#IndonesiaGelap, Ruang Digital Penuh Sensor

Pernyataan Sikap SAFEnet
#IndonesiaGelap, Ruang Digital Penuh Sensor

Pemindaian dengan OONI di lokasi Aksi #IndonesiaGelap

Kami, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi masyarakat sipil yang fokus memperjuangkan hak digital, mendukung penuh gerakan seluruh elemen warga yang meluapkan amarahnya terhadap kebijakan-kebijakan di rezim pemerintahan Prabowo Subianto. Tagar #IndonesiaGelap yang mencuat di media sosial dalam beberapa waktu ke belakang bukanlah ekspresi yang datang dari ruang hampa. Ia muncul dari kegelisahan warga atas semakin buruknya situasi ekonomi dan semakin maraknya pengekangan kebebasan berekspresi.

Pada laporan situasi tahunan bertajuk “Tergencet Estafet Represi di Internet” yang diluncurkan pekan lalu, kami telah mendokumentasikan peningkatan signifikan korban kriminalisasi kebebasan berekspresi daring, semakin bervariasinya modus serangan digital terhadap kelompok-kelompok kritis, dan terus dilanjutkannya penyensoran terhadap muatan-muatan kritis di internet oleh pemerintah. Menimbang situasi ini, sudah sewajarnya warga jengah dan meluapkan ekspresi kemarahannya terhadap penyelenggara negara.

Intimidasi Polisi terhadap Sukatani

Salah satu hal yang kami soroti dalam perkembangan terbaru adalah dugaan intimidasi terhadap kelompok band Sukatani oleh Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng). Sukatani diduga diintimidasi, dengan kedok “meminta klarifikasi”, oleh aparat kepolisian untuk menghentikan penyebaran lagu berjudul “Bayar…Bayar…Bayar”. Lagu tersebut secara substansi mengandung kritik terhadap budaya korupsi di institusi kepolisian. Band punk asal Purbalingga itu juga diduga diminta untuk membuat video klarifikasi berisi penjelasan dan permintaan maaf kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Listyo Sigit Prabowo. Video tersebut kemudian diunggah ke seluruh platform media sosial.

Kami menilai, intimidasi oleh aparat kepolisian ini merupakan bentuk penyensoran terhadap kebebasan berekspresi. Pertama, lagu yang diciptakan dan disenandungkan oleh Sukatani merupakan bentuk karya seni yang dilindungi dalam standar kebebasan berekspresi internasional. Permintaan polisi untuk menghapus lagu tersebut dari platform digital adalah pelanggaran hak digital, terutama kebebasan berekspresi di ranah digital. Pembatasan kebebasan berekspresi harus memenuhi syarat three-part test, yaitu uji legalitas, uji nesesitas-proporsionalitas, dan uji tujuan yang sah (legitimate aim).

Tidak ada satupun hasutan melakukan kekerasan terhadap pihak tertentu dalam lirik lagu “Bayar…Bayar…Bayar”. Tidak ada juga ajakan untuk melakukan diskriminasi terhadap identitas kelompok tertentu yang terkandung dalam lirik lagu tersebut. Juga tidak ditemukan unsur-unsur serangan terhadap martabat individu, keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan publik, maupun moral publik. Maka, permintaan untuk membatasi penyebaran lagu itu tidak sesuai dengan syarat-syarat pembatasan kebebasan berekspresi, karena unsur tujuan yang sah (legitimate aim) tidak terpenuhi. Uji legalitas juga tidak terpenuhi karena tidak satupun pasal dalam peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh Sukatani. Sebagai instansi publik, kepolisian, yang menjadi sasaran kritik dalam lagu tersebut, seharusnya melakukan pembenahan, bukan justru memandangnya sebagai bentuk kejahatan siber.

Kedua, kami juga menyoroti pelanggaran hak atas anonimitas dalam dugaan intimidasi yang dilakukan terhadap Sukatani. Selama ini, band punk ini menjadikan anonimitas sebagai salah satu personanya di atas panggung. Para personelnya, Twister Angel dan Alectroguy, selalu tampil dengan menggunakan balaclava. Namun, dalam video klarifikasi yang diunggah ke seluruh akun media sosial Sukatani, Twister Angel dan Alectroguy tampil dengan wajah terbuka dan menyebutkan nama aslinya kepada publik. Kami menduga, ada paksaan kepada kedua personel Sukatani untuk membuka identitas aslinya ke publik. Pasalnya, selama ini anonimitas selalu dipandang sebagai ancaman dan gangguan oleh aparat keamanan. Padahal, anonimitas merupakan bagian dari hak asasi manusia seseorang, terutama di ruang digital, di mana jejak digital tidak bisa dihapus selamanya. Anonimitas pula yang bisa melindungi seseorang dari berbagai intrusi privasi, baik yang dilakukan oleh korporasi maupun negara.

Terakhir, munculnya video permintaan maaf Sukatani menjadi bukti bahwa kepolisian harus kembali memperhatikan proses penegakan hukum. Apabila perbuatan pihak kepolisian ini dilandasi oleh Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, perlu dilakukan pembenahan oleh aparat penegak hukum bagaimana pembuktian tindak pidana hingga pada akhirnya diperlukan pembuatan permohonan maaf secara publik. Hal ini penting agar tidak melanggar hak warga negara khususnya perlindungan hak kebebasan berekspresi.

Penyensoran oleh Meta

Selain intimidasi oleh aparat kepolisian, Meta juga tercatat berperan dalam melakukan penyensoran terhadap ekspresi warganet. Cerita Instagram dengan fitur “add yours” berisi solidaritas terhadap Sukatani yang dibuat oleh akun Enter Nusantara diduga dihapus oleh Meta. Cerita Instagram tersebut berisi cover album Gelap Gempita dengan tulisan “#KamiBersamaSukatani #1312 Tolak Segala Pembungkaman Karya Seni!”. Dalam kurang dari 24 jam, cerita Instagram “add yours” ini telah diunggah ulang (repost) oleh setidaknya 104 ribu orang, sebelum akhirnya tiba-tiba menghilang. Cerita Instagram ini bisa dipastikan dihapus karena tidak ada di arsip cerita, baik milik Enter Nusantara selaku inisiator maupun orang-orang lain yang mengunggah ulang.

Berbagai bentuk ekspresi lain terkait #IndonesiaGelap juga diduga diturunkan paksa oleh korporasi media sosial. Kami mendokumentasikan sejak 19-21 Februari 2025, setidaknya 13 warganet mengaku unggahannya tentang situasi politik nasional dimoderasi oleh korporasi media sosial. Poster propaganda yang dipublikasikan oleh akun Instagram resmi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melalui fitur cerita tiba-tiba diturunkan paksa tanpa alasan yang jelas. Cerita Instagram dengan fitur “add yours” berisi kritik terhadap beban efisiensi masyarakat yang diunggah kolektif orang muda Social Justice Indonesia juga terarsip dan terhapus kurang dari 24 jam. Beberapa warganet lain juga mengungkapkan penurunan paksa konten dengan menggunakan #IndonesiaGelap di Instagram.

Dugaan penyensoran oleh Meta ini merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima. Sebagai korporasi media sosial yang sudah mengeruk profit dari aktivitas warganet sebagai pengguna, Meta seharusnya mampu menjamin kebebasan berekspresi. Terlebih lagi, tidak satupun konten-konten yang diturunkan paksa itu melanggar Standar Komunitas yang dimiliki oleh Meta. Meta seharusnya membuktikan komitmennya terhadap kebebasan berekspresi dengan menginformasikan secara transparan kepada warganet, khususnya para penggunanya, mengenai permintaan-permintaan penurunan paksa konten oleh pemerintah.

Desakan ke Pemerintah, Parlemen, dan Meta

Melihat situasi-situasi di atas, di mana penyensoran secara eksesif dilakukan baik oleh kepolisian sebagai aparat penegak hukum maupun Meta sebagai korporasi media sosial, kami mendesak:

  1. Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Listyo Sigit Prabowo, untuk meminta maaf kepada seluruh warga Indonesia yang merasa kebebasannya direnggut pasca intimidasi terhadap Sukatani, menindak tegas seluruh jajarannya yang terlibat dalam intimidasi terhadap Sukatani, dan menjamin perlindungan hukum atas penyebaran karya-karya seni bermuatan kritik di ruang digital;
  2. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, untuk merevisi Pasal 40A Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 mengenai kewenangan moderasi konten, serta mereformasi hukum acara dengan memperhatikan HAM dan memperkuat check and balances antar penegak hukum, terutama di instansi kepolisian;
  3. Meta, untuk menghentikan praktik moderasi konten eksesif terhadap konten-konten #IndonesiaGelap serta secara transparan dan komprehensif memberikan informasi mengenai permintaan-permintaan penurunan paksa konten oleh pemerintah, terutama konten-konten politik kepada penggunanya;
  4. Menteri Hukum, Supratman Andi Atgas, dan Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, untuk menghapus frasa “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” dalam revisi Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019;
  5. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, untuk secara transparan dan komprehensif mempublikasikan data permintaan penurunan paksa konten dari Kementerian Komunikasi dan Digital ke seluruh korporasi media sosial, terutama konten-konten politik, serta merevisi pasal-pasal karet di dalam Permenkominfo 5/2020.