Pada persidangan di Pengadilan Negeri Pandeglang, Kamis, 5 April 2018 Jaksa Penuntut Umum menuntut terdakwa Alnoldy Bahari dengan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp100 juta subsidair 6 bulan penjara atas dugaan tindak pidana “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA” sesuai pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 UU ITE No. 19 Tahun 2016. Tuntutan ini adalah pernyataan yang tidak masuk akal dan mengabaikan hak konstitusi warga Indonesia.
Tidak masuk akalnya tuntutan Jaksa Penuntut Umum didasarkan pada fakta persidangan bahwa saksi-saksi ahli hukum pidana seperti Eva Ahjani Zulfa yang hadir dalam persidangan sebelumnya telah menyatakan tuntutan menyebarkan kebencian harus membuktikan kesalahan ganda (double opzet) yaitu unsur “dengan sengaja dan tanpa hak” dan unsur “ ditujukan untuk menyebarkan kebencian”. Lalu dijelaskan lagi oleh saksi ahli bahasa Yamin bahwa “… untuk memahami makna sebuah kalimat, status Facebook baru bisa dipahami maknanya dengan tepat jika kita menanyakan langsung maksud dan tujuannya kepada si Penulis.” Dan dalam persidangan ketika majelis hakim dan Jaksa Penuntut Umum menanyakan kepada terdakwa Alnoldy Bahari ia menjelaskan bahwa postingan di Facebook tersebut tidak ada maksud dan tujuan untuk menyebarkan kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok tertentu, apalagi terhadap masyarakat kampung Gadog, desa Cikadu. Malahan beberapa status yang dipermasalahkan justru ditulisnya saat berada di Jakarta dan merujuk kepada peristiwa yang dialaminya di Jakarta. Sehingga dakwaan bahwa Alnoldy telah melakukan upaya menyebarkan kebencian seperti yang dituntut Jaksa Penuntut Umum merupakan hal yang mengada-ada.
Kemudian Konstitusi Indonesia melindungi warganya untuk menyampaikan pendapat sebagaimana tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Sekalipun ada pembatasan terhadap kebebasan berpendapat, namun menurut saksi ahli HAM Jayadi Damanik, “kebebasan berpikir adalah hak yang tidak bisa dikurangi. Oleh karena itu pikiran tidak bisa dipidana.”
Kami dari LBH Ansor, YLBHI, LBH Jakarta, SEJUK, SAFEnet, The Wahid Foundation, Rafe’i Ali Institute telah sejak awal ikut memantau persidangan kasus Alnoldy Bahari di Pandeglang menilai peradilan yang terjadi merupakan peradilan sesat sejak awal. Karena sebenarnya yang terjadi di lapangan, Alnoldy Bahari bukanlah pihak yang seharusnya dipidana, melainkan yang seharusnya dilindungi oleh sistem hukum Indonesia. Alnoldy dan keluarga merupakan korban persekusi (perampasan satu atau lebih hak warganegara atas dasar perbedaan suku, agama, ras, dan pilihan politik) dari pihak-pihak yang tidak menyukai kehadiran mereka di desa Gadog, Kecamatan Cibitung, Pandeglang, Banten. Alnoldy telah kehilangan bukan saja hak-hak konstitusinya, tetapi malah ditahan dan rumah, harta milik dirampas tanpa alasan yang jelas.
Kepolisian Pandeglang yang seharusnya memberi perlindungan tetapi malahan menjebloskan Alnoldy dengan dalih melaksanakan Surat Edaran Kapolri No SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, tetapi dalam pelaksanaannya malahan melanggar isi Surat Edaran itu pada ketentuan angka 3 huruf a point ke-5 huruf d (1 – 5 ) yang menyatakan bahwa untuk menangani ujaran kebencian agar tidak memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, atau konflik sosial yang meluas, maka pihak Kepolisian harus mengedepankan pendekatan perdamaian dengan mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian dan mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai. Dipaksakannya kasus ini naik ke Kejaksaan dan Pengadilan Negeri Pandeglang merupakan kegagalan pihak kepolisian Pandeglang dalam melakukan fungsi dan tugas serta tanggung jawabnya.
Melalui siaran pers ini, kami menyerukan agar:
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang memeriksa dengan teliti kasus Alnoldy Bahari dan menyimak keterangan para saksi ahli atas perkara ini agar bisa menghasilkan keputusan yang menghormati kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi dan undang-undang Republik Indonesia
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang untuk tidak takut dan tunduk pada tekanan massa FPI yang dihadirkan secara masif di setiap persidangan pada kasus terdakwa Alnoldy Bahari
- Jaksa Agung Muda Pengawasan melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum
- Kapolri cq Direktur Tindak Pidana Siber Mabes Polri cq Kapolda Banten untuk memberi atensi khusus pada penanganan hate speech dan persekusi yang ditangani kepolisian Pandeglang pada kasus Alnoldy Bahari. Selain hal tersebut, juga harus dilakukan evaluasi terhadap Polres Pandeglang dan Polda Banten dalam penggunaan dan penerapan Surat Edaran Kapolri tentang Penanganan Ujaran Kebencian pada penanganan kasus Alnoldy Bahari dan kasus-kasus dugaan hate speech lainnya yang ditangani oleh Polda Banten. Dan dilanjutkan dengan penindakan pemeriksaan internal kepada oknum Kepolisian yang melanggar Surat Edaran tersebut.
- Organisasi-organisasi Hak Asasi Manusia, Kebebasan Berekspresi dan Beragama, media massa di Indonesia dan luar negeri untuk ikut memberi dukungan yang dibutuhkan pada kasus ini
- Masyarakat luas untuk mulai membuka mata pada dipakainya pasal penodaan agama sebagai cara membakar kebencian dengan hoaks dan cara melanggengkan aksi persekusi oleh kelompok tertentu sehingga mengabaikan fakta-fakta yang sebenarnya terjadi.
Jakarta, 6 April 2018
Tim Advokasi Alnoldy Bahari:
LBH Ansor, YLBHI, LBH Jakarta, SEJUK, SAFEnet, The Wahid Foundation, Rafe’i Ali Institute