Sebuah berita unik menyeruak di media Sulawesi Selatan beberapa hari menjelang pergantian tahun 2014. Fadli, seorang PNS asal Gowa Sulawesi Selatan harus berurusan dengan hukum setelah bupati Gowa melaporkannya atas tuduhan pencemaran nama baik. Kasus ini menjadi unik karena medium yang digunakan Fadli adalah jejaring obrolan bernama LINE.
Menurut catatan SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network) sebuah organisasi nirlaba yang fokus mengamati kebebasan berekspresi di internet, kasus Fadli adalah kasus ke 28 yang terjadi sepanjang tahun 2014 atau kasus ke 73 sejak UU ITE (internet dan transaksi elektronik) diberlakukan tahun 2008. Kasus terbanyak terjadi di tahun 2014, melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang hanya mencatatkan 19 kasus. Jumlah korban akibat UU ITE dipercaya lebih banyak dari yang bisa dicatat oleh SAFENET.
Sejak diberlakukan tahun 2008, UU ITE memang seakan menjadi momok bagi pengguna internet, utamanya mereka yang biasa bersuara kritis. Salah satu pasal yang paling sering digunakan adalah pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan penghinaan. Ganjaran yang diatur dalam pasal ini tidak main-main, pelanggar akan dikenakan sanksi penjara maksimal 6 tahun atau denda maksimal Rp. 1 milyar. Sebuah jumlah yang mampu membuat bulu kuduk merinding.
Sejatinya UU ITE memang hadir untuk mengatur tata kelola dan tata guna internet di Indonesia, harapan utamanya adalah agar para pengguna internet di Indonesia tidak lantas kebablasan dan menggunakan internet untuk sesuatu yang negatif dan melanggar etika serta hukum. Sayangnya, penetapan UU ITE dilakukah sepihak oleh pemerintah tanpa melibatkan pihak lain.
Satu hal yang disepakati bersama adalah bahwa internet sudah menjadi milik banyak orang di Indonesia, bukan hanya pemerintah tapi juga pengusaha, pengajar, anak sekolah, pekerja sosial hingga warga biasa. Sangat penting untuk melibatkan banyak unsur dalam mengatur tata kelola internet di Indonesia agar peraturan yang dihasilkan benar-benar mampu mengakomodir kepentingan banyak pihak.
Lubang terbesar dari UU ITE yang disahkan pemerintah sejak 2008 adalah pemberlakuan pasal karet tentang penghinaan dan pencemaran nama baik utamanya pasal 27 ayat 3. Sebagian besar pelapor adalah mereka yang merasa dihina atau namanya dicemarkan.
Fakta lain adalah bahwa dari 78 kasus yang dilaporkan ke polisi sebagian besar bersifat asimetrical power atau ketidakseimbangan kekuatan yang mana pelapor adalah orang-orang yang lebih memiliki kuasa (dari sisi politik, keuangan maupun hukum) dibanding mereka yang jadi terlapor.
UU ITE ditakutkan menjadi alat bagi para penguasa manja untuk menyuburkan praktek pembungkaman terhadap kritik atas kinerja mereka. Bukti ini menguat setelah melihat fakta bahwa sebagian besar dari kasus UU ITE yang dilaporkan memang berisi kritikan tajam kepada pejabat publik yang punya kuasa atau orang-orang yang lebih berkuasa. Hal ini diperparah dengan medium yang luas, tidak hanya media sosial seperti Facebook atau Twitter tapi juga melalui ruang-ruang obrolan yang bersifat lebih privat seperti SMS, BBM dan Line.
Makin maraknya kasus akibat penggunaan UU ITE sudah terbukti menumbuhkan efek jeri atau chilling effect dimana sebagian pengguna internet mulai berpikir dua kali sebelum memposting atau mengunggah sesuatu yang berbau kritikan. Meski bersifat candaan tapi kalimat “awas kena UU ITE” sesungguhnya adalah alarm bahaya bagi kebebasan berekspresi.
Ketakutan-ketakutan akan bahaya pembungkaman atas kebebasan berekspresi itulah yang mendasari banyak pihak untuk mendesak pemerintah agar merevisi UU ITE khususnya mencabut pasal 27 ayat 3 yang sarat dengan multi tafsir. Upaya revisi UU ITE tersebut sudah dilakukah sejak beberapa tahun yang lalu namun sampai sekarang belum mendapatkan hasil sesuai harapan.
Selain dianggap represif, penggunaan pasal 27 ayat 3 UU ITE untuk menyelesaikan perselisihan pribadi dianggap kontra produktif. Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan diskusi antar warga atau saling menanggapi di media sosial menjadi berkepanjangan setelah salah satu pihak memutuskan untuk membawanya ke ranah hukum menggunakan UU ITE. Bayangkan berapa banyak energi dan waktu yang tersita? Energi dan waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lain yang lebih berguna.
Internet memang berkembang sangat pesat dan menjadi bagian hidup banyak orang, sangat disayangkan apabila ada pihak yang kemudian menyalahgunakan teknologi sarat manfaat ini untuk membungkam kebebasan berekspresi pihak lainnya. Sudah sewajarnya memang UU ITE direvisi kembali dengan melibatkan multi stake holder atau semua pihak yang sama-sama menggunakan internet untuk kepentingan mereka.
Menarik menantikan bagaimana masa depan kebebasan berekspresi di Indonesia pasca pergantian pemerintahan baru, apakah UU ITE masih akan berjaya menanamkan rasa takut atau akan ada perubahan berarti yang menjamin kebebasan warga negara untuk berekpresi?
IPUL GASSING
Blogger pemilik daenggassing.com, pengguna media sosial dan aktif dalam organisasi SAFENET
Tulisan ini dimuat di kolom OPINI Harian Fajar Makassar tanggal 8 Januari 2015