Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan perkara gugatan pemutusan akses internet di Papua yang diajukan Tim Pembela Kebebasan Pers dengan agenda mendengar jawaban Presiden RI selaku pihak Tergugat II. Sidang yang digelar di Gedung PTUN Jakarta Jalan Pemuda, Rawamangun, pagi tadi dipimpin Hakim ketua Nelvy Christin SH MH, serta hakim anggota Baiq Yuliani SH dan Indah Mayasari SH MH.
Presiden RI akhirnya memberikan jawaban dengan mengutus 5 kuasa hukum dari jaksa pengacara negara, setelah pada persidangan sebelumnya dinyatakan mangkir. Selanjutnya, seperti pada agenda sidang pertama, penyampaian jawaban tergugat dibacakan langsung majelis hakim.
Dalam eksepsi, Presiden menyampaikan jawaban yang serupa dengan eksepsi yang dilakukan Kemkominfo RI pada pekan sebelumnya (22/1), yakni menyebut gugatan para penggugat error in persona (salah pihak), para penggugat juga dinilai tidak berhak mengajukan gugatan (persona standi in judicio) dan dinilai isi gugatan kabur (obscuur libel).
Kuasa Hukum Tim Pembela Kebebasan Pers Ahmad Fathanah Haris menyebutkan, dalil yang diutarakan Tergugat II dalam jawabannya keliru. “Secara garis besar dalam jawaban Tergugat II, gugatan para penggugat tidak mempunyai legal standing untuk menggugat. Namun dalam fakta hukumnya, siapa pun dapat mengajukan gugatan bilamana terdapat hal yang merugikan terhadap tindakan tersebut,” kata advokat publik dari LBH Pers ini.
Ahmad mengatakan, pemutusan akses internet di Papua dan Papua Barat dirasakan para wartawan yang merupakan anggota AJI Indonesia (penggugat I) dan anggota SAFEnet (penggugat II). Sehingga AJI dan SAFEnet mempunyai hak untuk mengajukan gugatan dengan mekanisme hak gugat organisasi. “Karena anggota dari para penggugat yang merasakan langsung,” sambungnya.
Selain itu dalam jawaban Tergugat II yang dibacakan oleh Ketua majelis hakim Nelvy Christin, Presiden RI mendalilkan dalam pokok perkara, objek sengketa tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Selain itu, tergugat II juga meminta majelis hakim menyatakan tindakan Presiden RI yang sependapat tindakan Kemkominfo RI yang menjadi objek gugatan -pemutusan akses internet, pelambatan dan perpanjangan pemutusan akses- adalah bukan perbuatan melawan hukum.
Menanggapi hal ini kuasa hukum Tim Pembela Kebebasan Pers Muhammad Isnur menegaskan, tindakan throttling bandwith yang dilakukan pada 19-20 Agustus 2019, dilanjutkan pemutusan akses internet sejak 21 Agustus sampai 4 September 2019, dan perpanjangan pemutusan akses internet sejak 4 sampai 11 September 2019 menjadi dasar gugatan. AJI dan SAFEnet mengajukan tuntutan bahwa Presiden Jokowi dan Menkominfo bersalah karena tidak mematuhi hukum dan melanggar asas pemerintahan yang baik. “Persoalan kebijakan pemutusan internet di Papua lalu menunjukkan pemerintah telah bertindak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan. Indonesia adalah negara hukum sehingga tindakan ini bila tidak didasari oleh aturan hukum yang berlaku dan hanya berdasar pada permintaan dari pihak keamanan saja, maka dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan melanggar hukum.” katanya.
Setelah mendengar jawaban dari Presiden RI, sidang akan dilanjutkan pada 5 Februari 2020 dengan agenda Replik dari Tim Pembela Kebebaasan Pers. Ketua Majelis Nelvy Christin mengatakan, pihaknya menargetkan seluruh agenda sidang berjalan sesuai jadwal sehingga putusan dapat dilakukan pada Mei 2020 atau sebelum hari raya Idul Fitri mendatang. “Kami berusaha menyusun jadwalnya dan kalau ini semua tepat waktu itu juga akan berakhir di bulan 5 dan kita usahakan sebelum itu. Kita berharap tidak lebih 5 bulan. Karena sekarang MA cukup ketat, kalau merah majelisnya langsung ditegur. Apakah kita akan sidang seminggu dua kali atau cukup seminggu sekali sehingga semua pihak mohon dipersiapkan semua,” jelasnya.
Tim Pembela Kebebasan Pers