Pada persidangan Selasa, 17 Maret 2020 yang dimulai pukul 15.00 WIB di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jaksa Penuntut Umum Fitriani S.H. mengajukan tuntutan 3 bulan penjara dan denda Rp 10 juta subsider 1 bulan penjara kepada Dr. Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala yang diajukan dalam perkara pencemaran nama baik Dekan Fakultas Teknik Unsyiah Taufik Saidi. SAFEnet menilai tuntutan yang diajukan JPU terlalu mengada-ada dan JPU seharusnya malu.
“Kenapa JPU tidak mengakui saja bahwa perkara yang diajukannya tidak layak dan kalau dia mendengarkan kesaksian prof. Henri Soebiakto seharusnya malu dengen keputusannya sendiri untuk menuntut Dr. Saiful Mahdi?” ungkap heran Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet.
Dalam keterangan saksi ahli ITE yaitu Prof Henri Soebiakto dari Kemkominfo sudah dijelaskan pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa diajukan dalam perkara Saiful Mahdi karena korban tuduhan adalah pribadi kodrati (naturlijkpersoon), bukan pribadi hukum (rechtspersoon) dan bukan pula orang banyak, tapi harus objeknya tunggal (seseorang). Oleh karena hanya manusia yang dapat merasa dirinya dihina atau nama baiknya dicemarkan, maka penghinaan yang ditujukan kepada suatu instansi atau lembaga (rechtpersoon), misalnya Universitas, Fakultas, jajaran Pimpinan yang jumlahnya banyak atau lebih dari satu, tidak termasuk dalam ruang lingkup Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Penjelasan saksi ahli ITE ini penting mengingat saksi yang dihadirkan pada persidangan sebelumnya mengaku bahwa ia turut terlibat dalam penyusunan UU ITE sejak mesih dalam rancangan hingga pembahasan dan disahkan pada tahin 2008.
Selain keterangan saksi ahli ITE, sejumlah penjelasan berikut ini penting untuk diikuti.
Penjelasan dari saksi ahli bahasa Totok Suhardijanto. M.Hum., Ph.D – Dosen Fakultas Ilmu Bahasa (FIB) – Universtitas Indonesia, yang telah menyatakan bahwa apa yang disampaikan di postingan WA Unsyiah KITA dengan memakai kata “matinya akan sehat” sebagai suatu cara untuk mengkritik sesuatu. Ini adalah cara Dr. Saiful Mahdi untuk menulis secara metáforis atas sebuah situasi. Tidak ada kalimat yang ditujukan pada seseorang atau pribadi.
Kemudian, adanya fakta hukum bahwa percakapan yang dipersoalkan sebenarnya berada dalam grup Whatsapp Unsyiah KITA yang telah memuat etika bahwa semua percakapan untuk kalangan sendiri dan tidak boleh disebarluaskan ke pihak lain. Mengingat bahwa bukan Dr. Saiful Mahdi yang menyebarluaskan informasi ke publik lebih luas dan terutama kepada Taufik Saidi selaku Dekan Fakultas Teknik Unsyiah maka seharusnya Dr. Saiful Mahdi bukan orang yang duduk sebagai terlapor di persidangan tersebut.
Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi regional yang memperjuangkan hak-hak digital warga di Asia Tenggara dan sejak awal memantau proses persidangan perkara Dr. Saiful Mahdi di PN Banda Aceh, berpendapat bahwa sudah seharusnya majelis hakim di PN Banda Aceh mengabaikan tuntutan yang diajukan oleh JPU Fitriani S.H. karena tuntutannya tidak masuk akal dan mengada-ada.
“Dalam Amicus Curiae yang kami kirimkan kepada Majelis Hakim, SAFEnet memohon agar majelis hakim memvonis bebas Dr. Saiful Mahdi dari perkara pencemaran nama baik ini,” tegas Damar.
Denpasar, 18 Maret 2020