Situasi hak-hak digital di Indonesia semakin memburuk sepanjang tahun lalu. Hal tersebut tergambarkan dalam Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia yang diluncurkan SAFEnet pada Jumat (24/2) lalu di Jakarta.
Menukil cerpen karya sastrawan AA Navis, Robohnya Surau Kami, laporan situasi SAFEnet tahun ini berjudul Robohnya Hak-hak Digital Kami. “Bukan asal-asalan kami memilih judul Robohnya Hak-hak Digital Kami sebagai judul. Pemantauan selama setahun dan analisis kami terhadap situasi tersebut memang menunjukkan demikian,” demikian pengantar di laporan tersebut.
Kesimpulan situasi tersebut, menurut SAFEnet, berdasarkan empat indikator dalam hak-hak digital, yaitu hak untuk mengakses Internet, hak untuk bebas berekspresi, hak atas rasa aman, serta kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Pertama, dari sisi akses Internet. Meningkatnya jumlah pengguna Internet di Indonesia, dari 175 juta pada 2020 menjadi 220 juta pada 2022, belum diikuti dengan meningkatnya kualitas layanan Internet di negeri ini. Indonesia masih menghadapi masalah akses Internet dari sisi kecepatan, keterjangkauan harga, dan kesetaraan.
Ketika akses Internet masih terhambat dari sisi infrastruktur dan kesetaraan, di sisi lain praktik pemutusan akses juga masih terus terjadi. Salah satu contohnya terjadi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah pada Februari 2022. “Praktik pemutusan atau pembatasan akses Internet menjadi contoh buruk pelanggaran hak untuk mengakses Internet sebagai bagian dari hak-hak digital,” ujar Anton Muhajir, Koordinator Penyusunan Laporan Situasi SAFEnet.
Praktik ini, Anton melanjutkan, lazim digunakan negara-negara otoritarian, seperti Iran, China, dan Ethiopia. “Pemutusan akses Internet di Wadas adalah bagian dari represi digital,” tegasnya.
Berdasarkan pemantauan SAFEnet, sepanjang tahun 2022 telah terjadi gangguan akses Internet setidaknya 36 kali. Papua masih menjadi wilayah paling banyak mengalami pemutusan akses Internet baik karena alasan teknis, semacam kabel bawah laut putus, maupun hal politis, seperti adanya konflik sosial ataupun sabotase oleh kelompok bersenjata.
Kedua, kebebasan berekspresi di ranah digital. Sepanjang tahun 2022 setidaknya terjadi 97 kasus pemidanaan terhadap ekspresi di ranah digital dengan jumlah terlapor sebanyak 107 orang. Jumlah ini meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun lalu sebanyak 30 kasus dengan 38 orang korban kriminalisasi. Peningkatan drastis ini sekaligus menempatkan tahun 2022 sebagai tahun dengan jumlah pemidanaan terbanyak dalam 9 tahun terakhir.
Jika melihat latar belakang korban kriminalisasi, maka terlihat bahwa ancaman itu berbahaya terhadap demokrasi. Aktivis (16 orang) dan mahasiswa (11 orang) masuk dalam daftar lima korban terbanyak. Sedangkan dari pelapor, mayoritas adalah pimpinan organisasi atau institusi yang mewakili kelompok atau pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan.
“Ambruknya hak-hak digital itu terlihat semakin parah ketika melihatnya dari sisi hak atas rasa aman,” lanjut Anton.
Rasa aman di Internet merupakan indikator ketiga. Menurut pemantauan SAFEnet, selama tahun 2022, terjadi insiden keamanan digital sebanyak 302 kali. Artinya, rata-rata terjadi lebih dari 25 insiden tiap bulan. Angka tersebut meningkat dibandingkan dua tahun sebelumnya yaitu 147 insiden (2020) dan 193 insiden (2021).
Maraknya serangan digital tidak bisa dilepaskan dari situasi politik nasional maupun lokal. Pada September 2022, terjadi serangan masif terhadap akun Twitter Mata Najwa, jurnalis, staf media, dan mantan staf Narasi TV. Insiden lain adalah serangan terhadap netizen yang memprotes pemblokiran akses beberapa platform, seperti Paypal dan Steam, pada Agustus 2022.
Serangan digital juga terjadi pada setidaknya 12 mahasiwa yang turun aksi di Jakarta pada April 2022 menolak wacana perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga kali. Serangan terhadap kelompok kritis memang masih dominan. Aktivis, jurnalis, media, dan organisasi masyarakat sipil mengalami serangan paling banyak, hingga 42,81 persen dari 326 korban serangan digital pada 2022.
Selain serangan digital dan kebocoran data pribadi, robohnya hak-hak digital juga masih terlihat dari maraknya KBGO. Selama 2022, terdapat 698 aduan, naik 21 kasus dibandingkan 2021.
Menurut Anton, salah satu hal yang perlu diwaspadai dari maraknya kasus KBGO ini adalah semakin banyaknya korban di kalangan anak-anak. Pada tahun 2022 lalu, jumlah anak berusia 12-17 tahun yang menjadi korban KBGO sebesar 22,9 persen. Jika dibandingkan dari laporan tahun 2021 yang hanya 8 persen, ada peningkatan cukup besar untuk pelapor usia anak.
“Tanpa penegakan hukum yang tegas terkait maraknya serangan digital, kebocoran data, dan KBGO ini, maka akan semakin banyak korban pelanggaran hak-hak digital. Hal yang kian mempuruk situasi demokrasi di negeri ini,” kata Anton.
Kegiatan peluncuran laporan ini juga dirangkaikan dengan diskusi publik bertema: Menuntut Tangung Jawab Negara Dalam Kebocoran Data Pribadi. Diskusi ini menghadirkan dua narasumber, yaitu: Arie Sembiring (Peneliti Katadata), dan Shevierra Damadiyah (Koalisi Advokasi Perlindungan Data Pribadi). Dua perwakilan pemerintah yang diundang, yaitu dari Kementerian Kesehatan dan Badan SIber dan Sandi Negara (BSSN), berhalangan untuk hadir.
Kontak:
Hotline SAFEnet – 0811-9223-375
Laporan Situasi Hak-hak Digital Indonesia 2022 bisa diunduh pada tautan berikut.