Pada Rabu, 21 November 2018 mendatang, keadilan di negeri ini semakin jungkir balik. Ibu tiga anak bernama Baiq Nuril Maknun akan diseret ke penjara dan diwajibkan membayar denda oleh Kejaksaan Negeri Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) karena kesalahan yang tidak ia lakukan.
Putusan Mahkamah Agung RI nomor 547 K/Pid.Sus/2018 telah membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri (PN) Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Baiq Nuril, korban pelecehan seksual di Mataram, yang diduga dilakukan oleh M, orang yang melaporkannya ke Polisi dengan tuduhan pelanggaran UU ITE tersebut. Jaksa Penuntut Umum pada kasus Baiq Nuril ini mengajukan Kasasi terhadap putusan PN Mataram tersebut, dan oleh Majelis Kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, membatalkan Putusan PN Mataram dan menjatuhkan vonis hukuman enam bulan penjara kepada Baiq Nuril dan denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Ironis sekali vonis bersalah ini. Vonis itu membuktikan betapa rentannya menjadi perempuan di Indonesia dan betapa lemahnya menjadi korban pelecehan seksual di Indonesia. Para korban bukan saja direndahkan, tetapi dapat dengan mudah dikriminalisasi. Dalam kasus Bu Nuril, salah satu pasal untuk mengkriminalisasinya adalah pasal 27 ayat 1 UU ITE. SAFEnet mencatat kasus Baiq Nuril bukan satu-satunya yang pernah terjadi. Kecenderungan kriminalisasi perempuan menggunakan pasal-pasal karet di dalam UU ITE semakin hari semakin bertambah dan itu semakin mengkhawatirkan.
Oleh karenanya, SAFEnet sebagai organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak-hak digital warga di Asia Tenggara, menyatakan:
1. Mempertanyakan hasil putusan kasasi Mahkamah Agung yang menutup mata pada fakta persidangan di tingkat Pengadilan Negeri Mataram. Persidangan itu menyatakan tidak terbukti adanya tindakan penyebaran konten asusila seperti yang dituduhkan dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE. Lebih jauh lagi, tidak ada unsur mens rea atau niatan jahat dari Ibu Nuril saat merekam, karena itu adalah tindakan membela diri dari pelecehan seksual oleh atasannya.
2. Menolak pelaksanaan eksekusi pada Rabu, 21 November 2018 nanti dan meminta Jaksa Agung Republik Indonesia untuk menunda perintah eksekusi putusan Mahkamah Agung sampai proses Pengajuan Kembali (PK) selesai diproses.
3. Mendesak Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara untuk mengambil opsi pemberian amnesti sebagai langkah akhir untuk menghentikan ketidakadilan ini.
4. Mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia lewat Komisi 3 untuk menyetujui pemberian amnesti kepada Ibu Nuril untuk memenuhi rasa keadilan.
5. Meminta seluruh pihak pembuat kebijakan untuk menghapus seluruh pasal karet di dalam UU ITE yang terbukti semakin membuat kebingungan hukum dan mencederai rasa keadilan di dalam masyarakat.
Bali, 18 November 2018
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
Narahubung:
Rudy (+62 813-3967-0050)
Ika (+62 852-3670-5313)