Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet) dan Never Okay Project menemukan risiko pelecehan seksual yang terjadi saat kerja dari rumah selama masa pandemi Covid-19. Temuan ini diungkap dalam publikasi hasil survei berjudul #NewAbnormal: Situasi Pelecehan Seksual di Dunia Kerja selama Work from Home (WfH).
Pandemi Covid-19 berdampak pada banyak hal, termasuk juga pada dunia kerja. Hal ini membuat sebagian besar sektor industri mengubah situasi kerja dan sistem kerja yang biasanya dilakukan secara tatap muka di kantor diganti dengan jarak jauh melalui bantuan teknologi komunikasi digital. Sayangnya, perubahan sistem kerja tersebut tidak diiringi instrumen pencegahan pelecehan seksual. Hal ini memunculkan dan menambah risiko dan pola-pola praktik pelecehan seksual melalui teknologi digital pada pekerja.
Dari survei online yang berlangsung 6 April hingga 19 April 2020 dengan 315 responden yang bekerja dari rumah terungkap sebanyak 86 orang responden di antaranya menjadi korban pelecehan seksual selama WfH berlangsung, 68 responden mengaku menyaksikan pelecehan seksual, dan 30 responden pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual.
“Risiko pelecehan seksual pada masa bekerja di rumah tetap tinggi karena tidak didukung dengan instrumen-instrumen keselamatan kerja, dalam hal ini kebijakan anti-pelecehan seksual. Dari survei kami, 85% perusahaan belum punya kebijakan pelecehan seksual selama WfH,” ujar Inisiator Never Okay Project Alvin Nicola.
“Ini terbukti dari temuan survei.” Alvin menyebutkan, “Mayoritas korban tidak lapor ke HRD. Ada 94% korban yang tidak percaya HRD akan berpihak dan melindunginya, dan sebesar 38% merasa HRD tidak akan melakukan apapun. Ada juga yang khawatir kariernya akan terpengaruh, khawatir tidak akan ada yang percaya padanya, sampai takut disalahkan atau kena victim blaming.”
Alvin juga memaparkan bahwa tidak hanya perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Dari survei terungkap bahwa semua identitas gender dapat menjadi korban pelecehan seksual selama bekerja dari rumah.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa relasi kerja di dalam perusahaan mempengaruhi kerentanan seseorang dalam mengalami pelecehan seksual. Alvin mengatakan bahwa mayoritas korban berada dalam status hubungan kerja sebagai tenaga kontrak, magang, dan staf, sedangkan di sisi lain, tidak ditemukan wirausaha yang pernah menjadi korban.
Survei ini juga menemukan pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja terjadi secara lintas platform digital yang digunakan untuk bekerja dengan frekuensi yang tidak sedikit. Sebanyak 78% korban pernah dilecehkan di 2 sampai 7 teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu 1 bulan kerja dari rumah.
Ellen Kusuma dari Digital At-Risks, SAFEnet mengungkapkan bahwa aplikasi pengiriman pesan, seperti WhatsApp, Line, Telegram, dan lainnya, menjadi saluran paling sering digunakan pelaku untuk melakukan pelecehan seksual (40%), disusul dengan aplikasi media sosial (19%), aplikasi konferensi video (16%), aplikasi internal perusahaan (10%), email (7%), telepon (5%), dan SMS (3%).
“Dalam dunia kerja, teknologi komunikasi digital dan daring, seperti video konferensi dan aplikasi tukar pesan pada umumnya digunakan untuk kerja grup atau banyak orang sekaligus. Jika kemudian teknologi ini justru menjadi tempat pelecehan seksual terbanyak yang dialami oleh pekerja, artinya budaya pemakluman atau normalisasi terhadap bentuk pelecehan masih sangat kuat sehingga bisa dilakukan di dalam komunikasi grup, yang isinya rekan-rekan kerjanya sendiri.”
“Jangan sampai ini dibiarkan, dilanggengkan sebagai situasi yang ‘new normal’ ke depannya,” imbuhnya, “Ini situasi ‘new abnormal’.”
Lebih lanjut, Ellen menyampaikan survei ini juga menemukan 9 bentuk pelecehan seksual yang dialami korban. “Di antaranya dalam bentuk candaan atau lelucon seksual, atau dikirimkan konten multimedia, seperti foto, video, audio, pesan teks, atau stiker yang bernuansa seksual secara non-konsensual.
Ditambah lagi, semua kejadian ini bisa berlangsung di multi-platform. Kami menemukan 78% korban pernah mengalami pelecehan seksual di lebih dari dua platform.”
Berangkat dari temuan-temuan ini, Never Okay Project dan SAFEnet memberikan beberapa rekomendasi, yaitu kepada:
- Kementerian Ketenagakerjaan agar segera berkomitmen meratifikasi Konvensi ILO No. 190 Tahun 2019 dan Rekomendasi No. 206 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja agar para pekerja mendapatkan jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, terutama bagi pekerja-pekerja perempuan. Ratifikasi ini semakin mendesak karena hingga saat ini UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak mengatur kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.
- Perusahaan agar segera merancang berbagai inisiatif dan strategi anti pelecehan seksual, terutama untuk situasi bekerja dari rumah, seperti memulai edukasi risiko pelecehan seksual, membangun instrumen kebijakan yang berperspektif korban, memperkuat mekanisme pengawasan kerja berbasis sanksi hingga merancang sistem dan mekanisme pengaduan kasus yang imparsial. Secara khusus, perusahaan perlu meninjau risiko pelecehan seksual di internal perusahaannya dan menaruh perhatian besar pada pelecehan seksual berbasis daring.
- Serikat pekerja atau serikat buruh agar mendorong terselenggaranya mekanisme tripartit yang melibatkan lembaga negara, perusahaan, dan serikat pekerja untuk memastikan keselamatan dan keamanan pekerja yang bekerja dari rumah, khususnya dari risiko praktik pelecehan seksual. Serikat Pekerja/Serikat Buruh juga perlu menjadi inisiator wadah pelaporan kasus pelecehan seksual yang memihak pada korban.
- Pekerja agar mendesak agar perusahaan segera membangun inisiatif anti-pelecehan seksual, dan membangun solidaritas dengan menolak budaya normalisasi pelecehan. Pekerja juga secara strategis dapat membentuk koalisi sekutu korban dan saksi aktif dengan mengidentifikasi risiko-risiko pelecehan seksual selama bekerja dari rumah.
Hasil survei selengkapnya dapat diunduh di http://bit.ly/wfhnopxsafenet
Jakarta, 12 Juni 2020