Pemerintah akhirnya mengesahkan UU Infromasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akhir Januari 2024 lalu. Undang-undang ini telah menimbulkan kontroversi sejak disahkan pertama kali pada tahun 2008. Namun harapan yang tinggi akan payung hukum yang jauh lebih baik harus pupus. Pasalnya, UU ITE hasil revisi ini pun masih memuat pasal-pasal bermasalah yang berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat. UU ITE ini masih belum memperhatikan aspek kepekaan gender dan perspektif hak digital. Tantangan-tantangan yang muncul di era digital, terutama yang dihadapi oleh perempuan, belum sepenuhnya terakomodasi dalam UU ini. Kurangnya perspektif perempuan dalam penyusunan pasal-pasalnya menghasilkan aturan yang tidak peka terhadap isu gender.
Dampak dari kebijakan yang tidak memperhatikan gender sangat serius bagi perempuan. Contohnya, kebijakan tersebut dapat meningkatkan risiko perempuan menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) atau bentuk kekerasan digital lainnya. Hal ini tidak hanya menciptakan lingkungan digital yang berisiko bagi perempuan, tetapi juga menghambat partisipasi mereka dalam ruang digital serta memperkuat ketidaksetaraan gender.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap hasil revisi kedua UU ITE dengan mempertimbangkan perspektif gender dan hak digital. Dalam riset ini, kami menggali dampak konkret dari kebijakan yang tidak peka gender dalam regulasi digital, serta memberikan rekomendasi yang terkait dengan perlindungan hak-hak perempuan dan upaya untuk menciptakan ranah digital yang inklusif dan aman bagi semua.
Riset ini merupakan bagian dari komitmen kami dalam memperjuangkan dunia digital yang lebih adil, aman, dan menghormati hak-hak seluruh warga negara, khususnya perempuan dan kelompok ragam gender. Semoga riset ini dapat memberikan kontribusi positif dalam perumusan kebijakan yang lebih progresif dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.