
[RILIS PERS KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEMBARUAN KUHAP]
Koalisi Menuntut Sembilan Materi Krusial dalam RUU KUHAP Dibahas Secara Mendalam dan Tidak Buru-Buru
Setelah menggelar konferensi pers terkait dengan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Komisi III DPR RI kemudian pada 24 Maret menyelenggarakan serangkaian kegiatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RPDU) dengan sejumlah organisasi masyarakat dan organisasi advokat. Setelahnya, sepanjang 24-27 Maret 2025, bergulir berbagai narasi yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR RI, yang mengklaim bahwa banyak materi progresif dalam RUU KUHAP.
Sebelumnya pada 20 Maret 2025, Ketua Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa RUU KUHAP memuat lima materi yang disebut progresif, yaitu CCTV di tempat penahanan, pengaturan tentang hak kelompok rentan, penguatan advokat, perbaikan syarat penahanan, hingga kebaruan pengaturan tentang keadilan restoratif. Namun sayangnya, dalam rilis pers yang kami sampaikan 21 Maret 2025, kami membuktikan bahwa klaim materi progresif tersebut tak sepenuhnya tepat. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai Draft RUU KUHAP yang dipublikasikan DPR (versi 20 Maret 2025) masih memiliki banyak catatan dan belum menjawab akar masalah dalam praktik sehari-hari KUHAP saat ini (UU No. 8/1981) yang tidak akuntabel, tidak adil dan tidak memihak pada kepentingan hak-hak warga negara.
Sedangkan di sisi lain, DPR terkesan buru-buru dalam membahas RUU KUHAP. Menurut Ketua Komisi III DPR RI, target pembahasan RUU KUHAP tidak akan melebihi 2 (dua) kali masa sidang, sehingga paling lama akan disahkan sekitar Oktober-November 2025. Padahal RUU KUHAP secara keseluruhan memuat sebanyak 334 pasal dengan rincian total daftar inventarisasi masalah yang perlu dibahas sebanyak 1570 pasal/ayat pada bagian batang tubuh dan 590 pasal/ayat pada bagian penjelasan. Dengan demikian, tidak masuk akal jika pembahasan terhadap RUU KUHAP dilakukan secara mendalam hanya dalam beberapa bulan. Bila tidak dibenahi dan dibahas secara hati-hati dengan melibatkan publik dan pihak-pihak yang langsung terdampak, maka RUU KUHAP yang dihasilkan malah justru akan berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia yang tersistematisasi dalam proses peradilan pidana.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat sembilan masalah krusial yang seharusnya diselesaikan dalam RUU KUHAP, yaitu:
Pertama, kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel, perlu ada jaminan bahwa korban dapat mengajukan keberatan kepada Penuntut Umum atau Hakim apabila laporan atau aduan tindak pidana tidak ditindaklanjuti oleh Penyidik
Kedua, mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersedian forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat, harus ada jaminan bahwa seluruh upaya paksa dan tindakan lain penyidik dan penuntut umum harus dapat diuji ke pengadilan dalam mekanisme keberatan dengan mekanisme pemeriksaan yang substansial untuk mencari kebenaran materil dari dugaan pelanggaran ketimbangan pemeriksaan administrasi kelengkapan persuratan
Ketiga, pembaruan pengaturan standar pelaksanaan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan yang objektif dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia, perlu ada jaminan bahwa seluruh tindakan tersebut harus dengan izin pengadilan sedangkan pengecualian untuk kondisi mendesak tanpa izin pengadilan diatur secara ketat, serta dalam waktu maksimal 48 jam pasca orang ditangkap harus dihadapkan secara fisik ke muka pengadilan untuk dinilai bagaimana perlakuan aparat yang menangkap dan apakah dapat selanjunya perlu penahanan
Keempat, prinsip keberimbangan dalam proses peradilan pidana antara negara (penyidik-penuntut umum) dengan warga negara termasuk advokat yang mendampingi, harus ada jaminan peran advokat yang diperkuat dalam melakukan fungsi pembelaan terutama pemberian akses untuk mendapatkan atau memeriksa semua berkas/dokumen peradilan dan bukti-bukti memberatkan, perluasan pemberian bantuan hukum yang dijamin oleh negara dan pemberian akses pendampingan hukum tanpa pembatasan-pembatasan, hingga perlu meluruskan definisi advokat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
Kelima, akuntabilitas pelaksanaan kewenangan teknik investigasi khusus seperti pembelian terselubung (undercover buy) dan penyerahan yang diawasi (controlled delivery), perlu ada pembatasan jenis-jenis tindak pidana pidana yang dapat diterapkan dengan teknik investigasi khusus, syarat dapat dilakukannya kewenangan ini, serta jaminan bahwa kewenangan ini harus berbasis izin pengadilan. Kewenangan ini tidak boleh dilakukan pada penyelidikan, tidak boleh penyidik yang menginisiasi niat jahat melakukan tindak pidana
Keenam, sistem hukum pembuktian, perlu definisi bukti tanpa mengotak-kotakkan alat bukti dan barang bukti serta memastikan unsur relevansi dan kualitas bukti, memastikan adanya prosedur pengelolaan setiap jenis/bentuk bukti, serta harus ada jaminan “alasan yang cukup” secara spesifik pada masing-masing kebutuhan tindakan bukan hanya mengacu pada 2 (dua) alat bukti di awal untuk terus menerus digunakan sebagai alasan melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan tindakan lainnya
Ketujuh, batasan pengaturan tentang sidang elektronik, perlu ada definisi mengenai “keadaan tertentu” di mana sidang elektronik dapat dilakukan tanpa mengurangi esensi dari upaya pencarian kebenaran materiil dan untuk menghindarkan dari penjatuhan putusan yang bias, keliru, dan merugikan para pihak dalam persidangan, serta jaminan agar sidang elektronik tidak dijadikan alasan untuk membatasi akses publik termasuk keluarga korban maupun terdakwa untuk berada dalam platform komunikasi audio visual guna menyaksikan jalannya pemeriksaan
Kedelapan, akuntabilitas dalam penyelesaian perkara di luar persidangan, harus ada perbaikan konsep restorative justice yang saat ini hanya dipahami sebagai penghentian perkara, jaminan bahwa mekanisme penyelesaian perkara di luar persidangan yang tersedia nantinya dapat dilakukan pada tahap pasca penyidikan, saat fakta tindak pidana sudah disepakati pada pihak, akuntabilitas harus dijamin untuk mencegah terjadinya praktik-praktik transaksional dan pengancaman/pemerasan
Kesembilan, penguatan hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban, perlu ada kejelasan mekanisme restitusi sebagai bentuk pemulihan kerugian korban mulai dari proses pengajuan hingga pembayaran dana diterima korban, jaminan adanya pasal-pasal operasional agar hak-hak hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban dapat diakses secara efektif dalam praktik termasuk pihak-pihak yang dibebani kewajiban pemenuhan hak, mekanisme untuk melaporkan dugaan pelanggaran hak-hak hingga konsekuensi-konsekuensi jika terbukti hak-hak tersebut tidak dipenuhi atau dilanggar
Uraian masing-masing masalah diatas serta rujukan rumusan pasal bermasalah dalam RUU KUHAP di atas dijabarkan secara mendalam pada dokumen berikut terlampir dengan rilis ini.
Jakarta, 28 Maret 2025
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
- PBHI Nasional
- KontraS
- AJI Indonesia
- AJI Jakarta
- Aksi Keadilan
- Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK)
- Koalisi Reformasi Kepolisian
- Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (BEM FH UI)
- LBH Masyarakat
- Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
- Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
- Imparsial
- Perhimpunan Jiwa Sehat
- LBH APIK Jakarta
- Themis Indonesia
- PIL-Net
- Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)