Siaran Pers:
Tak Ada Perbuatan Pidana dalam Chatting Mesra di Facebook
PN Bandung semestinya sejak awal sudah menolak dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Wisni Yetti
Pada Kamis, 12 Februari 2015, Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan menuntut Wisni Yetti (47) karena dianggap melakukan tindak pidana kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang diancam dengan 6 tahun Peristiwanya terjadi pada 2011, saat Wisni menjalin komunikasi dengan Nugraha melalui fasilitas chatting di facebook. Percakapan melalui fasilitas chatting antara Wisni dan Nugraha diketahui suaminya, Haska Etika. Diam-diam Haska Etika ‘membobol’ facebook istrinya pada Oktober 2011, lalu melakukan print out dan menggandakan hasil Chatting tersebut. Pada 2014, Haska lalu melaporkan isi chatting Wisni ke Polda Jabar dengan tuduhan mendistribusikan dan mentransmisikan kalimat atau bahasa yang bersifat asusila.
Kasus ini menambah panjang deretan korban kriminalisasi atas penggunaan secara serampangan pasal 27 UU ITE dan lagi-lagi kasus tersebut membuktikan bahwa UU ITE sangat bermasalah dari banyak sisi disamping rumusan pasalnya yang sangat kabur sehingga menimbulkan kegagapan aparat penegak hukum khususnya kepolisian dan kejaksaan dalam menerapkan UU ITE tersebut.
Kami memandang ada beberapa kejanggalan dari kasus tersebut;
Pertama, percakapan yang dilakukan Wisni dan Nugraha tidak memenuhi unsur dengan “sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”, alasannya karena percakapan tersebut bersifat pribadi dan hanya diketahui oleh Wisni dan Nugraha.
Perlu untuk diketahui oleh Jaksa dan Hakim, konstruksi Pasal 27 ayat (1) UU ITE tidak dapat dipisahkan dengan delik kesusilaan dalam Pasal 281 dan 282 KUHP, artinya perbuatan tersebut baru dapat dipidana apabila dilakukan dengan sengaja dan terbuka di muka umum atau tersebar secara publik, hal mana perbuatan tersebut sama sekali tidak terpenuhi dalam kasus ini.
Kedua, menjadi catatan penting adalah cara yang dilakukan oleh pelapor dalam hal ini Haska Etika mengetahui isi chatting dari Wisni dan Nugraha. Berdasarkan Pasal 30 UU ITE, maka perbuatan Haska Etika dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Sistem Elektronik milik Wisni tidak dapat dibenarkan, dan dapat diancaman pidana 6 sampai 8 tahun penjara, dan denda enam ratus hingga delapan ratus juta rupiah. Artinya mestinya Haska Etika yang mestinya diproses secara pidana karena dapat dianggap telah melanggar Pasal 30 UU ITE.
Hubungan suami istri antara Wisni dan Haska Etika bukan alasan Haska Etika bisa dengan sesuka hati mengakses sistem elektronik dari Wisni, sebab perlindungan dari Pasal 30 UU ITE berlaku terhadap orang perorang tanpa memandang status perkawinan orang tersebut. Lalu apabila yang menjadi dasar “pembobolan” tersebut adalah untuk alasan penegakan hukum, seharusnya bukti yang dihadirkan di ruang sidang adalah hasil dari penyidikan Polisi, bukan perbuatan main hakim sendiri dari pelapor, apalagi tidak ada unsur pidana dalam sistem elektronik milik Wisni, karena sekali lagi, percakapan dilakukan secara privat dan bukan didepan umum.
Ketiga, Pengadilan seharusnya tidak menerima bukti berupa “print out” hasil dari percakapan tersebut, karena bukti tersebut bukanlah alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP dan Pasal 5 UU ITE. Bukti berupa print out seharusnya tidak bisa digunakan dalam persidangan ini, karena hasil print out bukanlah bukti yang dapat divalidasi kebenarannya berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku. Terlebih lagi saksi yang memprint atas perintah Haska Etika membantah di Pengadilan bahwa print out yang ditampilkan sebagai alat bukti adalah bukan hasil yang ia print karena tidak sebanyak itu.
Kami melihat bahwa kasus ini adalah kasus rekayasa yang mestinya sejak awal Pengadilan Negeri Bandung menolak dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, bukannya malah memaksa untuk terus memeriksa perkara yang tidak ada dasar hukumnya ini.
Berkaca pada kasus tersebut dan kasus-kasus yang sebelumnya sudah sepantasnya pasal 27 UU ITE harus dihapuskan tidak cukup hanya dengan rencana pemerintah yang akan merevisi pasal tersebut hanya dengan mengurangi ancaman sanksi penjaranya saja.
Atas dasar tersebut, ada bebeberapa hal yang kami sampaikan dalam kasus ini, yaitu :
1. Meminta Hakim PN Bandung menjatuhkan Vonis Bebas kepada Ibu Wisni , sebab tidak terdapat unsur pidana dalam percakapan di Inbox Facebook tersebut.
2. Mendesak Aparat Kepolisian Bandung untuk segera memproses Laporan KDRT yang dialami Ibu Wisni oleh Suaminya yang merupakan awal pemicu kasus ini.
3. Dari praktik-praktik penggunaan hukum pidana sebagai alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat, kami menagih janji dari Pemerintah dan DPR untuk sesegara mungkin melakukan revisi terhadap UU ITE, khususnya untuk segera mencabut pasal 27 UU ITE.
Koalisi Internet Tanpa Ancama (KITA) – Elsam, ICJR, LBH Pers, AJI Indonesia, LBH Jakarta, MAPPI FH UI, IDOLA, ICT Watch, SAFENet, KPJKB Makassar, LBH Pers Padang, LBH Bandung, AJI Yogyakarta, AJI Surabaya, Sloka Institute Denpasar