Pada perayaan hari jadinya yang ke-6, Southeast Freedom of Expression Network (SAFEnet) kembali menyoroti pembatasan akses informasi di internet di Indonesia. Praktik pembatasan informasi dalam bentuk internet throttling terjadi belum lama ini, pada 22-25 Mei 2019. Saat itu pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap media sosial terutama Twitter, Instagram, dan Facebook, serta aplikasi layanan komunikasi pesan berbasis internet (instant messaging service) WhatsApp setelah aksi demonstrasi dan kerusuhan 21-22 Mei 2019. Melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), Pemerintah beralasan bahwa
pembatasan fitur media sosial dan layanan pesan instan itu bertujuan untuk menghindari dampak negatif penyebarluasan konten yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dan bersifat memprovokasi. Langkah tersebut diambil mengacu pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama bagian manajemen konten, yang mencakup pembatasan
akses.
Sekalipun pembatasan akses pada aplikasi tersebut di atas sudah tidak berlaku lagi, namun wacana untuk menggunakannya kembali muncul menjelang pengumuman sidang putusan Mahkamah Konstitusi hari ini, 27 Juni 2019. Tentu saja ini mencemaskan karena praktik semacam ini merupakan wujud mendasar dari praktik internet shutdown yang jelas melanggar hak-hak digital. Sampai hari ini pertanggungjawaban atas evaluasi praktik pembatasan akses internet tidak kunjung dilaporkan. Alih-alih pemerintah malah mengumumkan bahwa mereka telah memberangus 61.000 akun Whatsapp yang diduga telah menyebarkan hoaks.
Praktik pemantauan masif, penutupan akun media sosial, dan pembatasan akses terhadap beberapa aplikasi ini tentu menimbulkan pertanyaan: sejauh mana Negara diperbolehkan membatasi hak warga dalam mengakses informasi, mengingat dampaknya dirasakan semua warga dan tidak secara spesifik pada pelaku penyebaran hoaks. Prinsip pembatasan ekspresi, seperti yang tertuang dalam pasal 20 pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), mencantumkan syarat bahwa pelaksanaan pembatasan tindak pidana harus jelas dan spesifik. Tidak gebyah uyah seperti yang dipraktikkan belakangan ini.
Tidak hanya itu, kebijakan pembatasan akses internet ini juga harus menyentuh persoalan yang sudah bertahun-tahun dialami kalangan komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), serta aktivis Papua. Beberapa situs web tertentu diblokir oleh pemerintah dengan alasan yang masih tidak jelas sampai hari ini.
Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah Indonesia untuk:
- Segera menginformasikan secara transparan hasil evaluasi pembatasan media sosial dan messaging apps yang sudah dilakukan pada 22-25 Mei 2019.
- Memberikan penjelasan mekanisme pelacakan konten akun-akun di platform media sosial dan aplikasi pesan instan WhatsApp yang kemudian diblok/ditutup.
- Memastikan bahwa pembatasan akses internet haruslah dilakukan secara spesifik dan didasari atas aturan hukum yang jelas sehingga bisa menghindar dari tindakan yang menyalahgunakan hukum.
- Menjelaskan dasar hukum dan alasan kuat atas penutupan akses dan pemblokiran pada situs web dan ruang media aktivitas daring lainnya dari kelompok LGBT dan aktivis Papua yang kental unsur diskriminatif.
- Mencari solusi terbaik dalam penanganan hoaks dan konten negatif dengan tetap menghormati prinsip-prinsip penghormatan Hak Asasi Manusia di internet.
- Untuk terbuka menerima masukan dan bekerjasama dengan banyak pihak untuk melindungi hak atas akses informasi di Indonesia.
Denpasar, 27 Juni 2019