Sampul Riset KKS 2025

Koalisi DDRN Dorong RUU KKS Menggunakan Pendekatan HAM

Siaran Pers
Koalisi DDRN Dorong RUU KKS Menggunakan Pendekatan HAM

Jum’at, 21 November 2025 — Koalisi Digital Democracy Resilience Network (DDRN) meluncurkan laporan riset berjudul Pentingnya Pendekatan Berbasis HAM dalam Legislasi Keamanan Siber di Jakarta. Peluncuran laporan riset ini dilakukan di tengah percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) yang saat ini sedang dilakukan oleh pemerintah dan DPR.

Pada laporannya, Koalisi DDRN mencatat terdapat urgensi untuk memperbaiki tata kelola siber di Indonesia, terutama di tengah menguatnya ancaman keamanan non-tradisional di level global seperti serangan siber. Tercatat Indonesia tidak imun dari serangan ini. Serangan siber yang terjadi menyasar berbagai entitas, tidak hanya institusi pertahanan dan keamanan negara, namun juga entitas yang melakukan pelayanan publik. Hal ini menciptakan kerentanan-kerentanan baru bagi individu. Salah satu sebabnya adalah tidak ada tata kelola keamanan siber yang memadai, yang dapat melindungi infrastruktur informasi kritis.

Koalisi DDRN memberikan enam catatan kritis terhadap rancangan UU KKS yang beredar pada 27 Februari 2025 dan 1 Oktober 2025. Enam catatan kritis itu di antaranya. Pertama, reorientasi keamanan siber dan perlindungan individu.

“Pada draf yang beredar sekarang, HAM tidak menjadi bagian integral dari pemahaman dan visi negara terhadap keamanan siber. Sehingga, bagian substansial dari strategi tersebut cenderung tidak mendukung penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM,” ujar Hafizh Nabiyyin, Koordinator Riset DDRN.

Kedua, DDRN menyoroti ambiguitas penggunaan istilah “ketahanan siber” dan “pertahanan siber”. Ketahanan siber dan pertahanan siber adalah dua konsep yang berbeda, namun masih sumir dibedakan dalam RUU KKS. Ketiga, Koalisi DDRN meminta kewenangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk menjadi penyidik hukum pidana non-militer untuk dihapus.

“Pelibatan TNI sebagai aparat penegak hukum dalam tindak pidana nonmiliter ini bertentangan dengan Pasal 30 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa tugas TNI adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan negara, bukan menjalankan fungsi penegakan hukum,” tambah Hafizh.

Keempat, Koalisi DDRN melihat perlu ada harmonisasi antara legislasi keamanan siber dengan kejahatan siber. Hal ini berimplikasi pada distribusi kewenangan, di mana BSSN memiliki peran dalam mendeteksi serangan siber melalui pemantauan terhadap anomali lalu lintas data. Sementara, kepolisian berwenang melakukan penyidikan apabila ditemukan unsur tindak pidana. Selanjutnya, Koalisi DDRN meminta agar pengaturan keamanan dan ketahanan siber mengadopsi model multipemangku kepentingan.

“Dari sudut pandang yang berorientasi pada manusia, memastikan keterwakilan yang beragam dalam pengaturan tata kelola bukanlah sekadar prosedur simbolis, melainkan merupakan penting dalam pembatasan kekuasaan politik,” ujar Hafizh.

Keenam, Koalisi DDRN mendesak agar legislasi ini juga diharmonisasi dengan tata kelola kecerdasan artifisial. Koalisi DDRN menilai desain penormaan tidak perlu berangkat dari fenomena serangan berbasiskan teknologi baru tertentu. Perkembangan teknologi yang akan makin masif ke depan membutuhkan respons visioner yang tidak terbatas pada jenis-jenis serangan berdasarkan basis teknologi tertentu.

Berdasarkan catatan-catatan kritis tersebut, Koalisi DDRN memberikan enam rekomendasi kepada pemerintah dan parlemen yang sedang dan akan terlibat dalam pembahasan RUU KKS. Pertama, mengintegrasikan pendekatan yang berpusat pada manusia dalam kerangka kerja, visi, tujuan, dan definisi yang ada dalam RUU KKS. Kedua, mempertegas penggunaan konsep ketahanan siber (cyber resilience), alih-alih pertahanan siber (cyber defense). Ketiga, memperjelas peran dan tanggung jawab setiap lembaga negara yang saat ini menjalani kerja-kerja keamanan dan ketahanan siber.

Keempat, mengeluarkan militer dalam tata kelola keamanan siber, termasuk sebagai penyidik dalam tindak pidana nonmiliter di dalam rancangan. Kelima, mengakomodasi model multi-pemangku kepentingan (multistakeholderisme) dengan memperjelas bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan keamanan dan ketahanan siber. Terakhir, mengharmonisasi jenis-jenis kejahatan dalam RUU KKS dengan legislasi lain. RUU ini perlu mengharmonisasikan jenis-jenis kejahatan baru di dalam RUU ini dengan jenis kejahatan serupa yang tersebar di beberapa undang-undang untuk menghindari over-kriminalisasi.

Selengkapnya, hasil riset bisa dibaca melalui tautan ini

Tentang DDRN

Digital Democracy Resilience Network (DDRN) adalah jejaring resiliensi demokrasi digital, yang merupakan koalisi 29 organisasi masyarakat sipil lintas isu di Indonesia. Terdiri dari

Anggota DDRN terdiri atas: Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet); Aliansi Jurnalis Independen (AJI); Aliansi Mahasiswa Papua (AMP); Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA); Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI); Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers); Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua (Sonamappa); Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS); Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem); Arus Pelangi; Public Virtue (PV); Social Justice Indonesia (SJI); Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK); Pusat Informasi, Kecerdasan Artifisial, dan Teknologi (PIKAT) Demokrasi; SIGAB Indonesia; XR Meratus; FeminisThemis; Flower Aceh; Institute for Criminal Justice Reform (ICJR); Koalisi Perempuan Indonesia (KPI); GeRAK Aceh; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM); Safer Internet Lab (SAIL); YPPM Maluku; Serikat Sindikasi; INKLUSI; Remotivi; dan Kemitraan.

Narahubung

Email : [email protected] (Koordinator Riset)