“Saya cuma buta, bukan bodoh,” ungkap Mahretta Maha, aktivis hak-hak disabilitas netra, sambil tertawa. Mareta mengungkapkan ini saat menjadi salah satu narasumber dalam pelatihan peningkatan pemahaman dan sensitivitas terhadap penyandang disabilitas sensorik bagi anggota Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).

Sebanyak 14 anggota SAFEnet mengikuti program peningkatan kapasitas internal yang berlangsung di Jakarta, pada pertengahan Februari 2025 lalu. Program ini dirancang untuk memberikan edukasi dan keterampilan praktis agar anggota SAFEnet lebih memahami dan memiliki sensitivitas terhadap hambatan juga kebutuhan khusus disabilitas sensorik.
Peserta mendapatkan pengetahuan dasar tentang disabilitas sensorik, praktik berikteraksi dengan mereka, mengenali media yang aksesibel bagi masing-masing disabilitas, hingga praktik menyusun akomodasi yang layak jika ingin melibatkan atau membuat kegiatan bersama disabilitas sensorik yaitu netra dan Tuli.
SAFEnet berharap, langkah kecil melalui pelatihan ini merupakan upaya Bersama dalam mewujudkan pemenuhan hak digital yang lebih inklusif di masa depan. Seperti yang ketahui, perkembangan teknologi digital membawa manfaat besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk komunikasi, pendidikan, dan akses informasi. Namun, di sisi lain, kemajuan teknologi ini juga menghadirkan tantangan dan risiko baru, terutama bagi kelompok rentan seperti penyandang netra dan Tuli.
Dalam beberapa tahun terakhir, pelanggaran hak-hak digital menjadi isu yang semakin marak terjadi. Pelanggaran tersebut meliputi pelanggaran terhadap hak akses internet, pelanggaran terhadap hak rasa aman dan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi di internet. Beberapa ancaman yang mengalami peningkatan di antaranya adalah pelanggaran keamanan digital seperti doxxing dan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan pelanggaran kebebasan berekspresi di ranah daring lainnya seperti upaya kriminalisasi.
KBGO mencakup berbagai bentuk ancaman, termasuk pelecehan daring, penyebaran informasi pribadi tanpa izin, serta eksploitasi dan penipuan berbasis teknologi. Kelompok disabilitas sering kali menghadapi tantangan tambahan dalam melindungi diri dari ancaman ini karena keterbatasan aksesibilitas terhadap informasi keamanan digital, kurangnya kesadaran akan risiko siber, serta keterbatasan dalam memperoleh dukungan yang memadai.
Pentingnya keamanan digital bagi kelompok disabilitas tidak hanya sebatas perlindungan individu, tetapi juga berkaitan dengan hak-hak mereka dalam berpartisipasi secara aman di ruang digital. Meningkatnya penetrasi penggunaan internet dan teknologi menjadi keharusan untuk memastikan lingkungan digital yang inklusif dan aman. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan kapasitas yang berfokus pada pelanggaran hak-hak digital bagi kelompok disabilitas agar mereka dapat lebih berdaya dan mandiri dalam menggunakan teknologi secara aman.
Lima Level Hambatan
Dua orang fasilitator dari Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA); Ayatulah Rohhuloh Khomeini yang akrab disapa Micko dan Sholih Muhdlor, memandu jalannya pelatihan.
Di hari pertama, pelatihan fokus pada disabilitas netra. Fasilitator mengajak peserta untuk mengenali pengalaman disabilitas secara umum dalam konteks kehidupan sehari-hari. Dalam dunia penyandang disabilitas, terdapat 5 level hambatan (5 level of barriers) yang dialami. Hambatan-hambatan tersebut meliputi hambatan personal, keluarga, sosial, infrastruktur dan fasilitas, serta hambatan regulasi.
Hambatan personal, terkait penerimaan kondisi oleh penyandang disabilitas. Hambatan keluarga, tentang bagaimana cara keluarga dalam memperlakukan disabilitas. Hambatan lainnya adalah di ranah sosial. Stigma buruk sering kali berkembang di masyarakat. Bahkan korbannya tidak hanya penyandang disabilitas sendiri, tetapi sering juga keluarganya.
Infrastruktur dan fasilitas juga menjadi salah satu hambatan dasar bagi mereka yang menjadi penyandang disabilitas. Belum ramahnya infrastruktur bagi mereka, membuat keterbatasan dalam mobilitas hingga partisipasinya sebagai warga. Hambatan terakhir adalah regulasi, kebijakan, serta program dan anggaran.
“Produk kerja atau kebijakan yang dihasilkan oleh siapa pun baik pemerintah atau NGO harus bisa dinikmati oleh semua orang, tanpa diskriminasi apa pun,” tegas Mahretta Maha, merespons hambatan-hambatan tersebut. Retta, sapaan akrabnya, adalah penyandang netra yang juga aktif dalam organisasi Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).
Retta mengajak peserta untuk simulasi bagaimana berinteraksi dengan netra. Mulai dari cara memperkenalkan diri, menjadi pendamping netra, hingga ‘menjadi’ netra. Berdasarkan hasil testimoni para peserta, mereka mengaku sangat menikmati sesi praktik ini. Sebab tak hanya membayangkan secara teori, tetapi mereka juga dapat merasakan pengalaman itu secara langsung.
Retta juga menegaskan bahwa untuk berinteraksi dengan netra sebenarnya tidak sesulit yang dikhawatirkan orang-orang. Kuncinya adalah 3S (salam, sentuh, sapa) dan tanyakan apa kebutuhan mereka. Penyandang disabilitas netra sama halnya dengan orang lain yang bisa melihat. Mereka dapat berkomunikasi walau dengan cara yang berbeda. Catatannya, mereka yang berinteraksi dengan netra ini harus menyampaikan hal atau arahan yang jelas.
Retta dan banyak penyandang disabilitas netra lainnya sering kali terpinggirkan. Hanya karena penglihatan yang terbatas, para penyandang netra ini dianggap tidak bisa atau dirasa tidak cukup penting keberadaan dan suaranya. Hal ini yang kemudian membuat Retta melontarkan kalimat yang tertulis di awal artikel ini.
Akomodasi yang Layak
Pengalaman diskriminatif yang dialami Retta dan kawan disabilitas lainnya juga pernah dialami oleh Abdurrahman Phieter Angdika, penyandang Tuli asal Jakarta. Dalam pemaparannya pada sesi di hari kedua, pendiri Beriuh Podcast ini menyampaikan bahwa audisme masih sering terjadi. Audisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sikap negatif atau diskriminasi terhadap orang Tuli atau orang yang sulit mendengar. Sikap itu biasanya diwujudkan dalam bentuk diskriminasi, prasangka, atau kurangnya kemauan untuk mengakomodasi mereka yang tidak dapat mendengar.
Dalam konteks digital, audisme dapat kita lihat melalui berbagai bentuk. Contohnya adalah konten video atau podcast tanpa subtitle, closed caption, maupun Juru Bahasa Isyarat (JBI). Kurangnya kesadaran dalam desain konten digital juga menyulitkan Tuli dalam menerima informasi secara utuh.
Misalnya ketika informasi-informasi penting hanya disampaikan dalam format audio tanpa alternative text. Hal ini menunjukkan akses yag masih sangat minim bagi Tuli untuk mendapatkan informasi yang setara dengan pengguna dengar di ranah digital.
Media yang aksesibel harus memenuhi cara dan kebutuhan yang berbeda dari tiap ragam disabilitas untuk menerima informasi. Dalam konteks disabilitas sensorik, media digital yang aksesibel biasanya mengandung beberapa hal seperti, pemilihan font yang mudah dibaca, kontras warna, alternative text, dan poin-poin lain seperti yang disampaikan Phieter di atas.
Beberapa hal yang menurut Phieter menjadi tantangan sampai saat ini adalah kurangnya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang aksesibilitas digital. Selain itu, sedikitnya penyedia layanan JBI gratis pun jadi persoalan. Akibatnya, selain sulit mendapatkan informasi yang setara, mereka juga terbatas untuk mengakses pendidikan, layanan publik, serta pekerjaan.
Dalam sesi yang berbeda, Sholih juga sempat membahas tentang media aksesibel. Media yang dapat dengan mudah diakses oleh setiap orang dengan segala hambatan, baik hambatan pada individu atau hambatan lingkungan.
Pengalaman-pengalaman yang dibagikan Retta dan Phieter, semakin menebalkan pentingnya pemahaman tentang inklusi sosial. Terdapat tiga hal yang menjadi kuncinya. Pertama, terbuka. Bagaimana memastikan bahwa semua orang yang berada, tinggal dan beraktivitas dalam lingkungan tersebut merasa nyaman, dan aman.
Kedua, penghargaan. Pemahaman ini menekankan bahwa semua orang berhak dihargai sebagai manusia yang bermartabat apa pun kondisinya. Pemahaman ketiga yakni kesetaraan. Pemahaman ini memnekankan kemampuan memposisikan entitas manusia sebagai individu yang memiliki hambatan personal berbeda. Bisa karena usia, ekonomi, pengetahuan dan komunikasi. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama, memiliki martabat sebagai manusia seutuhnya.
Lalu bagaimana langkah untuk mewujudkan akomodasi yang layak bagi netra dan Tuli dalam pemenuhan hak mereka? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Micko dan Sholih mengajak para peserta melihat dari 3 aspek yaitu, aksesibilitas, akomodasi, dan alat bantu.

Aksesibilitas dapat diartikan sebagai kemudahan yang disediakan untuk setiap orang dengan cara yang paling sederhana dan semudah mungkin bisa dipakai. Dengan kata lain adalah sarana dan prasarana. Hal ini harus disediakan oleh negara dan merupakan keharusan atau kewajiban, meskipun tidak ada penggunanya.
Sementara akomodasi yang layak adalah sarana prasarana yang dibuat untuk memudahkan seseorang dengan kebutuhan tertentu. Contohnya adalah JBI atau guiding block di jalan. Ini harus disediakan oleh fasilitator kegiatan. Bisa dikompromikan antara penyelenggara dengan pengguna dengan standar minimal (aman, berfungsi, tidak harus mewah atau mahal, dan sebagainya). Alat bantu adalah alat yang digunakan oleh personal untuk membantu kegiatan sehari-hari. Contoh, tongkat untuk penyandang disabilitas netra. Harus disediakan secara mandiri mengingat kebutuhan personal berbeda-beda.
Tiga hal tersebut sangat esensial dan saling melengkapi bagi kelompok rentan untuk bisa berpartisipasi secara penuh di masyarakat. Ini pula yang dijadikan acuan dalam sesi praktik pamungkas dari rangkaian pelatihan saat itu. Peserta diminta membuat kerangka kegiatan yang melibatkan netra dan Tuli dengan mempertimbangkan ketiga aspek tersebut.
“Menarik, bisa belajar materi disabilitas. Orang non-disabilitas jadi bisa bantu dan ikut advokasi ke pemerintah. Praktik seperti ini juga sangat menarik. Jadi tahu kalau pendidikan soal disabilitas harusnya ada di kurikulum pendidikan,” papar Rama, salah satu peserta.