Pernyataan Sikap SAFEnet: Pembuat Meme Jokowi-Prabowo Tidak Boleh Dikriminalisasi!

Kami, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi masyarakat sipil yang fokus memperjuangkan hak digital, mengecam upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri) terhadap SSS, seorang mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Penjemputan, penangkapan, dan penahanan yang dilakukan oleh Bareskrim Mabes Polri terhadap SSS serta ancaman pidana 12 tahun telah mengangkangi asas-asas yang harus dipenuhi dalam pembatasan kebebasan berekspresi menurut standar hak asasi manusia (HAM) internasional. Kami menilai, keputusan Bareskrim Mabes Polri memberikan penangguhan penahanan terhadap SSS bukan tindakan yang tepat. Bareskrim Mabes Polri harusnya segera menghentikan segala proses hukum dan membebaskan SSS tanpa syarat. Hal tersebut kami kemukakan setelah mempertimbangkan beberapa poin ini:
Pertama, kritik terhadap pejabat publik melalui meme, sebagaimana dikemukakan oleh SSS merupakan bentuk ekspresi yang sah dan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara. Kritik terhadap pejabat publik, dalam bentuk yang paling ofensif dan provokatif sekalipun, merupakan bentuk ekspresi yang sah dan harus dilindungi sepanjang dilakukan secara damai. SSS, sebagaimana dalam unggahan lanjutannya di X, dengan tegas menyampaikan bahwa meme yang ia buat adalah kritik terhadap pemerintah.
Kritik yang dilontarkan oleh SSS melalui meme yang menggambarkan Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo berciuman adalah bentuk satir politik, bagian dari ekspresi yang sah dan dijamin dalam berbagai instrumen HAM internasional, seperti Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Prinsip-prinsip Siracusa, dan Komentar Umum Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) No. 34 tahun 2011. Menurut berbagai instrumen HAM internasional ini, pejabat publik memiliki tingkat perlindungan yang lebih rendah dibandingkan warga biasa ketika menjadi sasaran ekspresi-ekspresi ofensif dan provokatif . Hal ini wajib diterapkan demi menjamin perlindungan atas kritik warga terhadap negara.
Kedua, penggunaan pasal asusila dan pasal manipulasi konten UU ITE dipaksakan oleh kepolisian. Bareskrim Mabes Polri menjerat SSS dengan pasal berlapis, yakni Pasal 27 ayat 1 tentang asusila dan Pasal 35 UU ITE tentang manipulasi konten. Hal ini membuat SSS terancam 12 tahun penjara. Kami menilai penggunaan pasal-pasal ini dipaksakan oleh kepolisian, karena jelas sama sekali tidak memenuhi unsur. Pasal 35 melarang “…manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik“. Meme yang dibuat oleh SSS memang bukan foto asli, melainkan foto yang dibuat dengan AI generatif. Namun perlu dicatat, ada unsur “dianggap seolah-olah data yang otentik” dalam pasal ini yang jelas tidak terpenuhi dalam kasus SSS. SSS telah gamblang menjelaskan bahwa meme tersebut ia buat dengan menggunakan AI, sebagai kritik atas kekosongan regulasi AI pula.
Revisi kedua UU ITE secara jelas membatasi definisi “melanggar kesusilaan” dalam Pasal 27 ayat 1 menjadi “melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan“. Meme yang dibuat oleh SSS jelas tidak mempertontonkan ketelanjangan maupun alat kelamin. Menganggap ciuman bibir sebagai aktivitas seksual juga hal yang keliru. Pasalnya, ciuman bibir merupakan bentuk intim ekspresi kasih sayang, yang tidak serta merta dapat dianggap sebagai aktivitas seksual. Selain itu, UU ITE versi 2024 juga menambahkan pasal pengecualian, sehingga tindak pidana asusila tidak dapat digunakan jika dilakukan demi kepentingan umum atau merupakan karya seni. Meme yang dibuat dan didistribusikan oleh SSS dapat dianggap sebagai karya seni satir politik, yang mewakili keresahan warga terhadap ketidakhadiran pemerintah dan APH dalam menangani berbagai patologi sosial yang muncul akibat teknologi AI dan deepfake. Sebagai karya seni yang sarat akan kepentingan warga, ekspresi SSS jelas tidak memenuhi unsur pasal kesusilaan.
Ketiga, negara seharusnya menangkap keresahan hari ini mengenai kekosongan regulasi kecerdasan buatan (AI) yang menjadi substansi dari kritik SSS. Kritik ofensif menggunakan AI generatif dengan gambar yang mirip dengan Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo yang sedang berciuman merupakan bentuk satir politik. SSS telah secara komprehensif dan rasional menjelaskan alasan di balik kritiknya yang ofensif. Kritiknya dibuat berdasarkan kajian akademik yang membahas dampak AI, namun tidak disambut oleh pemerintah dengan segera membahas regulasi AI. Sebagai bagian dari komunitas seniman, SSS jelas mempunyai alasan yang kuat untuk mengkritisi penggunaan AI yang berlebihan. Bukannya memperhatikan dampak AI terhadap penghidupan seniman, pejabat publik macam Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka justru mengglorifikasi penggunaan AI sebagai juru selamat bagi masa depan bangsa.

Keempat, warga biasa yang menjadi korban deepfake terus berjatuhan tanpa tindakan nyata dari aparat penegak hukum (APH), tapi APH bergerak cepat bagai kilat dalam mengusut kasus deepfake yang menyasar pejabat publik. Selama tahun 2024, SAFEnet mencatat terdapat 36 pelanggaran hak digital yang melibatkan AI (morphing/deepfake), hal ini jelas menjadi concern kami dan juga beberapa pihak yang menangani korban deepfake. Salah satu contoh kasus morphing/deepfake yang melakukan pelaporan kepada pihak kepolisian adalah seorang ibu yang anaknya mendapat pelecehan seksual berupa foto yang diedit menggunakan pakaian dalam, RMD. Namun demikian, laporannya ditolak oleh Kepolisian Resor (Polres) Jakarta Selatan. Setelah kasusnya viral di Twitter, laporan kedua dari ibu korban baru diterima oleh Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya, meski pelaku lebih dulu mengkriminalisasi ibu korban menggunakan UU ITE. Kasus lainnya adalah morphing/deepfake yang dialami oleh politisi perempuan selama masa Pemilu 2024.
Tidak satupun kasus dari kasus-kasus tersebut yang bisa diselesaikan oleh pihak kepolisian. Pihak kepolisian justru masih gamang dalam menerapkan pasal-pasal yang sudah ada dan berpihak pada korban, misalnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) atau Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Sementara itu, kritik yang dilakukan SSS, yang merupakan ekspresi kritik yang sah justru ditangani secara kilat pihak kepolisian. Penanganan kasus seperti ini tentu masih berseberangan dengan keadilan dalam hukum dan prinsip berpihak kepada korban kekerasan seksual.
Dengan mempertimbangkan berbagai hak di atas, kami mendesak:
- Presiden Prabowo Subianto, untuk menjamin penghentian kriminalisasi terhadap ekspresi warga, termasuk kritik berbasis seni dan teknologi digital, seperti yang dilakukan oleh SSS.
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Listyo Sigit Prabowo, untuk segera menghentikan kriminalisasi dan membebaskan SSS tanpa syarat. Penangguhan penahanan sama sekali tidak menjawab permasalahan yang ada.
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Listyo Sigit Prabowo, untuk memastikan berbagai laporan mengenai kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang memanfaatkan teknologi AI, seperti deepfake, untuk dapat diproses dengan cepat dan maksimal.
- Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Viada Hafid, dan Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), untuk secara serius menggarap peraturan mengenai AI yang komprehensif dan berperspektif hak digital.
Denpasar, 15 Mei 2025
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
Narahubung: +628179323375 (Hotline)