SIARAN PERS #BEBASKANSEPTIA [Untuk Segera Disiarkan]
JPU Abaikan Fakta-fakta Persidangan, Septia Dituntut Satu Tahun Penjara
Jakarta, 12 Desember 2024 – Kasus kriminalisasi buruh perempuan Septia Dwi Pertiwi memasuki babak baru. Pada 11 Desember 2024, sidang lanjutan kriminalisasi Septia dihelat di Ruang Ali Said, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, di mana jaksa penuntut umum (JPU) membacakan tuntutan terhadap Septia. JPU menuding buruh perempuan itu melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Jaksa menganggap eks-buruh di PT. Lima Sekawan Indonesia (Hive Five) itu telah melakukan pencemaran nama baik yang menyebabkan kerugian bagi mantan bosnya di perusahaan tersebut, yaitu Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Oleh karena itu, JPU menuntut Septia satu tahun penjara dan denda 50 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan.
Septia mengaku kecewa dengan tuntutan dari JPU yang abai terhadap bukti-bukti yang terungkap selama persidangan. “Cukup mengecewakan atas tuntutan dari jaksa karena apa yang (saya) sebutkan (di X) seakan-akan tidak bisa dibuktikan kenyataannya. Jadi saya sangat kecewa,” ujar Septia.
Jaidin Nainggolan, kuasa hukum Septia dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menganggap JPU mengabaikan keterangan saksi-saksi a de charge dan hanya fokus pada keterangan Jhon LBF selaku pelapor.
“Hari ini memang dasar dari penuntutan Septia itu bukan fakta-fakta persidangan. JPU mengabaikan saksi a de charge atau tidak menyatakan ada saksi a de charge dari kita yang menerangkan bahwa memang apa yang disampaikan Septia di media sosial itu adalah suatu kenyataan. Hal itu terbukti oleh dua saksi yang kita ajukan, yang sama sekali diabaikan oleh JPU. JPU hanya mendengar keterangan dari si pelapor sendiri atau Henri atau Jhon LBF,” beber Jaidin.
Sementara itu, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Hafizh Nabiyyin, menilai JPU tidak menyimak betul kesaksian yang telah diberikan oleh saksi ahli-saksi ahli yang dihadirkan selama persidangan.
“Keterangan semua saksi ahli yang telah dihadirkan ke persidangan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan oleh JPU. Ahli ITE misalnya, secara jelas menyatakan bahwa sesuai dengan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE, penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau kenyataan tidak boleh dianggap sebagai delik pidana. Begitupun dengan ahli HAM yang menyatakan kritik terhadap orang yang memiliki otoritas seperti korporasi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang tidak boleh dihukum secara pidana” terang Hafizh.
Kontak Media
Untuk informasi lebih lanjut terkait aksi solidaritas ini, media dapat menghubungi:
a. PBHI (0895-3855-87159)
b. SAFEnet (0811-9223-375)
c. LBH Pers (0821-4688-8873)
Organisasi Masyarakat Sipil yang Terlibat:
- Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB)
- Amnesty International Indonesia (AII)
- Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia)
- Federasi Buruh Karawang (FBK)
- Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI)
- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
- Koalisi Perempuan Indonesia
- Konfederas Buruh Merdeka Indonesia (KBMI)
- Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)
- Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN)
- LBH Pers
- Marsinah.id
- Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE)
- Perempuan Mahardhika
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
- Resister Indonesia
- Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)
- Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92 (SBSI ‘92)
- Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
- Serikat Pekerja Nasional (SPN)
- Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Trade Union Rights Center (TURC)
- WeSpeakUp
- Yayasan Kalyanamitra