[Rilis Pers] Segera Bebaskan NN, Lindungi Perempuan Dari Jerat UU ITE

Pasal karet mengenai aturan asusila di UU ITE kembali makin korban. Kali ini yang menjadi korbannya adalah perempuan berinisial NN, seorang Pekerja Seks (PS) yang dijerat karena ia tertangkap dalam penggerebekan yang dilakukan oleh Polda Sumatera Barat. Kini ia ditahan di Polda Sumbar, meninggalkan anaknya yang ia titipkan pada tetangga.

Kasus ini bermula dari upaya membongkar kegiatan prostitusi online yang dilakukan oleh Tim Cyber Ditreskrimsus Polda Sumbar pada Minggu, 26 Januari 2020. Polisi menyebut pengerebekan itu berdasarkan laporan Andre Rosiade, seorang anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra Dapil Sumbar 1. Andre Rosiade melakukan itu atas keinginan untuk membuktikan adanya prostitusi online di wilayah Sumatera Barat, karena ia ingin menghapus prostitusi online di Padang, Sumatera Barat.

Belakangan baru diketahui bahwa Andre Rosiade adalah orang yang mengatur pemesanan online lewat aplikasi MiChat. Ia memesan lewat AS, seorang mucikari dan kemudian meminta ajudannya untuk memesankan kamar hotel sebagai tempat pertemuan dengan NN. Andre Rosiade kemudian menyuruh anak buahnya yang lain menemui NN dan berhubungan badan. Setelah itu, ia berkoordinasi dengan kepolisian Polda Sumbar untuk menangkap NN. AS diproses sebagai tersangka di Mapolda Sumbar sesuai Pasal 296 Jo. Pasal 506 KUHP, sedangkan NN dijerat dengen Pasal 27 Ayat (1) UU ITE.

“Ancaman pidana yang menimpa NN akibat inisiatif Andre Rosiade yang dengan sengaja melakukan penjebakan menunjukkan bahwa pasal 27 ayat 1 UU ITE telah multitafsir dalam mendefinisikan tindakan keasusilaan yang termuat dalam pasal karet ini,” ujar Ellen Kusuma, Kepala Sub Divisi Digital At-Risk Communities (DARK) SAFEnet.

Ellen melihat kekurangan dari alasan penerapan pasal karet ini pada NN. Ia mengatakan, “Kami juga belum melihat kejelasan dari Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dipermasalahkan oleh pihak kepolisian sebagai bagian dari muatan yang melanggar kesusilaan.”

Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang disangkakan kepada NN merupakan Lex spesialis dengan pasal lainnya yang berkaitan dengan kesusilaan. Unsur “muatan yang melanggar kesusilaan” tidak dijelaskan secara rinci di dalam UU ITE mengenai apa yang dimaksud dengan kesusilaan itu, yang berdampak kepada ketidakpastian hukum. Sedangkan di dalam KUHP dijelaskan dalam berbagai bentuk delik, seperti pornografi, percabulan, zina hingga judi.

Selain itu, unsur “mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diakses” dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE yang disangkakan harus dilihat berdasarkan keadaan dari dokumen informasi tersebut. Pembuktian keadaan harus dilihat berdasarkan seseorang yang mengakses terlebih dahulu lalu mengirimkannya. Ketika yang disangkakan dalam informasi berupa teks, maka teks tersebut harus diterima oleh orang yang bersangkutan. Dalam kasus NN, AS yang menerima terlebih dahulu pesanan MiChat tersebut.

Pasal 27 Ayat (1) sering mengkriminalisasi korban kesusilaan dan membuat perempuan mengalami viktimisasi berulang. Kasus yang dialami VA yang telah didakwa di Surabaya juga menyudutkan perempuan yang terlibat dalam prostitusi. Di sisi lain, pihak yang menyediakan dan mendapatkan keuntungan dari hasil prostitusi tidak terekspos ataupun diekspos. Tak hanya NN dan VA, pada kasus V asal Garut. Sebagai korban eksploitasi seksual yang dilakukan oleh suaminya, ia justru dijadikan tersangka dalam kasusnya. Tidak adanya keberpihakan pada korban tidak hanya muncul dalam proses hukum. Pengucilan sosial juga terjadi pada korban, sedangkan kekerasan dan pelecehan yang dialami tidak diproses dengan memperhatikan hal tersebut.

Terkait kasus NN, SAFEnet sebagai organisasi regional yang memperjuangkan hak-hak digital warga di Asia Tenggara, menuntut:

  1. Segera bebaskan NN dari tahanan Polda Sumbar
  2. Kepolisian Daerah Sumatera Barat segera membatalkan tuntutan kepada NN dengan sangkaan melanggar kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat (1) UU ITE.
  3. Mendorong pemerintah RI dan DPR RI untuk melakukan pengesahan RUU PKS yang pro terhadap perempuan, seperti hak atas identitas sebagai perempuan, privasi dan akses hukum yang adil.
  4. Mendorong pemerintah dan DPR RI untuk merevisi pasal-pasal karet UU ITE.

“Kami menuntut pemerintah untuk mengkaji dan menguji kembali isi pasal 27 ayat 1 UU ITE yang cenderung dapat mengkriminalisasi korban-korban kekerasan seksual di ranah online, terutama melihat meningkatnya tren kekerasan berbasis gender online yang makin marak terjadi dan dilaporkan,” tutup Ellen.