Digunakannya pasal karet 27 ayat (3) UU ITE kini juga kerap terjadi di dalam lingkup akademis. Hak-hak berpendapat dan berekspresi civitas akademika dibelenggu karena dengan mudahnya jajaran pimpinan universitas meminta polisi untuk mengusut mereka yang kritis. Atas persoalan ini, kebebasan akademik ikut terancam karena pasal karet UU ITE.
Selama ini sebagai organisasi regional yang memperjuangkan hak-hak digital sebagai hak asasi manusia, SAFEnet mengupayakan advokasi yang berkeadilan dan akses pada keadilan untuk korban timbul kasus yang menggunakan pasal karet ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengirimkan Amicus Curiae.
“Kali ini Amicus Curiae kami kirimkan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh untuk perkara Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN.Bna atas kasus yang dialami Dr Saiful Mahdi. Ia kini tengah disidangkan atas dakwaan melanggar Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE),” ujar Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet.
Amicus curiae adalah istilah hukum, yang secara harfiah berasal dari bahasa Latin yang berarti “friend of the court” atau “”sahabat pengadilan”. Jika pengaju lebih dari satu orang/organisasi maka disebut “Amici Curiae” dan pengajunya disebut dengan amici(s). Disebut sebagai sahabat pengadilan, amicus curiae membantu dalam memberikan keteragan dan argumen terkait persidangan.
Amicus curiae pertama kali dikemukakan pada Zaman Romawi. Sejak Abad ke-9, praktik amicus curiae yang membantu memberikan keterangan di persidangan dilakukan oleh negara-negara dengan sistem hukum common law. Umumnya, amicus curiae dilakukan dalam persidangan mengenai hak-hak sipil masyarakat, dalam taraf banding dan pada kasus-kasus besar.
Kami mendefinisikan amicus curiae sebagai “Seorang, sekelompok orang, dalam bentuk organisasi atau perkumpulan sebagai amici’s, yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan berbagai pihak di dalam perkara pengadilan, namun memiliki ketertarikan terhadap perkara tersebut, disertai dengan memberikan keterangan, untuk membantu pengadilan atas masalah yang masih diragukan dalam fakta hukum, sehingga menghasilkan suatu keputusan yang melibatkan masyarakat luas. Meskipun keterangan dan fakta-fakta yang dihadirkan dianggap penting secara keseluruhan oleh amici’s, keputusan seluruhnya diserahkan kembali kepada pengadilan.”
Negara-negara dengan sistem civil law belum lazim melihat amicus curiae sebagai praktik hukum. Namun, bukan berarti amicus curiae tidak ada pada civil law. Pada 1990, Pemerintahan Brazil membuat legislasi mengenai penerimaan amicus curiae pada sistem pengadilannya, disusul pada 2004 oleh Mahkamah Agung Argentina dan Mahkamah Konstitusi Peru. “Di Indonesia, meski tidak dijelaskan secara eksplisit, kewajiban hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan, mewajibkan hakim untuk membuka seluas-luasnya atas informasi dan gagasan hukup di dalam lingkup pengadilan,” penjelasan dari Nabillah Saputri dari SAFEnet, penyusun Amicus Curiae untuk perkara ini.
Dalam kasus yang dialami oleh Dr Saiful Mahdi, terjadi pemidanaan akibat yang bersangkutan memberi pernyataan dalam WhatsApp Group UnsyiahKita dan Whatsapp Group Pusat Riset dan Pengembangan mengenai kejanggalan proses penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala.
Kejadian ini bermula pada bulan Oktober 2018, saat diumumkan hasil rekrutmen dosen di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala, yang mengikuti skema seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Saat itu ada seorang dosen muda bernama Trisna yang merupakan dosen non-PNS dan sudah mengajar selama labih kurang 2 (dua) tahun di Fakultas Teknik Industri namun tidak berhasil lolos tes CPNS di tahapan subyektif, sekalipun dalam tahapan objektif yakni tes TKD memperoleh nilai tertinggi di Fakultas Teknik industri dan nomor 2 tertinggi di tingkat Universitas Syiah Kuala. Merasa ada kejanggalan dalam proses tersebut yang tidak bisa diterima dengan berbekal ilmu statistika yang dikuasainya, Dr Saiful Mahdi kemudian memosting pendapat di dalam WA Groups UnsyiahKita.
Pada tanggal 30 Agustus 2019 Saiful Mahdi kembali mendapatkan panggilan sebagai Tersangka untuk pemeriksaan tanggal 2 September 2019, dengan pasal dan undang-undang yang sama, yaitu dalam perkara dugaan tindak pidana Pencemaran Nama Baik dengan menggunakan sarana elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaski Elektronik.
SAFEnet berpendapat bahwa untuk menilai perkara tersebut dapat diklasifikasikan dalam kerangka berpikir yang mempertimbangkan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, pencemaran nama baik, dan kebebasan akademik.
Dalam kebebasan berpendapat dan berekspresi, setiap orang mempunyai batasan-batasan tertentu. Ketika seseorang mengungkapkan pendapatnya, pendapat tersebut tidak menyinggung kepada dua ketentuan, yaitu hak atau nama baik orang lain dan keamanan nasional suatu negara. Hak kebebasan berpendapat dan berekspresi mengindikasikan bahwa setiap orang memiliki hak untuk tidak dipidana atas pendapat dan ekspresinya.
Sedangkan pencemaran nama baik merupakan tindak mengancam reputasi seseorang baik secara tertulis maupun lisan sebagai suatu sebab adanya tindakan kebencian disertai dengan tuduhan. Unsur pencermaran nama baik dilakukan person-to-person (orang ke orang), dan tidak berlaku ketika subjek hukum tersebut merupakan dari perseorangan pada kelompok/institusi. Pencemaran nama baik tercapai unsurnya ketika citra (dignity) seseorang tercemar.
Berdasarkan penjabaran tersebut, SAFEnet menanggapi tuntutan Jaksa dengan lokus: Apakah status yang diperkarakan mengandung muatan pencemaran nama baik?
Menurut SAFEnet, status yang dibuat Dr Saiful Mahdi tidak melanggar kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan bukanlah pencemaran nama baik dikarenakan terdapat cacat unsur dalam kasus a quo. Kasus ini tidak memenuhi unsur-unsurnya, yaitu melanggar kehormatan dan nama baik sehingga orang lain merasa malu. “Apalagi di dalam status tersebut tidak disebutkannya nama pihak yang dipermalukan secara lugas sehingga tidak ada dasar bagi pihak yang memperkarakan untuk merasa nama baiknya dicemarkan,” tegas Nabillah Saputri.
SAFEnet juga menilai isi dakwaan cacat hukum karena kasus a quo tidak mencantumkan (juncto) pasal lainnya, dalam hal ini pasal 310 KUHP yang dijadikan landasan hukum sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU ITE.
Status Dr Saiful Mahdi yang dituntut Jaksa tidak menunjukkan adanya unsur fitnah, baik tulisan (libel) maupun lisan (slander), yang mengakibatkan kepada mengancam reputasi seseorang, ataupun menuduh seseorang. Status-status tersebut bersifat mempertanyakan kejanggalan secara akademik pada proses penerimaan CPNS di Fakultas Teknik Unsyiah Kuala.
SAFEnet juga berpendapat kasus a quo hanya menutup fakta yang terjadi, bahwa ada kesalahan yang lebih penting dibandingkan mendakwakan kasus a quo ke pengadilan. Yang menjadi konteks dalam perkara ini adalah hak publik untuk mengetahui kebenaran atas proses penerimaan CPNS di Fakultas Teknik. Yang seharusnya dijawab dengan transparansi mekanisme dan tidak perlu kemudian dipidanakan ke kepolisian atas mereka yang kritis bertanya.
Dalam Amicus Curiae ini, SAFEnet merekomendasikan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh yang menangani perkara Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN.Bna untuk membebaskan Terdakwa Dr Saiful Mahdi secara murni.
Silakan membaca Amicus Curiae ini lewat tautan berikut: https://safenet.or.id/wp-content/uploads/2020/02/Amicus-Curiae-Saiful-Mahdi-10022020.pdf