RUU Penyiaran Jangan Jadi RUU Penyensoran

PERNYATAAN SIKAP SAFENET: RUU PENYIARAN JANGAN JADI RUU PENYENSORAN

Belakangan, Revisi Undang-Undang Penyiaran (RUU Penyiaran) menuai banyak sorotan dari akademisi, aktivis, jurnalis, maupun warganet. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai RUU Penyiaran akan memperparah penyensoran yang selama ini sudah dilakukan oleh negara di ranah digital.

Draf tertanggal 27 Maret 2024 yang diterima SAFEnet memperlihatkan banyaknya pasal-pasal bermasalah. Pasal-pasal ini berpotensi digunakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk memberangus kebebasan berekspresi dan hak atas informasi warganet. Ketentuan yang sangat mengkhawatirkan adalah meluasnya wewenang KPI untuk mengatur konten-konten di platform digital.

Selain itu, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS) terlihat jelas menggunakan perspektif sekuritisasi. Negara melihat ekspansi lembaga-lembaga penyiaran lama ke ranah digital maupun kemunculan media-media baru sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan ketertiban umum sehingga harus dibatasi. Ini termanifestasi pada cakupan P3 dan larangan-larangan dalam SIS yang membawa bara penyensoran.

Secara eksplisit, RUU Penyiaran memandatkan P3 disusun dengan sumber dari nilai agama, moral, ketentuan peraturan perundang-undangan, perkembangan teknologi, budaya, adat istiadat, dan norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat. Sementara itu, SIS ditujukan untuk melindungi kepentingan masyarakat, menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan ketertiban umum.

Begitupun dengan panduan kelayakan isi dan konten siaran dalam SIS. Meskipun pelindungan hak privasi dan hak kelompok rentan masuk dalam tujuan penyusunannya, namun tidak dengan kebebasan berekspresi dan hak atas informasi. Terlihat jelas baik P3 maupun SIS merefleksikan semangat sekuritisasi. Negara tampak anti untuk menggunakan term seperti hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi, baik sebagai sumber nilai maupun tujuan dari penyusunan P3 dan SIS tersebut.

Semangat negara untuk mencengkeram kebebasan berekspresi dan hak atas informasi warganet lewat penyensoran ini jelas bertentangan dengan semangat penghormatan atas hak asasi manusia. Padahal, hak-hak tersebut sudah dijamin dalam dua produk legislasi hasil reformasi, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional untuk Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Adapun pasal-pasal potensial untuk menjadi instrumen penyensoran yang melanggar kebebasan berekspresi dan hak atas informasi warganet adalah:

  1. Pasal 8A dan 34F (2e) yang mewajibkan platform digital untuk melakukan verifikasi konten siaran ke KPI. Namun, tidak dijelaskan verifikasi semacam apa yang dimaksud.
  2. Pasal 8C dan 50(3) yang memperluas kewenangan dan tugas KPI sehingga dapat mengawasi konten-konten di platform digital.
  3. Pasal 36A (2) yang memberikan kewenangan kepada KPI untuk memberikan sanksi kepada platform digital yang dianggap melanggar peraturannya. Sanksi ini termasuk memberi rekomendasi pada Kemenkominfo untuk memutus akses terhadap konten di platform digital.
  4. Pasal 23 yang melarang kepemilikan platform digital oleh organisasi/komunitas yang mewakili kepentingan propaganda kelompok tertentu atau organisasi terlarang dengan melakukan hasutan perbuatan melanggar hukum.
  5. Pasal 28A yang melarang platform digital milik penyedia jasa penyiaran berlangganan untuk menyiarkan konten yang membahayakan kepentingan bangsa, mengancam pertahanan dan keamanan nasional, bertentangan dengan norma kesusilaan, mengandung pornografi dan sadistis, mempertentangkan SARA, dan menyajikan perilaku LGBT.
  6. Pasal 46A (2) yang melarang materi iklan untuk menggunakan model iklan atau mempromosikan perilaku LGBT dan melanggar nilai kesopanan, nilai kepantasan, dan nilai kesusilaan.
  7. Pasal 50B (2) yang melarang konten yang mengandung jurnalisme investigasi, gaya hidup negatif, aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan, perilaku LGBT, berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penodaan agama.

Mempertimbangkan kehadiran pasal-pasal tersebut dan situasi sosial-politik yang melatarbelakangi munculnya RUU ini, SAFEnet menyatakan:

Pertama, penyusunan regulasi mengenai internet tidak dapat disamakan dengan medium telekomunikasi lainnya seperti penyiaran. Internet memiliki lapisan-lapisan unik, terdiri atas lapisan fisik, protokol, aplikasi, hingga konten. Lapisan-lapisan ini saling terkait. Hukum harus menghormati integritas tiap lapisan. Di dunia internasional, tata kelola internet menggunakan pendekatan multipihak (multistakeholder). Pendekatan ini tidak terefleksi dalam RUU Penyiaran karena wewenang sangat besar yang diberikan kepada KPI. KPI berwenang untuk mengatur lapisan aplikasi sekaligus konten. Pemberian wewenang tunggal pada lembaga negara seperti KPI untuk mengawasi platform digital semakin mempertontonkan tendensi otoritarianisme digital di Indonesia.

Kedua, watak otoritarianisme digital tidak akan menjawab persoalan-persoalan yang ada. Keinginan negara untuk mengontrol arus informasi warganet dengan melakukan penyensoran tidak akan menjawab masalah apapun. Perundungan siber, disinformasi, saling hujat, pornografi, dan berbagai “konten negatif” akan semakin sulit ditangani dengan berlakunya peraturan ini. Justru, RUU Penyiaran ini memicu masalah baru. Sebab, ruang gerak sumber-sumber informasi kritis seperti pers kian dibatasi, pembuat konten edukatif semakin dipersulit oleh segudang peraturan, sementara platform digital berpotensi melakukan swasensor secara berlebihan guna tunduk pada hukum.

Ketiga, RUU Penyiaran akan melanggengkan marjinalisasi terhadap LGBT. Berbagai kontradiksi terkandung dalam RUU Penyiaran. Pada satu sisi, negara menaruh perhatian untuk melindungi perempuan, anak, lansia, dan disabilitas. Namun, dalam RUU yang sama, negara juga dengan tegas melanggengkan marjinalisasi terhadap minoritas gender. Salah satunya terlihat pada pasal yang melarang materi iklan dengan model LGBT. Sudah mendapatkan diskriminasi di ranah digital, dirampas pula haknya untuk bekerja.

Keempat, pembatasan kebebasan berekspresi dan hak atas informasi harus sesuai dengan instrumen HAM internasional. Berdasarkan ICCPR dan Komentar Umum Komite HAM PBB No. 34, pembatasan kebebasan berekspresi dan hak atas informasi dapat dibatasi setelah melalui three part-test, yaitu uji legalitas, uji proporsionalitas, dan uji nesesitas. Pembatasan tidak dapat dilakukan secara berlebihan dan hanya dapat dilakukan jika memiliki tujuan yang jelas. Ketentuan mengenai konten-konten yang dilarang maupun mekanisme pembatasan yang terkandung dalam RUU Penyiaran terlihat jelas tidak merefleksikan hal ini.

Berdasarkan pertimbangan empat poin tersebut, SAFEnet mendesak DPR RI dan Presiden Joko Widodo untuk:

  1. Menunda pembahasan dan pengesahan revisi UU Penyiaran;
  2. Meninjau ulang urgensi memasukkan platform digital dalam revisi UU Penyiaran;
  3. Menggunakan konsep ko-regulasi atau pengaturan multipihak untuk mengatur platform digital alih-alih memberikan kewenangan besar pada satu lembaga negara;
  4. Menghapus pasal-pasal problematik yang dapat membungkam kebebasan berekspresi, merenggut hak atas informasi, serta melanggengkan diskriminasi terhadap warganet;
  5. Membahas revisi UU Penyiaran secara komprehensif bersama organisasi masyarakat sipil terkait dalam kerangka partisipasi yang bermakna.