PERNYATAAN SIKAP SAFENET TERHADAP TRANSISI PEMERINTAHAN: 8 WARISAN MASALAH YANG HARUS DISELESAIKAN PRABOWO-GIBRAN
SAFEnet percaya, ruang digital dapat memberikan manfaat yang luar biasa bagi seluruh manusia. Namun prasyaratnya, internet harus jadi ruang yang bebas bagi semua orang untuk membagikan dan mengakses informasi. Selain itu, internet juga harus menjadi ruang yang aman bagi semua orang. Namun, internet bukan ruang yang netral dan bebas nilai. Selalu terjadi tarik-menarik kepentingan antara korporasi digital tamak yang ingin meraih profit sebesar-besarnya dan negara despotik yang ingin mengontrol wacana publik.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebebasan maupun keamanan berinternet di Indonesia terus mengalami stagnasi, bahkan regresi. Hal ini setidaknya tergambar dari skor Freedom on the Net yang dirilis oleh Freedom House. Untuk tahun 2024 ini, laporan itu baru saja diluncurkan dua hari lalu. Indonesia mendapat skor 49 atau dikategorikan sebagai partly-free. Pada 2019, Indonesia mendapat skor 51, kemudian turun menjadi 49 pada 2020, turun lagi jadi 48 pada 2021, naik sedikit menjadi 49 pada 2022, lalu turun lagi menjadi 47 pada 2023.
Stagnasi ini menggambarkan buruknya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak digital di Indonesia. SAFEnet melihat, setidaknya terdapat Delapan Warisan Masalah dari rezim Joko Widodo terkait hak-hak digital yang harus diselesaikan oleh pemerintahan baru:
- Kriminalisasi kebebasan berekspresi
Sejak 2013 hingga Juni 2024, sebanyak 723 orang telah dilaporkan ke polisi dengan menggunakan pasal-pasal karet UU ITE, didominasi oleh pasal pencemaran nama baik. Revisi yang sudah dilakukan dua kali pada 2016 dan 2024 tidak menjawab persoalan yang ada, terbukti dengan kriminalisasi yang terus berlanjut hingga hari ini. Terus dipertahankannya pasal-pasal karet seperti pencemaran nama dan berita bohong menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dan parlemen untuk menjaga iklim kebebasan berekspresi. KUHP yang baru akan berlaku efektif pada 2026 juga menyisakan banyak pasal-pasal bermasalah, termasuk pasal pencemaran nama, berita bohong, penistaan agama, hingga penghinaan presiden dan pejabat negara.
- Perlambatan dan pemutusan akses internet
Di Papua dan berbagai wilayah yang mengalami gejolak sosial-politik, indikasi perlambatan akses internet terus terjadi. SAFEnet mencatat, pada 2022 tercatat setidaknya 36 kali gangguan akses internet, dengan 21 di antaranya terjadi di wilayah Papua. Pada 2019 terjadi pemutusan akses internet massal selama berminggu-minggu di Papua. Di Wadas, pemutusan akses internet juga terjadi selama perlawanan warga terhadap tambang pada 2022. Walaupun putusan PTUN Jakarta pada tahun 2020 sudah menyatakan pemutusan akses internet sebagai perbuatan melawan hukum, mirisnya, draf RUU Polri yang terakhir justru mengembalikan wewenang kepada negara untuk melakukan pemutusan dan perlambatan akses internet.
- Pemblokiran situs web
Banyak situs-situs yang menyediakan informasi dan edukasi mengenai hak-hak LGBT dan Papua yang diblokir pemerintah, sehingga tidak bisa diakses oleh publik. Selama tahun lalu, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga terus mengeluarkan ancaman untuk memblokir platform media sosial seperti X dan Telegram karena dianggap tidak patuh pada peraturan yang ada di Indonesia. Ini merupakan bentuk pembatasan hak atas informasi yang tidak sesuai dengan syarat-syarat pembatasan berdasarkan standar HAM internasional.
- Penyensoran konten
Permenkominfo 5/2020 yang berlaku efektif pada tahun 2022 terbukti telah menjadi alat efektif untuk menyensor ekspresi-ekspresi yang sah di platform media sosial. Pengenaan denda dalam jumlah yang besar terhadap platform digital tanpa mekanisme transparansi dan banding yang adil mendorong platform untuk melakukan moderasi konten eksesif dan berlebihan. Hal ini terlihat dalam “War on Judol” yang dilakukan oleh Budi Arie Setiadi, yang telah menyebabkan banyak konten dihapus karena platform yang ketakutan akan disanksi denda oleh Kominfo.
- Nirkomitmen perlindungan data pribadi
Dalam dua tahun terakhir, terdapat setidaknya 113 insiden kebocoran data pribadi. Serangan ransomware ke PDNS 2 dan dugaan bocornya data Dirjen Pajak pada tahun ini saja telah menyebabkan kerugian materiil maupun non material bagi warga Indonesia. UU PDP memang sudah disahkan, namun, pembentukan otoritas data pribadi belum jelas juntrungannya hingga hari ini. Padahal, tenggat sudah di ujung tanduk. Ini menunjukkan minimnya komitmen pemerintah untuk melindungi data pribadi warga.
- Maraknya serangan digital
Jumlah dan variasi serangan digital yang mengancam aktivis dan jurnalis terus meningkat. Setidaknya ada 1.030 serangan digital yang terjadi dari 2020 hingga Maret 2024 berdasarkan pemantauan dan jumlah aduan yang masuk ke SAFEnet. Kelompok-kelompok kritis seperti aktivis, jurnalis, dan mahasiswa menjadi korban cukup besar. Biasanya, terjadi saat momentum-momentum kritis seperti merencanakan demonstrasi, diskusi publik soal isu-isu sensitif, atau setelah mengunggah konten yang kritis terhadap pemerintah.
- Kekerasan, diskriminasi, dan marjinalisasi di ruang digital
Ruang digital masih belum menjadi ruang aman bagi kelompok rentan. Korban KBGO terus meningkat dan berjatuhan. Sejak 2019 hingga Juni 2024, sebanyak 4.005 aduan telah masuk ke kanal aduan milik SAFEnet. Internet masih tidak aksesibel bagi kelompok-kelompok rentan, termasuk disabilitas. Anak-anak terus menjadi korban kejahatan siber, dari penipuan hingga child grooming. Internet juga belum dapat dinikmati secara merata dan bermakna di seluruh penjuru Indonesia.
- Lemahnya akuntabilitas platform digital
Ujaran kebencian, disinformasi, perundungan, dan manipulasi opini publik terus menghiasi ruang siber dengan difasilitasi oleh algoritma platform digital. Temuan SAFEnet menunjukkan kebijakan maupun praktik moderasi konten platform masih gagal melindungi hak atas rasa aman kelompok rentan, utamanya perempuan, LGBT, dan Rohingya. Padahal, korporasi media sosial, seperti TikTok, Facebook, dan Instagram, terus mengeruk keuntungan dari engagement pada konten-konten berbahaya yang beredar di platformnya. Belum ada inisiatif yang tepat dari pemerintah untuk mendorong akuntabilitas platform yang sesuai dengan HAM.
Keadaan-keadaan di atas menunjukkan kegagalan negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak digital warganet. Negara, baik secara aktif maupun pasif, masih terlibat dalam pelanggaran hak-hak digital. Hal ini bisa dilihat dari produk hukum, kebijakan, dan tindakan yang justru sering bertentangan dengan atau gagal memenuhi standar-standar hak asasi manusia internasional, termasuk Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional untuk Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Piagam Hak Asasi Manusia dan Prinsip-prinsip di Internet, serta Pedoman PBB untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Untuk itu, SAFEnet mendorong pemerintahan baru untuk:
- Menghormati hak-hak digital seluruh warganet dengan menghentikan segala bentuk pelanggaran hak-hak digital, termasuk di antaranya mencabut seluruh produk peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang bertentangan dengan HAM, menghentikan segala bentuk serangan digital yang diduga dilakukan oleh aparat negara, dan menghentikan operasi manipulasi opini publik yang dibiayai dengan uang rakyat;
- Melindungi hak-hak digital seluruh warganet dengan membuat peraturan perundang-undangan maupun kebijakan yang diperlukan untuk menjamin perlindungan data pribadi, hak atas privasi, dan hak atas rasa aman;
- Memenuhi hak-hak digital seluruh warganet dengan mendorong akses internet yang terjangkau, aksesibel, dan bermakna di seluruh penjuru Indonesia;
- Melibatkan masyarakat sipil secara bermakna dalam merumuskan peraturan perundang-undangan maupun kebijakan digital di Indonesia untuk memastikan tata kelola internet berbasis transparansi, akuntabilitas, pengawasan demokratis, dan selaras dengan standar hak asasi manusia internasional.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
18 Oktober 2024