Rabu, 22 Januari 2020 bertempat di PTUN Jakarta, persidangan perdana gugatan internet shutdown yang diajukan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers — yang terdiri dari penggugat Aliansi Jurnalis Independen, SAFEnet, YLBHI, LBH Pers, KontraS, Elsam, dan ICJR — dimulai tanpa dihadiri oleh salah satu dari pihak tergugat yaitu Presiden Jokowi. Mangkirnya Presiden Jokowi tidak disertai dengan keterangan kepada majelis hakim PTUN sehingga membuat agenda pembacaan jawaban tergugat atas gugatan yang disampaikan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers hanya digunakan untuk mendengar jawaban dari pihak Menkominfo.
Pada persidangan PTUN hari ini, hakim ketua PTUN Jakarta membacakan obyek gugatan yang dipermasalahkan yakni tindakan throttling bandwith yang dilakukan pada 19-20 Agustus 2019, tindakan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan lanjutan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019. Atas dasar tersebut, kuasa hukum dari AJI dan SAFEnet mengajukan tuntutan bahwa Presiden Jokowi dan Menkominfo bersalah karena tidak mematuhi hukum dan melanggar asas pemerintahan yang baik.
“Sidang ini merupakan sidang pertama gugatan kepada Presiden Jokowi lewat mekanisme PTUN. Sidang ini juga penting karena kami mempersoalkan tentang pelambatan akses yang terjadi yang kemudian disusul dengan pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu. Yang menjadi tergugat adalah Menkominfo, tetapi juga sekaligus Presiden Jokowi yang menjadi atasan dari Menkominfo sebagai pihak yang seharusnya mengetahui dan dapat mengintervensi terhadap tindakan yang dilakukan oleh Menkominfo,” ujar Muhammad Isnur kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers. “Persoalan kebijakan pemutusan internet di Papua lalu menunjukkan pemerintah telah bertindak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Indonesia adalah negara hukum sehingga tindakan ini bila tidak didasari oleh aturan hukum yang berlaku dan hanya berdasar pada permintaan dari pihak keamanan saja, maka dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum.”
Putri Kanesia salah satu kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers ikut menambahkan, “Gugatan ini dapat menjadi pembelajaran penting bahwa ke depannya negara tidak boleh secara serampangan melakukan kebijakan pelambatan bandwidth hanya karena alasan menghindari hoax. Pembatasan ini tidak pernah diuji sehingga berdampak pada ketiadaan akuntabilitas negara serta merugikan publik, khususnya jurnalis yang bekerja untuk memastikan kebenaran informasi mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di Papua, dapat diketahui publik.”
Merespon tuntutan tersebut, melalui kuasa hukum tergugat, Menkominfo menyatakan bahwa para penggugat yakni AJI dan SAFEnet tidak memiliki kewenangan sebagai penggugat, sekaligus menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan pada 2019 lalu sudah mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan jawaban dari Presiden Jokowi tidak bisa didengar sampai selesai persidangan, sehingga majelis hakim memutuskan memberi kesempatan kedua pada tergugat Presiden Jokowi untuk memberikan jawaban pada sidang berikutnya, Rabu pekan depan. Kesempatan ini juga akan digunakan oleh pihak penggugat untuk membalas secara sekaligus jawaban yang disampaikan oleh para tergugat.
“Mangkirnya salah satu tergugat yakni Presiden Jokowi dalam persidangan perdana tadi menunjukkan persoalan ini masih dianggap tidak serius. Padahal permasalahan pemadaman internet adalah tindakan yang melanggar hukum internasional,” ujar Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.
Pernyataan bersama PBB pada 2015 menegaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, pemadaman jaringan internet tidak bisa dibenarkan. Tak peduli bagaimana bentuk pembatasan dan pemberlakuannya dan apapun alasannya, pembatasan akses internet dan pemblokiran media sosial tidak pernah setimpal dengan masalah yang mereka sebabkan. Bahkan alasan keamanan nasional dan perang melawan “kabar bohong” pun tidak cukup menjawab dampak sebenarnya dari pemotongan akses informasi terhadap jutaan orang. Pembatasan jaringan dan media sosial juga membatasi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat serta bisa mengakibatkan dampak ekonomi lebih besar.
Bahkan Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berekspresi David Kaye menyebut bahwa pemadaman akses Internet adalah pelanggaran terhadap hukum internasional. Tindakan ini merugikan akses warga terhadap layanan publik. Hal paling penting, pelanggaran itu telah merampas hak asasi orang untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, terutama ketika keamanan publik telah terganggu.
Jika memang pemerintah peduli untuk menjaga ketertiban umum ketika terjadi peristiwa-peristiwa konflik, pemerintah yang bekerja dengan itikad baik akan memilih untuk meningkatkan transparansi, mendorong penyebaran informasi akurat, secara aktif membongkar kabar bohong, dan menjawab langsung keluhan yang menyebabkan kritik dan keresahan. Justru bukan melakukan pemadaman internet atau membatasi akses ke internet.
Tim Pembela Kebebasan Pers
(AJI, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam, ICJR)