Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menyatakan bahwa saat ini kementeriannya sedang mempersiapkan pembentukan dewan media sosial (DMS). Menurut Budi, dewan ini akan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang ada di media sosial layaknya dewan pers. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menilai bahwa pembahasan seputar DMS harus dilakukan secara berhati-hati.
Mempertimbangkan hal-hal yang sedang berkembang, SAFEnet menyatakan:
Pertama, dilemparkannya kembali gagasan ini setelah revisi UU ITE membuat ide pembentukan DMS saat ini sudah kehilangan konteks. SAFEnet telah mengusulkan pembentukan DMS ke Kominfo tahun lalu, saat proses pembahasan revisi kedua UU ITE. Ketika itu, SAFEnet mengusulkan DMS sebagai lembaga independen baru yang berisi berbagai pemangku kepentingan dan berfungsi menggantikan peran Kominfo dalam melakukan moderasi konten. Sebab, selama ini wewenang Kominfo sebagai representasi pemerintah sangat besar dalam memoderasi konten.
Pembentukan lembaga ini diusulkan untuk masuk ke dalam substansi revisi kedua UU ITE. Secara spesifik, SAFEnet mengusulkan penambahan pasal 40 ayat 2(c) yang berbunyi: “….Pemerintah berwenang memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan moderasi konten terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut yang berkategori konten berbahaya atas dasar rekomendasi dari Dewan Media Sosial.”
Namun nyatanya, hingga revisi kedua UU ITE disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2024, pasal-pasal tersebut tidak diakomodir baik oleh Kominfo maupun DPR RI. Hal itu terlihat dari UU ITE terbaru pasca revisi yang justru memenggal substansi dari usulan awal sehingga wewenang moderasi konten sepenuhnya berada di tangan Kominfo sebagai representasi negara.
Kedua, pembentukan DMS harus mengadopsi seluruh prinsip-prinsipnya, terutama prinsip independensi dan prinsip multistakeholderisme. Pembentukan DMS seperti yang dirancang oleh Kominfo masih sangat kabur dan justru berpotensi berseberangan dengan prinsip awalnya.
DMS harus independen, terbebas dari pengaruh pemerintah maupun perusahaan media sosial. Kontrol Kominfo atas DMS akan menimbulkan penyensoran dan memperparah kerusakan demokrasi dan kebebasan sipil di ruang digital. Di bawah Kominfo, terdapat potensi konflik kepentingan yang sangat besar, sehingga DMS dapat dimanfaatkan sebagai alat represi digital yang baru. Hal ini justru akan melemahkan posisi masyarakat sipil dan membawa kemunduran bagi demokrasi digital.
Semangat mempererat dan memperkuat keselamatan dan keamanan publik di ruang digital tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan berbagai pihak dalam pembentukan DMS. Untuk menghindari kontrol absolut pemerintah, DMS harus diisi dengan perwakilan berbagai pihak, sebut saja akademisi, pembuat konten, masyarakat sipil, pekerja kreatif, jurnalis, kelompok rentan dan minoritas serta berbagai pihak lainnya. Tentu hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari tujuan DMS supaya tidak menjadi alat penyensoran bagi kebebasan berekspresi masyarakat sipil.
Ketiga, DMS tidak boleh melakukan pengawasan. Hal yang paling mengkhawatirkan adalah Kominfo memaknai DMS sebagai pengawas konten-konten di media sosial. SAFEnet menilai, praktik surveillance (pengawasan) tidak dapat dibenarkan karena dapat memicu swasensor oleh perusahaan maupun pengguna media sosial. Oleh karena itu, DMS hanya boleh memutuskan sengketa antara pengguna dengan perusahaan media sosial atas kerugian-kerugian yang dialaminya.
DMS hanya boleh menilai dan mengawasi aduan terhadap praktik moderasi konten yang dilakukan oleh perusahaan media sosial, bukan melakukan pemantauan dan pengawasan aktif. Semua penilaian ini harus dilakukan dengan menggunakan standar-standar HAM internasional dan memperhatikan konteks lokal sebagai tolok ukurnya. Pembatasan atau takedown konten hanya dapat dilakukan setelah melakukan three part-test, setelah mempertimbangkan prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas, serta memiliki tujuan yang jelas.
Berdasarkan pertimbangan di atas, SAFEnet mendesak Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk:
1. Meninjau ulang rencana pembentukan dewan media sosial yang berkedudukan di bawah badan eksekutif;
2. Melibatkan organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia dalam proses perencanaan dewan media sosial.