[Diskusi Publik] Suntik Mati Sinyal 3G di Indonesia

Pada tanggal 7 September 2022 lalu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menggelar webinar bertema \”Suntik Mati 3G: Dampak Terhadap Hak Mengakses Internet\”. Seri webinar Akses Internet ini merupakan bagian dari program kerja Divisi Akses Internet SAFEnet, yang memiliki tujuan mengedukasi masyarakat mengenai perkembangan isu-isu hak atas akses internet yang merupakan bagian dari hak-hak digital.

Kegiatan ini dihadiri lebih dari 50 peserta dari berbagai elemen masyarakat. Webinar ini dimoderatori oleh Kepala Divisi Akses Internet SAFEnet, Unggul Sagena dengan mengundang Onno W. Purbo (Pakar Internet Rakyat), M. Suryanegara (Dosen Telekomunikasi UI) dan Fakrullah Maulana (Ketua Relawan TIK Aceh).

Webinar ini lahir dari amatan terhadap tindakan pemerintah untuk mematikan jaringan 3G secara nasional. Per 20 Juli 2022, setidaknya terdapat 143 kota/kabupaten di pulau-pulau yang tidak lagi bisa mengakses jaringan 3G Telkomsel. Adapun wilayah yang terkena pemadaman jaringan 3G Telkomsel pada jadwal itu, meliputi beberapa kota/kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali – Nusa Tenggara, serta Maluku – Papua. Langkah Telkomsel ini sesuai dengan arahan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) RI. Namun demikian perlu dicatat, pemutusan ini seyogyanya dilakukan berbarengan dengan percepatan layanan 4G dan pemerataan pembangunan infrastruktur khususnya di daerah 3T (Tertinggal, Terdalam, Terluar).

Sebagai contoh, bahkan di kawasan pariwisata baru yang diresmikan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Likupang, misalnya, jaringan 4G sangat tidak stabil dan sering putus. Hal sama terjadi pada beberapa kawasan di Indonesia lainnya, bahkan pada saat ada event Internasional (misalnya pantauan SAFEnet pada bulan sebelumnya di sirkuit Mandalika). Apabila event selesai, menurut informasi masyarakat lokal, mereka kesulitan mengakses Internet.

Di Ternate, Maluku Utara, jaringan internet Telkomsel 4G untuk paket prabayar di Kota Ternate, Maluku Utara, sering mengalami lemot atau lambat terakses oleh pengguna smartphone. Mengenai hal ini, pihak Telkomsel Network Ternate mengemukakan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut, pertama adalah kartu SIM yang belum diupgrade pengguna, dan kedua, memang ada blank spot atau kondisi di mana suatu tempat tidak tersentuh atau tidak terlingkupi oleh sinyal komunikasi.

Apalagi, dengan “suntik mati” 3G, tak ada alternatif yang lain selain menerima kondisi 4G yang tidak stabil. Kondisi daerah yang “blankspot” seharusnya dapat diatasi dengan infrastruktur, namun misalnya di Ternate, pihak provider mengakui bahwa selain masyarakat belum menukar kartu SIM ke 4G, jikapun sudah ditukar dan dipakai di smartphone, adanya banyak titik blankspot menyebabkan Internet lemot dan mati.

Akademisi M. Suryanegara sebagai pembicara pertama memaparkan mengenai evolusi teknologi jaringan dari 1G pada tahun 1970 hingga 5G pada tahun 2020. Dalam penjelasannya, Suryanegara memaparkan perbedaan karakteristik antar teknologi jaringan tersebut. Ia kemudian mewanti-wanti jangan sampai yang terjadi adalah \”4G rasa 3G\”. Walaupun nantinya masyarakat sudah bermigrasi ke jaringan 4G, masyarakat tetap tidak merasakan manfaat dari keharusan mengganti kartu SIM dan ponsel terbaru, yang itupun harus mereka beli memakai uang sendiri.

Pengalaman dengan daerah blankspot dirasakan oleh pembicara kedua, Fakrullah Maulana selaku ketua RTIK Banda Aceh. Berdasarkan pengalamannya, masih terdapat beberapa daerah di Aceh yang belum dapat menikmati akses 4G dan hanya terdapat 3G. Ia menyoroti keterbatasan infrastruktur di Aceh yang hanya terdapat BTS/Tower untuk fasilitas telepon. Dalam hal ini, relawan TIK Aceh banyak membantu meningkatkan literasi digital bagi masyarakat di sekitar. Menurutnya, masih terdapat wilayah di Aceh yang seharusnya masuk ke dalam kategori daerah tertinggal.

Yang ia maksud dengan Daerah Tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional (Vide Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal). Kriteria yang menentukan suatu daerah termasuk dalam Daerah Tertinggal berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 adalah sebagai berikut: 

a. perekonomian masyarakat; 

b. sumber daya manusia; 

c. sarana dan prasarana; 

d. kemampuan keuangan daerah; 

e. aksesibilitas; dan 

f. karakteristik daerah.

Selain berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ketentuan tersebut, penetapan daerah tertinggal juga dapat didasarkan pada pertimbangan karakteristik daerah tertentu. Ketentuan serupa juga tercantum dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019.

Pakar Internet rakyat Onno W. Purbo dalam pemaparannya menyoroti masih mahalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk dapat mengakses internet. Ia berargumentasi bahwa tidak masalah apabila 3G disuntik mati oleh pemerintah, tetapi masyarakat harus diizinkan untuk membangun jaringannya sendiri. Menurut Onno, regulasi yang ada di Indonesia selama ini masih selalu melihat bahwa yang dapat membuat infrastruktur telekomunikasi hanyalah operator besar yang memiliki modal banyak. Padahal, masyarakat juga dapat secara mandiri membangun infrastruktur telekomunikasinya sehingga harga untuk mengkonsumsinya juga dapat lebih murah. Ia memberikan contoh masyarakat di Tangerang yang telah berhasil membangun jaringannya sendiri. 

Di akhir acara, M. Suryanegara menyampaikan bahwa semoga kedepannya teknologi yang semakin canggih dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi manusia. Fakrullah Maulana menyampaikan rasa optimisme dan mengajak relawan TIK di seluruh Indonesia untuk tetap semangat dan senantiasa memperluas informasi dan ilmu. Sedang Onno W. Purbo menyampaikan bahwa masyarakat memiliki 2 opsi pergerakan yang dapat dilakukan dalam meningkatkan bargaining position terhadap Pemerintah, yaitu melalui pergerakan secara hukum tertulis seperti yang dilakukan SAFEnet, maupun dengan cara memberdayakan masyarakat untuk mampu membangun jaringan lokal yang mandiri.