Apa bedanya blokir dan pemadaman? Siapa yang bertanggung jawab? Apa yang bisa dilakukan?
Di tahun 2019, pemerintah Indonesia telah tiga kali melakukan pencekikan bandwith internet secara parsial pada media sosial Twitter dan Facebook dan aplikasi pengirim pesan Whatsapp di Jakarta pada 22-25 Mei 2019, lalu pencekikan internet di Papua dan Papua Barat pada 19-20 Agustus yang dilanjutkan dengan pemadaman internet di Papua dan Papua Barat pada 21 Agustus – 5 September 2019, kemudian pemadaman internet dilakukan lagi di Wamena dan sebagian Jayapura pada 23 September 2019. Dalam laporan terbaru Access Now yang terbit pada 8 Juli 2019, menunjukkan dalam tahun 2018 terjadi 196 kali Internet Shutdown di 25 negara. Daftar peristiwa ini kelihatannya akan bertambah panjang.
Hal yang seringkali terlupakan dari kejadian semacam itu adalah penjelasan detail perihal tiap kasus. Mekanisme seperti apa yang digunakan di situasi berbeda-beda? Apa alasan di baliknya? Apa yang sebenarnya terjadi dan kenapa penting? Apa arti semua istilah ini?
Istilah-Istilah Pembatasan Internet
Ada
beberapa jenis pembatasan Internet. Istilah-istilah ini sering digunakan
bergantian sehingga seringkali susah mencerna apa yang sebenarnya
terjadi.
Berikut ini adalah penjelasan untuk masing-masing bentuk pembatasan internet:
Pemutusan/Pemadaman Internet (Internet Shutdowns/Blackouts)
Organisasi AccessNow mengajukan definisi Internet Shutdown sebagai gangguan yang disengaja pada internet atau komunikasi elektronik sehingga menjadikannya tidak dapat diakses atau secara efektif tidak dapat digunakan, untuk populasi tertentu atau di dalam suatu lokasi, seringkali untuk melakukan kontrol atas aliran informasi.
Selama pemadaman Internet, sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali ketersambungan (konektivitas) jaringan. Semua sistem komunikasi yang menggunakan Internet, seperti platform media sosial, aplikasi pesan instan berbasis Internet, dan situsweb pada umumnya, tidak bisa diakses sama sekali.
Pemadaman bisa terjadi secara nasional. Setelah percobaan kudeta di Etiopia pada 22 Juni 2019, misalnya, pemadaman Internet terjadi meliputi 98 persen negara. Namun, pemadaman juga bisa lebih menyasar suatu wilayah secara khusus. Wilayah Kamerun berbahasa Inggris (Anglofon) mengalami pemadaman Internet selama 93 hari pada tahun 2017, sementara pemadaman di Gabon pada awal tahun ini tidak tejadi di seluruh negara.
Meskipun jalur komunikasi lain, misalnya koneksi telepon kabel, tidak terdampak langsung oleh pemadaman jaringan, hingga saat ini belum ada perangkat yang memungkinkan warga di negara lokasi pemadaman untuk melawan pemadaman tersebut.
Pencekikan Internet (Internet Throttling)
Selain mematikan semua akses Internet, pemerintah juga bisa memperlambat jaringan melalui strategi yang disebut dengan pencekikan (throttling). Karena gangguan koneksi bisa terjadi juga akibat buruknya infrastruktur atau masalah teknis, pencekikan lebih susah diidentifikasi seperti halnya pemadaman. Meskipun demikian, beberapa negara tidak menyembunyikan pencekikan Internet yang mereka lakukan.
Pada Agustus 2017, Republik Demokratik Kongo, melakukan pencekikan internet ketika terjadi protes melawan Presiden Joseph Kabila yang menolak turun. Internet diperlambat agar gambar dan video tidak bisa disebarkan melalui media sosial. Perintah khusus dari pengatur telekomunikasi kepada penyedia jasa Internet (ISP) adalah: “Untuk mencegah penyebarluasan gambar-gambar sadis melalui media sosial kepada pelanggan, maka saya meminta kepada Anda untuk… mengambil langkah teknis membatasi hingga kapasitas minimum untuk mengirim gambar.”
Selain untuk memperlambat seluruh koneksi jaringan, pencekikan juga bisa digunakan untuk menarget aplikasi, alamat IP, atau situsweb tertentu. Dalam beberapa kasus pelambatan tertentu, beberapa orang bisa menggunakan jaringan virtual pribadi (Virtual Private Network/VPN) untuk melawan pembatasan, tetapi hal itu tidak bisa dilakukan jika semua jaringan terdampak. Pengguna di negara yang berisiko mengalami masalah gangguan koneksi sebaiknya mengunduh VPN sebagai bentuk pencegahan karena melakukannya ketika jaringan dan platform terganggu akan sangat susah.
Pemblokiran Internet
Tidak seperti pemadaman dan pencekikan yang berdampak terhadap seluruh ketersambungan, blokir internet terutama menyasar materi atau platform tertentu. Memblokir seluruh media sosial atau aplikasi pesan ringkas bisa berdampak seperti halnya pemadaman jaringan: kemampuan untuk berkomunikasi sangat terbatas dan akses informasi dilarang. Di banyak negara, perusahaan media sosial tertentu berfungsi pula sebagai portal utama ke Internet. Banyak perangkat komunikasi, terutama sumber berita, dan situs hiburan menjadi satu.
Lama pemblokiran sangat beragam. Pemblokiran media sosial dan platform pesan ringkas di Chad, seperti Facebook, Twitter, WhatsApp dan Viber, terjadi selama 16 bulan sebelum kemudian kembali dipulihkan. Pembatasan akses Twitter, Facebook, Instagram, Snapchat, dan WhatsApp di Liberia pada 7 Juni terjadi kurang dari sehari.
Uganda memberikan contoh menarik kompleksnya kebiasaan pemblokiran. Ketika pajak baru untuk media sosial berlaku pada 1 Juli 2018, lebih dari 50 platform media diblokir, tetapi hanya untuk pengguna yang belum membayar pajak. Untuk menegakkan pemblokiran terkait dengan pajak, pemerintah juga memblokir banyak VPN.
Pengguna yang mencari cara mengatasi pemblokiran bisa menggunakan VPN dan bisa belajar dari Uganda dengan cara terlebih dulu mengunduh beberapa VPN sebagai antisipasi jika VPN diblokir atau gagal.
Siapa melakukan apa?
Mengidentifikasi siapa pelaku proses pembatasan Internet bisa mengungkap apakah pemerintah, penyedia jasa Internet (Internet Service Provider/ISP), atau pihak lain yang bertanggung jawab. Rumitnya, pemerintah sering tidak mengakui keterlibatan dalam tindakan ini.
Perintah pada ISP
Agar bisa melakukan pembatasan jaringan atau media sosial, pemerintah biasanya membutuhkan kepatuhan dari ISP. Penyedia Internet mengalami pukulan secara finansial ketika konsumen tidak bisa mengakses layanan. Lalu kenapa mereka harus memenuhi permintaan? Jawaban yang sering muncul adalah ketakutan ISP kepada retribusi atau konsekuensi hukum, termasuk kehilangan izin operasi atau bahkan tekanan terhadap pimpinan mereka.
Selama pemutusan jaringan saat pemilu 2018 di Kongo, penyedia Internet Global mengirim pesan ke konsumennya untuk menjelaskan bawa pemerintah telah memerintahkan pemutusan jaringan. Vodacom mengatakan hal yang sama kepada wartawan. Penyedia jasa Internet di Kongo secara terbuka telah menyampaikan pemutusan Internet tersebut, beralasan karena kewajiban hukum untuk memenuhi.
Infrastruktur yang Dikontrol Pemerintah
Dalam kasus tertentu, pemerintah tidak perlu melalui perantara sektor swasta untuk membatasi koneksi internet. Kasus ini terjadi di Etiopia ketika pemerintah telah memonopoli infrastruktur telekomunikasi di negara tersebut. EthioTelecom, satu-satunya penyedia jasa di negara tersebut, dimiliki pemerintah. Sentralisasi semacam ini memungkinkan pemerintah untuk membatasi Internet kapan pun mereka mau.
Apa tujuannya?
Pemerintah membenarkan pelanggaran kebebasan Internet dengan beragam alasan. Berikut adalah sejumlah pemicu yang biasa terjadi.
Protes
Pada 2019, aksi protes mengakibatkan pembatasan di beberapa negara termasuk Sudan, Liberia, dan Zimbabwe. Media sosial telah menjadi perangkat ampuh untuk mengerahkan massa, sehingga pemerintah pun membatasinya penggunaannya. Membatasi komunikasi juga bisa dilakukan untuk mencegah pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Alasan ini yang dipakai di Zimbabwe dan Sudan.
Berita tidak menyenangkan
Ketika pemerintah Chad memblokir media sosial sejak 28 Maret 2018, dia tidak hanya merespon pemicu tertentu dari luar. Malah, pihak berwenang justru bereaksi terhadap usulan perubahan konstitusi yang akan mengizinkan presiden untuk menjabat dalam waktu panjang. Pemblokiran bertujuan untuk mencegah protes atau serangan terhadap rencana tidak populer tersebut.
Pemilu
Pemilu merupakan alasan lain bagi pelanggaran kebebasan Internet. Sehingga, tidak mengejutkan jika beberapa pemilu telah diikuti dengan pemutusan koneksi Internet beberapa tahun terakhir. Tahun ini dimulai dengan pemutusan Internet di Kongo setelah terjadi sengketa pemilu presiden Desember lalu. Beberapa bulan kemudian, layanan Internet juga diputus selama pemilu di Benin. Kasus terakhir cukup mengejutkan karena Benin dianggap sebagai negara yang lebih demokratis di Afrika.
Ujian
Memadamkan Internet selama ujian mungkin terlihat tidak berbahaya, tetapi hal ini merupakan reaksi berlebihan terhadap risiko kecurangan dan pelanggaran. Aljazair telah terbiasa memutus akses Internet selama ujian, seperti juga Ethiopia, pada Juni 2019 lalu.
Kenapa Isu Ini Penting?
Pernyataan bersama PBB pada 2015 menegaskan bahwa, berdasarkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, pemadaman jaringan tidak bisa dibenarkan.
Tak peduli bagaimana bentuk pembatasan dan pemberlakuannya dan apapun alasannya, pembatasan akses Internet dan pemblokiran media sosial tidak pernah setimpal dengan masalah yang mereka sebabkan. Bahkan alasan keamanan nasional dan perang melawan “kabar bohong” pun tidak cukup menjawab dampak sebenarnya dari pemotongan akses informasi terhadap jutaan orang.
Pembatasan jaringan dan media sosial juga membatasi kebebasan pers dan kebebasan berpendapat serta bisa mengakibatkan dampak ekonomi lebih besar.
Dalam contoh kasus di Kongo, pelapor khusus PBB untuk kebebasan berekspresi David Kaye, mengutip Deklarasi PBB 2015, menyebut bahwa pemadaman akses Internet adalah pelanggaran terhadap hukum internasional. Kaye juga menyatakan bahwa pemadaman telah merusak integritas pemilu dan merugikan akses warga terhadap layanan publik. Hal paling penting, pelanggaran itu telah merampas hak asasi orang untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga, terutama ketika keamanan publik telah terganggu.
Jika mereka peduli untuk menjaga ketertiban ketika terjadi peristiwa-peristiwa sensitif, pemerintah yang bekerja dengan itikad baik akan memilih untuk meningkatkan transparansi, mendorong penyebaran informasi akurat, secara aktif membongkar kabar bohong, dan menjawab langsung keluhan yang menyebabkan kritik dan keresahan.
Penulis: Isabel Linzer, Peneliti Freedom House
Penerjemah: Anton Muhajir, SAFEnet
Editor: Damar Juniarto, SAFEnet
Sumber:
African Argument, 24 Juli 2019, https://africanarguments.org/2019/07/24/an-explainer-for-when-the-internet-goes-down-what-who-and-why/, diakses pada 2 Oktober 2019.
Definisi Internet Shutdown bisa ditemukan dalam situsweb AccessNow , https://www.accessnow.org/keepiton Diakses terakhir pada 9 September 2019
Laporan AccessNow “The State of Internet Shutdown in 2018”, Juli 2019, dhttps://www.accessnow.org/the-state-of-internet-shutdowns-in-2018/ Diakses terakhir pada 9 September 2019.