Sidang Lanjutan Kriminalisasi Septia Mantan Karyawan PT Lima Sekawan Indonesia: Ancaman dan Pengabaian Hak Pekerja Terkuak dalam Fakta Persidangan
Rabu, 18 Oktober 2024 – Sidang kasus kriminalisasi terhadap Septia Dwi Pertiwi, seorang buruh perempuan yang memperjuangkan hak-haknya, kembali digelar dengan menghadirkan saksi-saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sabar Lumban Tobing (Direktur Utama Hive Five), Dessy Natasya Permatasari (Human Resource Manager Hive Five), dan Suparwanto (Mediator Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan) dihadirkan sebagai saksi oleh JPU.
Sabar Akui Adanya Ancaman terhadap Karyawan Hive Five
Sabar mengakui adanya ancaman bagi karyawan yang tidak segera membalas pesan singkat dari atasannya. Selain itu, ia juga mengakui terdapat larangan bagi karyawan PT Lima Sekawan Indonesia (Hive Five) untuk bersosialisasi dengan mantan karyawan yang sudah tidak bekerja di perusahaan tersebut.
Jaidin Nainggolan,S.H. yang merupakan Penasehat Hukum dari Tim Astaga (Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai), menyoroti pernyataan Sabar mengenai ancaman yang terjadi di grup WhatsApp, “Sabar mengakui ada chat di luar jam kerja, ancaman di grup WhatsApp itu juga diakui dan Sabar mengonfirmasi bahwa dia memang ada dalam grup tersebut.” Ujarnya.
Selanjutnya, ia menyoroti masalah pemecatan yang diakui namun tidak dilaksanakan “Terkait pemecatan, memang ada pengakuan bahwa pemecatan dalam grup tersebut dan diakui oleh Sabar, tetapi tidak dilaksanakan.”
Jaidin juga menyoroti perbedaan pandangan yang muncul antara Sabar dan Jhon LBF mengenai sistem shifting. Ia menyatakan, “Terkait sistem shifting, terdapat perbedaan pendapat antara Sabar dan Jhon LBF. Jhon LBF menyatakan bahwa semua karyawan menjalani shifting, sementara Sabar mengklaim bahwa tidak ada sistem shifting yang diterapkan,”ujar Jaidin.
Hafizh Nabiyyin, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) juga memberikan keterangan mengenai persidangan tersebut. “Ancaman ini ‘kan sinonimnya intimidasi, ya. Model-model intimidasi ini lumrah dilakukan oleh para pengusaha terhadap para pekerja. Sama seperti Jhon LBF pada sidang pemeriksaan sebelumnya, Sabar mengatakan mereka tidak mempekerjakan karyawan selama 24 jam. Tapi tadi, ketika ditanya oleh penasehat hukum Septia, Sabar justru mengakui kalau mereka akan marah dan mengancam akan memotong upah seandainya ada karyawan yang ketahuan sengaja tidak membalas pesan, bahkan di tengah malam. Ini adalah bentuk perampasan hak para pekerja untuk beristirahat,” ujarnya.
Hafizh menambahkan “Larangan bersosialisasi dengan mantan karyawan juga aneh dan tidak jelas alasannya. Ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap kebebasan karyawannya untuk bergerak, berekspresi, berserikat, dan berkumpul secara damai yang dijamin dalam hukum HAM nasional maupun standar HAM internasional. Hive Five harus segera mencabut peraturan ini. Mereka tidak beroperasi di hutan rimba, melainkan di dunia di mana hak asasi manusia harus dihormati,” tambahnya.
Manajer SDM Cabut Kesaksian dan Tidak Relevan Sebagai Saksi
Pada persidangan ini, penasehat hukum Septia yang tergabung dalam Tim Astaga menolak Dessy Natasya Permatasari sebagai saksi. Penolakan ini ditengarai fakta bahwa Dessy baru bekerja di Hive Five pada Februari 2023, jauh setelah Septia mengundurkan diri dari Hive Five dan di dalam BAP Dessy menyatakan telah menjadi karyawan Hive Five pada Tahun 2019. Hal ini membuat kesaksian Dessy tidak relevan. Dessy juga akhirnya mencabut kesaksiannya yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Jaidin Nainggolan, S.H., Penasehat Hukum dari Tim Astaga (Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai), menyatakan, “Dessy tidak relevan sebagai saksi. Dia bekerja pada tahun 2023, sementara Septia sudah keluar pada tahun 2022. Kemudian ada perbedaan keterangan di berita acara pemeriksaan (BAP) yang menunjukkan ketidaksesuaian dalam perkara.”
Mediator Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan Lempar Tanggung Jawab
Suparwanto, sebagai saksi lain yang diajukan JPU, juga mendapat sorotan. Kesaksian yang diberikan oleh Suparwanto selama persidangan dinilai menunjukkan ketidakprofesionalannya dalam menangani pelanggaran ketenagakerjaan yang dialami oleh Septia. Suparwanto dinilai melempar tanggung jawab dalam proses mediasi dengan menyatakan bahwa ini adalah fungsi pengawasan, bukan tanggung jawab mereka.
“Kehadiran saksi pihak Sudinaker yang dihadirkan dari pihak penggugat mesti dilihat secara kelembagaan. Apa fungsi Sudinaker? Apa fungsi mediator? Posisi Sudinaker itu kan sentral mewakili pemerintah yang memikul tanggung jawab negara,” ujar Jumisih, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI).
Pengakuan bahwa bukti-bukti pelanggaran, seperti masalah BPJS dan upah yang di bawah standar UMK, tidak diberikan oleh pihak Septia dinilai sebagai bentuk kebohongan.
Jaidin Nainggolan, penasihat hukum Septia, juga mengemukakan keberatan terhadap keterangan saksi dari Disnaker, Purwanto. Ia menegaskan bahwa keterangan tersebut tidak sesuai dengan anjuran, di mana Purwanto menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi Septia hanya terkait upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun, fakta yang terungkap menunjukkan bahwa Septia dan kuasa hukumnya mempermasalahkan lebih dari itu, termasuk BPJS dan lembur.
Suparwanto sebagai perwakilan Sudinaker juga terkesan pasif dalam menyelesaikan masalah antara Septia-Hive Five dan memperbolehkan adanya kesepakatan upah di bawah Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK). Sikap pasif ini dianggap sebagai bentuk pembiaran yang menguntungkan pihak pengusaha dan merugikan hak buruh.
“Saat melihat persidangan kemarin, kesaksian dari Sudinaker berpotensi melemahkan dan menyudutkan posisi terdakwa, padahal dia sebagai pemerintah yang mestinya netral. Jadi ada kondisi yang tak berimbang. Yang sebenarnya ini potret dari wajah institusi kementerian ketenagakerjaan kita,” imbuh Jumisih.
Jaidin menambahkan, “Ada ketidakkonsistenan dalam keterangan Purwanto, yang seolah-olah tidak objektif dan lebih berpihak kepada PT Lima Sekawan. Ini sangat mencurigakan. Selain itu, dia juga menyampaikan bahwa berapapun kesepakatan upah itu sah, asalkan disepakati. Namun, setiap kesepakatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan adalah batal demi hukum. Seharusnya, sebagai pihak yang berwenang, Purwanto lebih memahami bahwa setiap kesepakatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan harus dianggap batal demi hukum.”
Komnas HAM Ajukan Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae)
Komnas HAM menegaskan bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang harus dijamin oleh negara, terutama ketika ekspresi tersebut berkaitan dengan penegakan hak asasi manusia, seperti hak pekerja untuk mendapatkan upah yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi. Septia dalam hal ini dikriminalisasi di saat dia hanya menyuarakan pelanggaran atas hak-hak yang dialaminya.
Komnas HAM sebagai fungsi pemantauan dan pengawasan mempunyai wewenang yang salah satunya memberikan pendapat pada perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan atau yang kita kenal sebagai amicus curiae. dalam pernyataannya Komnas HAM mengatakan bahwa pokok permasalahan ini sesungguhnya permasalahan ketenagakerjaan oleh PT. Lima Sekawan Indonesia dan haruslah diselesaikan secara ketenagakerjaan dan menjadikan pidana sebagai pilihan terakhir untuk kasus ini (ultimum remedium). Komnas HAM juga meminta majelis hakim dalam
memutus perkara untuk dapat mempertimbangkan penerapan asas transitoir (yang terbaik untuk terdakwa) dalam kasus ini.
Komnas HAM juga meminta agar dan agar majelis hakim bisa mempertimbangkan asas cogitationis poenam nemo patitur yang berarti bahwa tidak ada seorang pun yang boleh dihukum karena apa yang dipikirkannya. Dengan adanya amicus curiae ini menjadi pertimbangan bagi majelis hakim untuk dapat melindungi dan mewujudkan keadilan melalui pengambilan keputusan yang penuh keadilan bagi hak asasi manusia utama nya pekerja/buruh perempuan.
Kasus Kriminalisasi Septia Mantan Karyawan PT. Lima Sekawan Indonesia
Septia adalah seorang eks-buruh di Hive Five (PT. Lima Sekawan) milik influencer Jhon LBF. Ia dilaporkan oleh mantan atasannya itu setelah menceritakan pelanggaran hak-hak pekerja yang dialaminya selama bekerja di perusahaan tersebut melalui akun X miliknya.
Berbagai dugaan pelanggaran hak pekerja yang dialami Septia di antaranya adalah pemotongan upah sepihak, upah di bawah UMP, jam kerja berlebihan, tidak ada BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, tidak ada slip gaji, hingga tidak ada salinan kontrak.
Pada 26 Agustus 2024, Septia sempat ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanpa alasan yang jelas. Kemudian, pasca persidangan yang berlangsung pada 19 September 2024, ia dilepaskan dan menjadi tahanan kota. Hingga saat ini, Septia berstatus sebagai tahanan kota.
Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Septia telah melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tentang pencemaran nama baik dan melapisinya dengan Pasal 36 UU ITE tentang pelanggaran yang menyebabkan kerugian bagi orang lain. Akibatnya, saat ini Septia terancam 12 tahun bui.
Tim kuasa hukum Septia sebelumnya sudah mengajukan eksepsi. Beberapa hal yang menjadi argumentasi eksepsi adalah soal kewenangan PN Jakpus untuk mengadili kasus Septia, legal standing Jhon LBF sebagai pelapor, kebebasan berekspresi Septia sebagai korban pelanggaran hak-hak pekerja, tidak diupayakannya restorative justice oleh JPU, serta penggunaan pasal karet di UU ITE lama oleh JPU, padahal sudah ada UU ITE yang baru.
Kontak media
Untuk informasi lebih lanjut terkait kriminalisasi Septia ini, media dapat menghubungi:
a. PBHI (0895-3855-87159)
b. SAFEnet (0811-9223-375)
c. GSBI (0811-7486-731)
Organisasi Masyarakat Sipil yang Terlibat:
- Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB)
- Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia)
- Federasi Buruh Karawang (FBK)
- Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI)
- Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
- Koalisi Perempuan Indonesia
- Konfederas Buruh Merdeka Indonesia (KBMI)
- Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
- Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
- Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)
- Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN)
- LBH Pers
- Marsinah.id
- Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE)
- Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
- Resister Indonesia
- Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)
- Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92 (SBSI ‘92)
- Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)
- Serikat Pekerja Nasional (SPN)
- Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI)
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Trade Union Rights Center (TURC)
- WeSpeakUp
- Yayasan Kalyanamitra