SIARAN PERS: SERUAN KEADILAN UNTUK “BUNGA”: SETOP KRIMINALISASI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL OLEH PEJABAT!

Peringatan Isi (Trigger Warning): Siaran pers ini memuat narasi kekerasan seksual dan kriminalisasi korban. Konten ini dapat memicu emosi atau respons traumatis bagi sebagian pembaca. Harap membaca dengan kesiapan mental dan dukungan yang memadai.
Senin, 14 Juli 2025 – Kami, LBH APIK Jakarta, LBH Palembang, SAFEnet, dan KOMPAKS, menyampaikan keprihatinan mendalam atas situasi yang menimpa Bunga (nama samaran), seorang perempuan terduga korban (TPKS) yang dilakukan oleh AHP, seorang mantan pejabat kelurahan di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan yang saat ini menjabat sebagai Eselon III di Pemerintahan Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan sekaligus menjabat sebagai Koordinator Sekretaris Bawaslu Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan.
Bunga telah menunjukkan keberanian luar biasa dengan melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke Bareskrim Mabes Polri. Namun, alih-alih mendapat perlindungan dan keadilan, Bunga justru menghadapi tekanan lanjutan dalam bentuk laporan balik oleh terlapor, dengan dugaan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas konten di media sosial.
Langkah hukum ini kami pandang merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Bunga sebagai korban TPKS, yang bertentangan dengan semangat dan ketentuan dalam Pasal 69 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS, yang secara tegas menyatakan bahwa: “Korban tidak dapat dituntut pidana dan/atau digugat secara perdata atas laporan yang dilakukan dalam kasus kekerasan seksual.”
Perlu ditegaskan bahwa laporan kekerasan seksual yang dialami oleh Bunga telah lebih dahulu dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri dan hingga kini masih berproses secara hukum. Namun, di tengah proses hukum tersebut, justru muncul laporan balik dari AHP yang diproses oleh Polres Empat Lawang, Sumatera Selatan dengan kecepatan yang tidak wajar dan terkesan dipaksakan. Ketimpangan ini menunjukkan adanya ketidak adilan dan bias institusional yang sangat merugikan korban.
Selain pelanggaran SOP dan hukum acara pidana yang diduga kuat telah dilakukan oleh Polres Empat Lawang, secara materiil, laporan kriminalisasi terhadap Bunga juga seharusnya tidak dapat diproses. Bunga dilaporkan karena mengungkap manipulasi opini publik yang dilakukan oleh AHP yang pada saat itu menjabat sebagai lurah. Konten tersebut merupakan bantahan atas overclaim yang tersebar luas di media lokal bahwa AHP mendapatkan penghargaan sebagai lurah berprestasi nasional dari Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2024 lalu. Padahal, faktanya AHP tidak pernah mendapatkan penghargaan itu. Hal ini dapat dilihat berdasarkan media resmi Kementerian Hukum dan HAM serta surat keputusan resmi Menteri Hukum dan HAM.
Perlu dicatat, sebelum mengunggah konten berisi bantahan atas overclaim tersebut, Bunga telah terlebih dahulu mengunggah cerita dirinya sebagai korban kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh AHP. Konten ini merupakan fakta hukum yang mencakup pengalaman yang dialami oleh korban ketika menjadi korban manipulasi dan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh AHP.
Kami menilai, konten tersebut jelas tidak melanggar Pasal 27A UU ITE karena unggahan Bunga merupakan sebuah fakta hukum yang didasarkan pada pemberitaan resmi dari Kementerian Hukum dan HAM selaku penyelenggara acara dan fakta hukum berdasarkan pengalaman Bunga yang menjadi korban manipulasi dan tindak pidana kekerasan seksual oleh AHP. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229 Tahun 2021 Nomor 154 Tahun 2021 Nomor Kb/2/VI/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa konten yang berupa fakta hukum atau kenyataan tidak dapat dikategorikan sebagai delik pencemaran nama baik.
Selama proses klarifikasi dengan Polres Empat Lawang, Bunga juga telah menyampaikan bukti-bukti kuat bahwa kalimat yang disampaikan dalam konten merupakan fakta, bukan suatu kebohongan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Selain itu, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE tidak berlaku bagi “Lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan”. Pada kasus kriminalisasi yang menimpa Bunga, jelas yang dikritik adalah tindakan AHP sebagai seorang lurah, yang merupakan jabatan publik, sehingga Pasal 27A UU ITE seharusnya tidak dapat digunakan untuk mengkriminalisasi Bunga.
Kriminalisasi yang dilakukan terhadap Bunga juga menciderai komitmen internasional Indonesia terhadap International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi dalam UU No. 12 Tahun 2005, yang memberikan jaminan atas kebebasan berekspresi melalui media apapun, termasuk media sosial.
Unggahan Bunga di media sosial merupakan bentuk ekspresi perjuangan korban untuk mendapat keadilan dalam menyampaikan fakta hukum, dan merupakan bagian dari hak korban untuk menyampaikan pengalaman yang dialaminya serta meminta dukungan publik, sepanjang tidak melanggar hukum.
Kriminalisasi yang menimpa Bunga juga bertentangan dengan komitmen Indonesia dalam meratifikasi Konvensi Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984, yang menekankan bahwa negara wajib melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender, tidak boleh mengkriminalisasi perempuan yang mencari keadilan dan memastikan akses terhadap keadilan, pemulihan, dan perlindungan menyeluruh.
Kami mengapresiasi keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang sudah menetapkan Bunga sebagai salah satu Terlindung. Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan LPSK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Permohonan Perlindungan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, Nota Kesepahaman antara LPSK dan Kepolisian RI Nomor Perj-2.015/1.2.2.1/LPSK/12/2017 dan B/109/XII/2017 tentang Kerjasama Perlindungan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana secara tegas menyatakan bahwa “Saksi, Korban dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya.”
Atas dasar hal-hal tersebut, kami mendesak:
- Direktorat PPA/PPO Bareskrim Mabes Polri, untuk segera memprioritaskan penanganan laporan kekerasan seksual yang dilaporkan oleh Bunga, menjamin proses berjalan secara profesional dan berpihak pada korban, serta melakukan koordinasi menyeluruh dengan Polres Empat Lawang, Sumatera selatan guna memastikan tidak terjadi tumpang tindih penanganan perkara dan agar prinsip perlindungan terhadap korban tetap dijunjung tinggi;
- Polres Empat Lawang, Sumatera Selatan untuk mengedepankan pendekatan perlindungan terhadap korban sesuai amanat UU TPKS dan segera mengevaluasi serta menghentikan/ mengeluarkan SP3 atas proses kriminalisasi yang ditujukan kepada Bunga selaku korban TPKS;
- Kompolnas, Propam Polri, Irwasum Polri, Propam Polda Sumatera Selatan, Irwasda Polda Sumatera Selatan untuk mengawasi, mengevaluasi serta memberikan tindakan dan sanksi tegas terhadap kriminalisasi yang dilakukan kepada korban TPKS yang diproses oleh Polres Empat Lawang, Sumatera Selatan yang diduga kuat telah melakukan pelanggaran SOP dan hukum acara pidana;
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, LPSK dan Komnas Perempuan, untuk memberikan perlindungan, pendampingan, dan pemulihan menyeluruh bagi Bunga;
- Kementerian PAN-RB, Bawaslu RI, DKPP RI, Ombudsman RI, Pejabat Pembina Kepegawaian Kabupaten Empat Lawang (Bupati Empat Lawang), Inspektorat Kabupaten Empat Lawang serta instansi terkait, agar segera memprioritaskan penanganan laporan kekerasan seksual yang telah dilaporkan dan menjamin proses investigasi dilakukan secara profesional, komprehensif, akuntabel serta memastikan pelanggaran kode etik dan disiplin yang diduga dilakukan oleh AHP, seorang pejabat di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan ditegakkan secara adil dan berpihak pada korban;
- Seluruh kementerian, lembaga, jaringan masyarakat sipil dan masyarakat luas, untuk tidak memberi ruang dan panggung bagi AHP sebagai terduga pelaku kekerasan seksual. Tindakan ini penting sebagai upaya menciptakan ruang aman bagi korban, memberikan sanksi sosial terhadap pelaku, dan mencegah pengulangan kasus serupa di masa depan;
- Kami juga mengajak masyarakat, khususnya komunitas digital, untuk tidak menghakimi korban yang bersuara, menunjukkan keberpihakan kepada korban dengan berempati atas situasi korban yang berani melaporkan kekerasan seksual yang dialami, serta ikut mengawal proses hukum agar berpihak pada korban, bukan pada pelaku.
Hentikan kriminalisasi terhadap korban!
Suarakan dan wujudkan keadilan!
Ciptakan pemulihan bagi korban kekerasan seksual!
Narahubung:
LBH APIK Jakarta: +6281284836791
LBH Palembang: +6282177641251
SAFEnet: +628179323375