Selasa, 19 Maret 2024, kasus kriminalisasi terhadap Daniel Frits Maurits Tangkilisan seorang pejuang lingkungan di Karimunjawa, akhirnya sampai pada tahap pembacaan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam prosesnya, tindakan Daniel dinyatakan telah memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam dakwaan kesatu dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) subsider 1 bulan kurungan.
Koalisi Nasional Save Karimunjawa dalam konferensi pers yang digelar secara virtual pada 21 Maret 2024, menilai bahwa tuntutan terhadap Daniel begitu mengada-ada karena begitu banyak fakta dan dalil yang disusun secara serampangan. Selain itu, berdasarkan pada surat tuntutan yang dibacakan oleh JPU, koalisi menilai bahwa tuntutan ini jauh dari objektif, sebab didasarkan pada ketidaksukaan dan bukan pada pertimbangan hukum yang relevan. Menurut koalisi, jaksa terus memaksakan narasi yang berbasiskan asumsi semata. “Bahkan ahli yang dihadirkan dari JPU maupun dari Penasihat Hukum semua menguatkan bahwa tidak ada pelanggaran UU ITE dalam perkara ini. Selain itu, terdapat banyak kejanggalan dalam proses persidangan Daniel, salah satunya persidangan yang dibuat maraton oleh majelis hakim” ungkap Gita Paulina, penasihat hukum Daniel.
JPU tidak bisa membuktikan adanya unsur mengajak, mempengaruhi, menggerakkan, maupun mengadu domba yang dilakukan Daniel. Padahal, unsur-unsur tersebut harus terpenuhi berdasarkan SKB Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Koalisi menilai, JPU secara nyata telah mengabaikan pedoman ini. “Yang dilakukan Daniel itu bukan upaya untuk menghasut ataupun bukan upaya untuk mengujarkan kebencian untuk membuat seseorang atau sebagian kelompok jadi celaka, tapi itu adalah bagian dari ekspresi yang sah yang seharusnya dilindungi,” pungkas Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum.
Adapun konstruksi analisis yang dibangun sangat keliru, karena didasarkan pada fakta-fakta yang salah, subjektif, sangat tendensius dan menggiring pada isu SARA sehingga mengesampingkan masalah utama yang terjadi di masyarakat Karimunjawa, yakni kerusakan lingkungan hidup akibat tambak udang. Dengan tegas, Yarhan Ambon, warga Karimunjawa yang juga bagian dari Lingkar Juang Karimunjawa menyatakan “Kami melihat JPU seolah membelokkan ini ke arah SARA, meninggalkan substansinya terkait masalah tambak udang ilegal. Padahal warga yang terdampak nyata adanya, nelayan harus semakin dalam bila ingin mencari ikan karena pencemaran akibat tambak udang.”
Koalisi menilai bahwa tuntutan jaksa merupakan bagian dari malicious prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan pada hasil pembuktian hingga pengabaian terhadap fakta-fakta yang muncul di dalam persidangan. Bahkan, koalisi menilai tuntutan jaksa hanya akan melanggengkan praktik bisnis yang merusak lingkungan dan tidak berperspektif hak asasi manusia. “Kriminalisasi dan penuntutan yang terjadi pada Daniel semakin menunjukkan bahwa perlindungan terhadap pembela HAM, dalam kasus ini pejuang lingkungan, masih sangat minim. Padahal, pembela HAM selalu berada pada garis depan atas represi dan penganiayaan terhadap aktivitasnya dalam memperjuangkan hak.” ujar Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andi Rezaldy.
“Kami mencatat terdapat 25 kasus kriminalisasi yang dialami oleh pembela HAM. Artinya, ada peran dari aparat penegak hukum yang membatasi ruang gerak pembela HAM untuk melakukan advokasi lingkungan dan advokasi HAM, kami nilai ini adalah persoalan yang serius, salah satunya dialami Daniel yang memberikan kritik terkait keadaan atau kondisi di Taman Nasional Karimunjawa,” tambah Andi Rezaldy dari KontraS.
Menurut koalisi, proses hukum terhadap Daniel merupakan bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP). Jaksa dilihat gagal memahami bahwa upaya perjuangan terhadap lingkungan hidup tidak hanya di ranah litigasi, melainkan bisa dalam bentuk-bentuk lain seperti, penyampaian pendapat di muka umum, mimbar bebas dan bentuk lainnya. Hal tersebut bahkan secara tegas diatur dalam PERMA No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup dan Pedoman Kejaksaan No. 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Apa yang dilakukan Daniel adalah salah satu cara sederhana memperjuangkan Karimunjawa–sebuah benteng di utara Jawa yang penting untuk keselamatan konservasi laut, pesisir, maupun masyarakat yang tinggal di sana. Persidangan dan tuntutan terhadap Daniel adalah proses yang sangat strategis untuk mematahkan perjuangan lingkungan hidup di masa-masa yang akan datang, padahal dampak kerusakan lingkungan hidup di Indonesia makin parah,” terang Didit Wicaksono, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Tuntutan yang dihadapi Daniel Frits dinilai berlebihan karena hanya membatasi ekspresi damai, serta bertentangan dengan standar-standar HAM internasional. Misalnya, Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang Indonesia ratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 menyebutkan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak setiap orang untuk beropini dan berpendapat secara damai. Kewajiban ini meliputi perlindungan terhadap ekspresi yang dianggap paling menyinggung sekalipun. Pasal 20 ICCPR melarang setiap orang melakukan hasutan kebencian.
Namun, pembatasan atas sebuah hasutan kebencian wajib diuji secara ketat dengan mempertimbangkan konteks, penutur, tujuan, isi dan bentuk, dan cakupan ekspresi, serta seberapa dekat dan mungkin kekerasan terjadi. “Semangat pasal 28 ayat 2 ini adalah untuk melindungi kelompok minoritas dari upaya hasutan kebencian dan juga upaya dorongan untuk melukai kelompok tertentu, dan bukan untuk digunakan pada kasus-kasus seperti yang dialami Daniel atau teman-teman di Karimunjawa,” cetus Nenden Sekar Arum dari SAFEnet.
Konferensi pers ditutup dengan pernyataan koalisi yang menyayangkan proses penyelidikan, penyidikan, hingga persidangan karena tidak mencerminkan penegakkan standar-standar HAM, baik secara nasional maupun internasional. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia juga sebenarnya memberikan panduan bagi sistem peradilan untuk tidak mengkriminalisasi pejuang lingkungan, tapi nyatanya pejuang lingkungan terus menjadi korban UU ITE seperti Daniel. Ini menunjukkan bahwa UU ITE tidak hanya berbahaya bagi kebebasan berekspresi, namun juga menjadi “alat memperluas” kerusakan ekologis–sebab trennya makin kerap digunakan untuk membungkam pejuang lingkungan.
Jakarta, 21 Maret 2024
Tim Penasehat Hukum Daniel (atau Koalisi Advokat Pejuang Aktivis Lingkungan Hidup)
1. Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI),
2. Public Interest Lawyer Network (PIL-Net),
3. Koalisi Kawal Lingkungan Hidup Indonesia Lestari (Kawali)
4. Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
Koalisi Nasional Save Karimunjawa
1. Lingkar Juang Karimunjawa
2. Jepara Poster Syndicate
3. Balong Wani
4. Walhi Jateng
5. SAFEnet
6. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
7. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
8. Amnesty International Indonesia
9. Greenpeace Indonesia
10. Aksi Kamisan Semarang
Narahubung:
Hafizh Nabiyyin, SAFEnet (08119223375)
Vebrina Monicha, KontraS (0895348175043)
Tayangan Ulang Dapat Disaksikan di sini
Dokumentasi dapat dilihat di sini