SIARAN PERS
SEPTIA DWI PERTIWI DIVONIS BEBAS
SIARAN PERS
Jakarta, 22 Januari 2025 – Septia Dwi Pertiwi, buruh perempuan yang dikriminalisasi dengan menggunakan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) divonis bebas dari segala tuntutan.
“Membebaskan terdakwa Septia Dwi Pertiwi oleh karena itu dari seluruh dakwaan penuntut umum,” bunyi amar putusan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Saptono di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Majelis hakim juga memerintahkan kepada jaksa untuk segera membebaskan Septia dari tahanan dan memulihkan Septia dalam kemampuan, kedudukan, harkat, serta martabatnya. Selain itu, negara diminta untuk mengganti segala kerugian yang dialami oleh Septia.
Putusan majelis hakim ini sekaligus mematahkan seluruh tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum (JPU). Sebelumnya, JPU menuntut Septia satu tahun penjara ditambah denda 50 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan.
“Kemenangan ini terjadi karena support kalian, solidaritas kalian teman-teman NGO, teman-teman buruh, teman-teman online semuanya. Terima kasih,” kata Septia.
“Memang seharusnya ini yang terjadi. Kebebasan yang terjadi terhadap para buruh yang dikriminalisasi agar para pengusaha tahu mengkriminalisasi buruh adalah hal yang sia-sia. Membungkam adalah hal yang sia-sia. Jadi, semoga buruh-buruh yang dikriminalisasi di luar sana juga mendapatkan kemenangan seperti yang saya dapatkan saat ini,” tambahnya.
Gina Sabrina, kuasa hukum Septia Dwi Pertiwi sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengapresiasi putusan majelis hakim.
“Hakim membebaskan seluruh dakwaan terhadap Septia baik dakwaan primer (Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 36 UU ITE) dan alternatif (Pasal 311 KUHP), dan dianggap semua tangkapan layar ataupun cuitan yang Septia lakukan di Twitter mengenai kondisi kerja dan pelanggaran hak ketenagakerjaan merupakan kenyataan atau fakta yang sama sekali tidak ditujukan untuk menyerang personal atau kehormatan Jhon LBF,” ujar Gina.
Salah satu hal yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam mengambil keputusan ini adalah adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Komunikasi dan Informatika, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, dan Jaksa Agung tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Salah satu poin dalam ketentuan itu adalah bahwa ungkapan atas sebuah kenyataan atau fakta tidak dianggap memenuhi unsur pencemaran nama baik.
Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa fakta bahwa dalam kasus ini kerugian dialami oleh badan hukum, bukan kerugian pribadi Jhon LBF.
“Putusan ini kami nilai sebagai putusan yang penting sehingga pembelajaran berharga bagi siapapun yang mau mengkriminalisasi, termasuk Jhon LBF sendiri yang saat ini masih mensomasi orang-orang yang di media sosial yang memberikan solidaritas kepada Septia untuk segera berhenti dari tindakannya untuk sembarangan menggunakan perangkat hukum dan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengkriminalisasi seseorang,” tambah Gina.
Lebih lanjut, Gina menyatakan harapannya agar putusan majelis hakim ini bisa menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus kriminalisasi UU ITE yang masih terus terjadi hingga hari ini.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai putusan majelis hakim ini sebagai kabar baik bagi demokrasi di Indonesia.
“Kami mengapresiasi putusan dari majelis hakim ini. Kami berharap, putusan ini bisa menjadi preseden bagi kasus-kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi yang sampai saat ini masih menargetkan individu-individu yang kritis. Kasus Septia ini juga membuktikan bagaimana UU ITE, sekalipun sudah direvisi, masih terus digunakan oleh pengusaha yang dekat dengan penguasa, untuk membungkam buruh-buruh yang kritis,” ujar Hafizh Nabiyyin, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet.
“Kami juga mendesak Pak Kapolri dan Pak Jaksa Agung untuk mengevaluasi kinerja seluruh aparat penegak hukum yang terlibat dalam kriminalisasi Septia ini. Walaupun kami puas karena putusannya bebas, tapi tetap, jangan sampai kasus seperti ini berulang. Septia tidak akan terkuras energi, finansial, dan psikologisnya selama kurang lebih dua tahun seandainya sedari awal kasus ini tidak ditindaklanjuti oleh polisi. Seharusnya polisi maupun jaksa menghentikan kasus ini sejak awal, karena secara terang benderang bertentangan dengan SKB 3 lembaga tentang pedoman implementasi UU ITE, yang hari ini kita lihat juga jadi pertimbangan majelis hakim,” tambah Hafizh.
Senada dengan hal itu, Juru Kampanye Amnesty International Indonesia, Satya Azyumar, juga menekankan pentingnya untuk kembali meninjau ulang pasal-pasal bermasalah yang saat ini masih berlaku di sistem hukum pidana di Indonesia.
“Bebasnya Septia adalah kemenangan yang harus dirayakan. Namun kita tidak boleh lengah, karena selama masih ada pasal-pasal kontroversial dalam UU ITE dan KUHP terbaru, maka pembungkaman akan selalu terjadi. Oleh sebab itu, kita harus terus melawan sampai pasal-pasal tersebut dihapuskan,” ucap Satya.
Andriko Otang, Direktur Trade Union Rights Center (TURC) mengemukakan kekhawatiran serupa mengenai keberadaan pasal-pasal karet di UU ITE.
“Sepanjang pasal karet dalam UU ITE belum dicabut, dia akan terus menghantui kita semua yang bersuara kritis atas segala bentuk ketidakadilan. Meski demikian, kasus Septia mengajarkan kepada kita bahwa untuk terus tidak takut dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan, selama yang kita ungkap adalah fakta kebenaran yang tidak terbantahkan,” tutur Andriko.
Lebih jauh lagi, Andri menyebut gerakan solidaritas terhadap Septia sebagai tanda kemenangan gerakan rakyat.
“Solidaritas dari berbagai elemen dan latar belakang yang mengalir deras untuk Septia, menandakan bahwa gerakan rakyat masih bisa menjadi harapan bagi masyarakat dalam melawan segala bentuk ketidakadilan dan kekuasaan yang menindas di negeri ini,” tegas Andriko.
Sementara itu, Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) juga mengapresiasi hakim yang berani membuat keputusan ini. Ia juga mengapresiasi keberanian Septia sebagai buruh perempuan yang berani melawan ketidakadilan.
“Septia membuktikan, bahwa sebagai buruh dan sebagai perempuan dia meneguhkan keberanian untuk menghadapi kekuasaan modal, dengan harapan tidak ada lagi korban,” ujar Jumisih.
“Ini memberikan tanda bahwa kejahatan, ketidakadilan, itu bisa dilawan. Ini sekaligus pesan untuk para pemangku kepentingan, Dinas Ketenagakerjaan maupun Menteri Ketenagakerjaan untuk lebih aware dengan pengusaha-pengusaha yang nakal. Jadi, pengusaha-pengusaha yang nakal itu mesti ditindak, bahkan dengan upaya-upaya preventif, tidak hanya dengan penindakan,” tambah Jumisih.
Jakarta, 22 Januari 2025
Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (TIM ASTAGA)
Kontak media
Untuk informasi lebih lanjut terkait kriminalisasi Septia ini, media dapat menghubungi:
a. PBHI (0895-3855-87159)
b. SAFEnet (0811-9223-375)
c. GSBI (0811-7486-731)