Pada 30 April 2021, lebih dari 30 kelompok masyarakat sipil hadir dalam tiga sesi dialog ”Digital Discourses: Menyatukan Masyarakat Sipil di Tengah Pandemi”. Sesi dialog daring ini diinisiasi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) bersama Goethe-Institut Indonesien sebagai ruang berbagi pengalaman di kalangan masyarakat sipil lintas batas. Dialog ini diisi perwakilan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Kementerian-kementerian, Kepolisian, kalangan akademisi, serta ahli-ahli dari Jerman untuk bersama dengan kelompok masyarakat sipil Indonesia berbagi pengalaman dan pandangan atas masalah-masalah di ranah digital yang marak terjadi di tengah pandemi COVID-19 dan mengusulkan solusi.
Dalam pembukaan kegiatan, Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto mengatakan “Saya ingin menyampaikan satu ajakan pada organisasi masyarakat sipil di Indonesia, kini saatnya kita bersatu! Selagi kita sehat, masih kuat, ayo berkolaborasi mengatasi masalah yang ada. Solidaritas adalah anti virus dan konsolidasi itu obat dari kurang sehatnya demokrasi!“
Dialog pertama membicarakan mengenai perlindungan perempuan dan anak dari masalah kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang marak terjadi. Dalam dialog, terungkap sejumlah fakta bahwa di masa pandemi dan maraknya kerja dan belajar online, ternyata semakin memperbesar peluang terjadinya KBGO.
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani memaparkan,“Pengaduan langsung ke Komnas Perempuan meningkat tiga kali lipat. Mayoritas pelaku adalah orang dikenal, terutama mantan pasangan. Selain itu ancaman dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual adalah terbanyak dilaporkan.” Peningkatan pengaduan ini dikonfirmasi oleh pemantik dialog lain seperti Valentina Gintings dari KemenPPA, Mariam Barata dari Kemkominfo, Langgeng Utomo dari Dittipidsiber POLRI, dan Risya Kori dari UNFPA. Masing-masing pemantik juga menyampaikan tantangan yang dijumpai untuk menghadapi peningkatan KBGO selama pandemi.
Dalam dialog, berkembang diskusi bagaimana internet dan media sosial adalah senjata bermata dua, karena media sosial menjadi platform baru untuk berkenalan dan melihat peluang baru. Namun, media sosial juga bisa digunakan untuk melakukan bujuk rayu terhadap perempuan dan anak. Karenanya disepakati untuk melakukan upaya bersama-sama agar bisa mengatasi tantangan yang ada.
Penyusutan ruang sipil akibat pandemi
Pada dialog kedua, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam menyampaikan bagaimana pandemi berimbas pada pelaksanaan Hak Asasi Manusia. Ia mengucapkan, pandemi COVID-19 ini menyeret kita semua pada satu spektrum “keadaan darurat”. “Fase pertama pandemi ini mau diseret sebagai kondisi darurat yang semacam atau mendekati seperti darurat militer… Paradigma di fase awal meletakkan keselamatan publik dalam spektrum yang tidak tepat. Hak atas kesehatan sudah kita jaga bersama-sama tetapi hak public safety diterjemahkan menjadi keamanan publik, jadi semua diterjemahkan dalam jargon “keamanan”, sehingga turunan-turunan kebijakan yang ada, yang seharusnya memberikan perlindungan, tetapi yang terasa justru memberi ancaman pada masyarakat,” tambahnya.
Dalam kesempatan ini, Niklas Rakowski dari Weizenbaum Institut menyebutkan tantangan terhadap demokrasi tidak hanya dalam bentuk kebijakan yang membatasi, tetapi bisa datang juga dari platform digital. Ia mengatakan, “Platform-platform digital yang digunakan untuk berinteraksi sosial juga punya kekuasaan untuk menentukan siapa yang menggunakannya, apa yang dilakukan, dan bagaimana menyampaikannya di platform tersebut.” Menurutnya, platform yang merupakan perantara tidaklah bersifat netral. Namun, hal tersebut tidak selalu buruk. Bersama beberapa kawannya, ia menciptakan platform dan menggunakan kekuasaan platform untuk menciptakan ruang aman bagi penggunanya untuk mendiskusikan isu politik dengan pengguna lain yang memiliki opini yang bertentangan.
Dalam sesi dialog ini, para pemantik dialog dan masyarakat sipil mendiskusikan situasi demokrasi di Indonesia yang mengalami berbagai tantangan selama pandemi dan juga adanya pembungkaman terhadap berbagai kelompok masyarakat serta aktivis yang menyuarakan hak mereka. Namun, masyarakat sipil di Indonesia selama ini dinilai mampu menghasilkan terobosan dan upaya mengatasi masalah demokrasi yang ada. Maka perlu ditingkatkan pelatihan digital security dan mitigasi keamanan untuk mengatasi serangan digital atau meneruskan upaya memerangi disinformasi seperti yang selama ini sudah dilakukan masyarakat sipil.
Pengaturan dan edukasi
Pada dialog ketiga tentang pengaturan lebih baik soal ujaran kebencian, Peneliti Senior Imparsial Al Araf mengatakan “Hate speech dalam perspektif HAM, isu ini selalu jadi pedang bermata dua. Pada satu titik, dia (pengaturan hate speech) dibutuhkan untuk melindungi kelompok minoritas akibat dari isu kebencian, namun dalam satu sisi juga jadi alat kekuasaan untuk meredam kebebasan berekspesi dalam ruang publik, media sosial dan ruang publik. Ini jadi hal yang berbahaya jika tidak diatur dengan baik.” Al Araf menyarankan agar perlu perubahan paradigma untuk memperbaiki regulasi terkait ujaran kebencian di Indonesia.
Sedang Yovantra Arief dari Remotivi menunjukkan bagaimana banyak pihak, termasuk media dan akademisi masih kerap memakai pengertian yang keliru untuk mengatakan perkara ujaran kebencian. “Bahkan akademisi lebih banyak mengutip pengertian ujaran kebencian dari Surat Edaran Kapolri tahun 2015, alih-alih memakai definisi keilmuan yang lebih tepat,“ katanya.
Dalam dialog, berkembang usulan agar ada upaya edukasi kepada jurnalis media dan publik tentang makna sesungguhnya dari ujaran kebencian untuk menghentikan kesimpangsiuran pengertian yang telah kerap terjadi.