Rilis Pers
Dokumentasi Kasus Berbasis Hotline Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
dalam Aksi Massa Agustus-September 2025
Demonstrasi pecah di Jakarta hingga menjalar ke berbagai daerah sejak tanggal 25 Agustus 2025. Hal ini terjadi akibat tumpahnya amarah masyarakat melihat setumpuk masalah sosial, ekonomi, dan politik yang belum terselesaikan. Merespons demonstrasi yang tengah berlangsung, aparat kepolisian menggunakan kekerasan untuk menertibkan massa, hingga kerusuhan tidak bisa dihindarkan. Banyak korban yang jatuh pasca demonstrasi tanggal 28 Agustus 2025.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) membuka hotline pengaduan terhadap pelanggaran hak selama aksi sejak 25 Agustus hingga September 2025. Mekanisme ini dibentuk dalam rangka mendokumentasikan, sekaligus mendampingi kasus-kasus kekerasan dan penangkapan sewenang-wenang. Data yang terkumpul memotret situasi demokrasi dan praktik penegakan hukum selama periode aksi demonstrasi tersebut.
Sejak hotline dibuka pada 25 Agustus hingga 8 September 2025, TAUD telah menerima sekitar 369 aduan melalui WhatsApp. Sebagian laporan datang dari korban langsung, namun lebih banyak disampaikan oleh keluarga maupun kerabat korban. Dari seluruh aduan tersebut, TAUD memperkirakan terdapat sedikitnya 616 korban, terdiri dari 285 laki-laki, 8 perempuan, dan 323 orang lainnya yang belum dapat diidentifikasi.
Dari jumlah itu, TAUD juga mencatat terdapat sedikitnya 399 korban berusia di bawah 18 tahun, sebagian diantaranya masih berstatus pelajar sekolah. Dari jumlah tersebut, 382 anak pernah ditahan, 331 diantaranya telah dibebaskan, sementara 5 anak masih ditahan dan 59 lainnya masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut.
Dari laporan yang masuk, sejumlah pola pelanggaran berulang ditemukan, antara lain adanya kekerasan oleh aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan seperti telepon genggam dan dompet, penangkapan sewenang-wenang yang menghalangi keluarga untuk bertemu dengan korban, masa penahanan yang melebihi batas 1×24 jam, serta proses hukum yang tidak transparan.
Sebagian besar korban ditahan di berbagai kantor kepolisian, mulai dari Polda Metro Jaya, sejumlah Polres di Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, hingga beberapa Polsek. “Banyaknya aduan ini tidak lepas dari besarnya jumlah penangkapan, sementara para korban ditahan secara tersebar di sejumlah kantor kepolisian. Dari keluarga korban kami menerima banyak aduan soal kebingungan mereka mencari anak atau kerabatnya; ada yang bahkan harus berkeliling dari satu Polsek lalu ke Polres lain hingga Polda Metro Jaya karena tidak mendapatkan informasi jelas dari polisi,” ujar Eno Liska dari YLBHI.
Sementara itu, proses penangkapan sewenang-wenang ini nampaknya akan masih terus terjadi. Polisi mengklaim telah menurunkan Polisi Siber untuk mengawasi ruang digital dan mencari provokator dari aksi-aksi yang telah berlangsung. Polisi Siber bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan telah menyisir akun dan memblokir 592 akun media sosial yang menyebarkan narasi memuat provokasi dan penghasutan. Hal ini tentu menjadi pertanyaan mengingat ukuran hasutan yang sangat subjektif hingga berakibatkesewenangan penilaian. Pemblokiran yang merupakan bentuk upaya paksa ini juga tidak dilakukan dengan dasar yang jelas sehingga prosesnya tidak transparan dan akuntabel, karena tidak dapat diuji apakah prosesnya proporsional, sesuai kebutuhan, dan non-diskriminatif. Intransparansi dalam pemblokiran ini tidak hanya dilakukan oleh negara, perusahaan media sosial juga bungkam, tidak mengungkap ke publik secara detail akun apa saja yang diminta pemerintah untuk diblokir dan alasan di belakangnya. Hal ini berujung pada pembatasan oleh negara dan perusahaan media sosial terhadap ekspresi dan memperoleh informasi yang menjadi hak seluruh warga negara.
Wilayah Jabodetabek, Jawa Barat (Bandung), dan Jawa Tengah (Semarang, Salatiga, Kudus, dan Solo) menjadi daerah yang operasi polisi sibernya dilakukan secara masif. Berdasarkan informasi jejaring, beberapa warga Semarang ditangkap hanya karena membuat status whatsapp dan memberikan komentar di TikTok LIVE, ditahan 1×24 jam, setelah itu dibebaskan dengan wajib lapor. Terjadi penangkapan juga tujuh warga Bandung dan disangkakan dengan UU ITE. Selain itu, penangkapan dan penetapan tersangka juga dilakukan kepada admin-admin media sosial hingga individu yang kritis menyuarakan kritik.Kasus-kasus ini terjadi di Jakarta dan Bogor.
“Hal ini dapat dilihat menjadi upaya untuk menyebarkan efek gentar (chilling effect), karena menunjukkan siapapun bisa terkena kriminalisasi dengan pasal-pasal karet UU ITE dan KUHP, apalagi ditambah proses hukum acara yang sewenang-wenang. Operasi Polisi Siber yang tengah dilakukan mengancam ruang-ruang privasi masyarakat sipil karena mengawasi akun-akun sosial media dan juga grup-grup Whatsapp yang seharusnya bersifat pribadi. Keberadaan Polisi Siber yang melakukan penyisiran akun sosial media tentu menjadi poin tambahan dalam daftar pelanggaran hak digital yang dilakukan saat masa protes, ” ujar Balqis Zakiyyah, Analis Hukum dan Kebijakan Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet.
“Polisi Siber yang dikerahkan juga tidak jelas batas-batas kewenangannya. Hal ini sangat mengkhawatirkan akan berujung pada pengawasan massal terhadap masyarakat. Misal kasus yang ditemukan di Semarang, Polisi Siber dapat mengetahui isi status WhatsApp seseorang. Padahal, WhatsApp merupakan ruang privat yang tidak seharusnya dipanta oleh negara. Tindakan berlebihan semacam ini berpotensi melanggar berbagai instrumen HAM internasional tentang privasi dan kebebasan berekspresi yang sudah diratifikasi oleh pemerintah,” tambah Balqis.
Setidaknya terdapat 92 kasus pelanggaran hak digital sejak 25 Agustus 2025 hingga 8 September 2025. 51 buah bersumber dari pemantauan dan 41 bersumber dari aduan. Kasus-kasus ini banyak berkelindan, sehingga satu kasus bisa memuat lebih dari satu bentuk pelanggaran hak digital. Terdapat 19 kasus kriminalisasi terhadap admin-admin media sosial yang kritis dan juga warganet yang bersuara terkait demonstrasi, semua dituduh menjadi dalang kerusuhan pada demonstrasi tanggal 25 dan 28 Agustus; 35 kasus serangan digital yang menyasar tidak hanya pendemo, tetapi pada warganet kritis menyuarakan kondisi saat ini di akun pribadinya. Mulai dari spam call, doxxing, peretasan, fake order; 26 kasus gangguan akses internet berupa pembatasan akses terhadap sejumlah fitur, penangguhan akun, dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa bagian wilayah Jakarta dan Bandung; 16 kasus moderasi konten berlebihan (overmoderation) yang dimana informasi seputar aksi dan konten kritik lainnya menjadi sasaran, salah satunya adalah konten video perintah polisi menembak para demonstran yang masuk keMako Brimob. Akun-akun penyebar video tersebut juga ditangguhkan di media sosial; 8 kasus berita bohong dengan dugaan operasi informasi, dengan penyebaran informasi yang bertujuan untuk memantik kerusuhan pada demonstrasi tanggal 1 September 2025. Informasi bohong ini difabrikasi seperti laporan hasil konsolidasi mahasiswa yang bernada provokatif hingga doxing terjadi di Bogor, Bali, dan Yogyakarta; dan 4 kasus ujaran kebencian berbasis rasial dan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Menurut temuan tim hukum yang turun langsung ke lapangan, terdapat setidaknya delapan bentuk pelanggaran prosedur dalam proses penangkapan dan penahanan. Alif Fauzi Nurwidiastomo dari LBH Jakarta menjelaskan “Berdasarkan pemantauan dan pendampingan peserta aksi yang ditangkap, ditemukan beberapa dugaan pelanggaran/tindakan, seperti peserta aksi baik dewasa maupun anak ditahan lebih dari 1×24 jam tanpa adanya pemberitahuan kepada pihak keluarga. Informasi mengenai identitas maupun jumlah orang yang ditangkap juga dibatasi. Pemeriksaan dilakukan tanpa pendampingan penasihat hukum, sementara korban tidak diberi kebebasan untuk memilih penasihat hukumnya sendiri. Selain itu, penyitaan barang pribadi dan penggeledahan dilakukan tanpa mengikuti prosedur KUHAP. Penahanan pun kerap dilakukan tanpa surat pemberitahuan kepada pihak keluarga karena masih adanya beberapa aduan orang hilang yang diterima melalui hotline. Selain itu, ada kasus penangkapan yang dibuat seolah-olah tertangkap tangan padahal tidak memenuhi syarat tertangkap tangan dalam KUHAP,” ujar Alif.
Alif juga menambahkan bahwa tim hukum telah berupaya melakukan pendampingan ke kantor polisi sejak tanggal 28 Agustus 2025. “Ketika kami tiba, kantor polisi dalam kondisi gelap dan turut dijaga oleh aparat TNI. Situasi ini membuat kami tidak bisa memastikan jumlah peserta aksi yang ditangkap di tiap-tiap kantor kepolisian, apalagi memberikan akses bantuan hukum. ” kata Alif.
Selanjutnya, temuan lain yang dicatat oleh tim hukum adalah terdapatnya dugaan praktik penghilangan paksa dalam waktu singkat (short term disappearance) terhadap massa aksi khususnya massa aksi pelajar. Alih-alih menghubungi pihak keluarga, pihak kepolisian justru melakukan pemeriksaan terlebih dahulu kepada massa aksi yang ditangkap sewenang-wenang. “Artinya terdapat pemeriksaan yang dilakukan yang tidak taat prosedur dalam proses peradilan pidana. Termasuk juga pemeriksaan terhadap pelajar yang merupakan anak. Jika kita merujuk kepada Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Anak berhadapan dengan hukum dan anak berkonflik dengan hukum harus diperiksa dengan didampingi dan diketahui oleh orang tua, pendamping hukum dan pembimbing kemasyarakatan. Selain itu anak berhadapan dengan hukum harus ditempatkan di tempat yang berbeda dengan tahanan dewasa apabila dilakukan penahanan.” ujar Guntur dari Lembaga Bantuan Hukum Pers.
Terakhir, tak hanya serangkaian pelanggaran upaya paksa yang dilakukan terhadap massa aksi, berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh tim hukum ditemukan pelanggaran hak atas kemerdekaan pers. Setidaknya selama periode 25 – 31 Agustus 2025, sebanyak 23 (dua puluh tiga) jurnalis menjadi korban kekerasan yang dilakukan sebagian besar oleh aparat keamanan. Bentuk kekerasan yang dialami yakni berupa penghalang-halangan peliputan, perusakan alat kerja, pemukulan, sampai dengan penangkapan sewenang-wenang. Bentuk represi terhadap kerja-kerja pers tidak hanya ditemukan dalambentuk serangan fisik, namun juga dalam bentuk pembatasan akses terhadap platform pemberitaan. Pola kekerasan terhadap jurnalis sebagian besar dilakukan pada saat meliput/mengambil gambar kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap peserta aksi. “Hal ini bukan hanya merupakan pelanggaran kemerdekaan pers namun juga pelanggaran terhadap hak publik atas informasi.” pungkas Guntur.
Selasa, 9 September 2025
Tertanda,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
CP: 0817-9323-375