itu, kami, Digital Democracy Resilience Network (DDRN) menuntut pemerintah dan DPR RI untuk:

  1. Menghentikan proses pengesahan RUU TNI yang tidak transparan, tidak melibatkan masyarakat, dan terburu-buru;
  2. Menolak perluasan fungsi TNI dalam ranah sipil termasuk ruang digital karena akan mengembalikan supremasi militerisme di Indonesia.
  3. Menghapus ketentuan-ketentuan yang melegitimasi militerisasi ruang siber, termasuk perluasan OMSP yang membuka peluang bagi militer untuk menangani ancaman siber tanpa cakupan serta batasan yang jelas, dan perluasan posisi sipil terkait siber dan sandi yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.

Tentang Digital Democracy Resilience Network, Digital Democracy Resilience Network (DDRN) adalah jejaring masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada isu demokrasi digital di Indonesia. Jejaring ini dibentuk pada tahun 2021 dengan tujuan untuk meningkatkan daya tawar masyarakat sipil di tengah tata kelola digital yang semakin didominasi oleh negara dan korporasi teknologi. Hingga hari ini, jejaring ini sudah memiliki 29 anggota organisasi yang berasal dari lintas daerah dan lintas isu.

Anggota DDRN terdiri atas: Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Aliansi Mahasiswa Papua (AMP); Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers); Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa); Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS); Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); Arus Pelangi; Public Virtue (PV); Social Justice Indonesia (SJI); Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK); Pusat Informasi, Kecerdasan Artifisial, dan Teknologi (PIKAT) Demokrasi; SIGAB Indonesia; XR Meratus; FeminisThemis; Flower Aceh; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); Koalisi Perempuan Indonesia (KPI); GeRAK Aceh; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Safer Internet Lab (SAIL); YPPM Maluku; Serikat Sindikasi; INKLUSI; Remotivi; dan Kemitraan.