Pernyataan Sikap SAFEnet: Waspadai Polisisasi Komdigi dan Pengawasan Berlebihan di Dunia Maya

Denpasar, 26 November 2024 – Pada Senin 25 November 2024, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menunjuk perwira tinggi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Brigjen Pol Alexander Sabar, sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). SAFEnet mengkhawatirkan penunjukan pejabat dengan latar belakang kepolisian akan menimbulkan konflik kepentingan, terutama terkait pendekatan keamanan yang berlebihan yang malah dapat mempersempit kebebasan berekspresi di ruang digital.

Selain itu, penunjukan pejabat dari latar belakang kepolisian pada posisi sipil dapat dianggap sebagai bentuk polisisasi birokrasi di dalam tubuh Komdigi. Hal ini bertentangan dengan prinsip pemerintahan sipil yang demokratis. Jika penunjukan ini menjadi pola, maka akan ada kesan bahwa pemerintah lebih memprioritaskan figur dari kalangan aparat ketimbang profesional sipil.

Penunjukan Brigjen Pol Alexander Sabar sebagai Plt Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi diklaim sebagai strategi untuk mendorong kinerja Komdigi dalam memberantas judi online (judol) yang meresahkan masyarakat. Menteri Komdigi mengungkapkan bahwa penugasan Alexander diharapkan dapat mempercepat upaya bersih-bersih di dalam tubuh Komdigi dari ancaman kejahatan digital sekaligus meningkatkan kepercayaan publik terhadap keamanan ruang digital di Indonesia.

Pernyataan tersebut sesat pikir. Polisisasi Komdigi justru dapat merusak kepercayaan publik terhadap Komdigi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi keselamatan digital warganet. Selama ini, kepolisian selalu dipandang sebagai institusi yang paling tidak dipercaya oleh publik. Penunjukan perwira aktif polisi sebagai Dirjen Pengawasan Ruang Digital, justru akan membuat masyarakat semakin tidak percaya dengan upaya Komdigi memberantas judol.

Selain itu, upaya bersih-bersih di internal Komdigi tidak sama dengan mengawasi ruang publik, karena ini dua ranah yang jelas berbeda. Apalagi dengan pendekatan keamanan yang berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang jika tidak (dapat) diawasi oleh publik.

Pasalnya tugas Komdigi bukan hanya soal pemberantasan judol. Pengawasan di ruang digital pasti berdampak sebagai  pengawasan menyeluruh terhadap seluruh aktivitas demokrasi warganet dalam berekspresi, beropini, dan berkreasi. 

Ruang digital tidak dapat dimaknai hanya sebagai kanal yang memuluskan kejahatan siber an sich, tapi ruang bersama yang harus dipastikan aman dan nyaman sebagai hak-hak digital masyarakat yang tidak dapat dikurangi hanya karena ada misi spesifik seperti pemberantasan judol. 

SAFEnet mencatat dalam berbagai laporan situasi hak-hak digital di Indonesia, penyempitan ruang sipil di dunia maya terus terjadi, dan polisi menjadi salah satu aktor yang terlibat dalam berbagai pelanggaran hak digital. Beragam gangguan, tekanan, serangan, hingga kriminalisasi terus diterima oleh masyarakat sipil Indonesia, terutama dalam momentum khusus yang bersifat politis.

Di bulan Mei 2024, gelaran People Water Forum (PWF) di Bali yang digelar oleh organisasi masyarakat sipil mendapatkan serangan, baik serangan dan represi dalam bentuk fisik maupun serangan digital. Serangan ini tidak mendapatkan penanganan dari kepolisian yang seharusnya menjamin rasa aman warga. Insiden massif terbaru adalah serangan-serangan digital dan represi kepada masyarakat sipil yang gencar menggerakkan aksi demonstrasi #KawalPutusanMK atau #PeringatanDarurat di bulan Agustus 2024. Serangan digital dan intimidasi berdatangan mulai dari ancaman lewat pesan singkat, penyebaran identitas korban di dunia maya, hingga serangan-serangan yang bersifat kekerasan berbasis gender secara online.

Sebelumnya, serangan-serangan digital juga kerap menimpa aktivis atau masyarakat sipil yang memperjuangkan hak mereka seperti yang terjadi di kasus Wadas, Jawa Tengah, dan Rempang, Kepulauan Riau. Serangan ini beragam, dari usaha peretasan, ancaman, pengambilalihan akun, hingga pembatasan akses internet.

Serangan atau pelanggaran hak digital ini memberikan efek jera (chilling effect) kepada masyarakat sipil yang ingin mengekspresikan diri, menyuarakan pendapat, atau melontarkan kritik pada sebuah isu. Mereka yang menjadi korban serangan, kriminalisasi, atau pelanggaran hak digital pun mengalami trauma yang tentu memengaruhi kehidupan mereka. Sialnya, hingga saat ini belum ada pelaku serangan digital atau pelaku pelanggaran hak digital yang diproses secara hukum. Hal ini menunjukkan rentannya posisi masyarakat sipil di ruang digital Indonesia.

Keamanan ruang digital juga harus memperhatikan dan mempertimbangkan hak asasi manusia dan kebebasan ruang sipil. Bebas dari ancaman kejahatan digital juga harus berlaku untuk semua elemen, termasuk elemen masyarakat sipil yang aktif memperjuangkan ekspresi dan pendapatnya di ranah digital. Bebas dari ancaman kejahatan digital tidak harus mengorbankan ruang-ruang masyarakat sipil.  

Untuk itu, SAFEnet mendesak pemerintah, khususnya Menkomdigi Meutya Hafid untuk:

Menghentikan segala bentuk praktik polisisasi di dalam tubuh Komdigi, baik dalam penunjukan pejabat, maupun dalam pembuatan kebijakan.

  1. Memastikan bahwa pembentukan Direktorat Jenderal Pengawasan Ruang Digital benar-benar dimanfaatkan untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan warganet Indonesia, tanpa membuka ruang penyalahgunaan yang dapat dimanfaatkan untuk represi digital atau pembatasan ruang sipil.
  2. Memastikan penunjukan perwira polisi sebagai Plt. Dirjen Pengawasan Ruang Digital tidak mengganggu kebebasan ruang sipil di dunia maya, apalagi sampai melanggengkan praktik represi, pembatasan, dan pengawasan berlebihan pada warganet. 
  3. Memastikan penunjukan perwira polisi sebagai Plt. Dirjen Pengawasan Ruang Digital tidak mengganggu kebebasan ruang sipil di dunia maya, apalagi sampai melanggengkan praktik represi, pembatasan, dan pengawasan berlebihan pada warganet.