Norma ujaran kebencian yang termuat dalam ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE kerap digunakan secara serampangan untuk membungkam ekspresi orang-orang yang berbeda pandangan dan mengkritik kebijakan publik.
Seperti pada putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (19/11/2020) lalu terhadap I Gede Ari Astina atau kerap dipanggil Jerinx. Drummer Superman Is Dead ini divonis 1 tahun dua bulan dan denda Rp10 juta dalam kasus ujaran ‘IDI kacung WHO’. Majelis Hakim menyatakan Jerinx terbukti bersalah menyebar informasi yang ditujukan untuk menunjukkan rasa kebencian terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan.
Penggunaan Pasal 28 ayat (2) UU ITE bukan hanya sekali ini terjadi. Coba lihat dalam kasus penangkapan dan kriminalisasi Robertus Robet, pengajar Universitas Negeri Jakarta tahun 2019 lalu. Robet dituduh telah melakukan tindak pidana ujaran kebencian di media sosial lewat orasinya dalam Aksi Kamisan yang mengkritik upaya dwifungsi Tentara Nasional Indonesia. Dalam proses penyidikan, polisi menggunakan ketentuan Pasal 28 ayat 2 UU ITE untuk kasus ini.
Contoh lain adalah Pemimpin Redaksi Banjarhits.id Diananta Putera Sumedi yang divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotabaru Kalimantan Selatan hukuman penjara tiga bulan 15 hari setelah menulis kasus konflik lahan. Jurnalis lain bernama Mohamad Sadli Saleh diputus 2 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pasarwajo, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, setelah menulis berita mengkritik kebijakan Bupati Buton Tengah, Samahudin, dalam proyek pembangunan jalan simpang lima.
Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berbunyi, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.
Dari pengaduan dan monitoring SAFEnet atas pemberitaan media dalam kurun waktu Januari sampai Oktober 2020, setidaknya telah terjadi 59 kasus pemidanaan terhadap warganet. Dari jumlah tersebut, sebanyak 14 orang (31 persen) yang dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 UU ITE. SAFEnet mengkhawatirkan tidak semua dari kasus ini tepat dalam menafsirkan tindakan ujaran kebencian seperti yang terjadi pada kasus Jerinx.
PBB dalam United Nations Strategy and Plan of Action on Hate Speech mendefinisikan siar atau ujaran kebencian sebagai “segala jenis komunikasi dalam bentuk lisan, tulisan atau tingkah laku (behaviour), yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan (pejorative) atau diskriminatif yang menyerang yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan siapa mereka, dengan kata lain, berdasarkan pada agama, etnisitas, kebangsaan (nationality), ras, warna kulit, asal keturunan, gender atau faktor identitas mereka lainnya.” Siar kebencian ini seringkali berakar, dan mendorong intoleransi dan kebencian dan, dalam konteks tertentu, dapat menjadi merendahkan (demeaning) dan memecah belah (divisive).
Frasa “antargolongan” di dalam pasal 28 ayat 2 mengandung makna yang abstrak dan tidak jelas. Akibatnya, telah ditafsirkan secara keliru seperti kasus Jerinx di mana Majelis hakim menganggap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali sebagai golongan atau pada kasus Robet yang memposisikan TNI sebagai identitas golongan. Padahal IDI bukanlah golongan, melainkan kelompok profesi dokter sedangkan TNI adalah institusi pemerintah. Menafsirkan IDI sebagai golongan masyarakat jelas tidak tepat dan membuat putusan majelis hakim dalam kasus Jerinx tidak dapat diterima. Dalam kasus-kasus yang dihimpun SAFEnet, frasa “antar golongan” dipakai untuk mengkategorikan pejabat publik, organisasi, tentara, pemerintah, bahkan kepolisian sendiri.
Tampak nyata dalam praktik dan perkembangan hukum di Indonesia, UU ITE menggunakan unsur ‘SARA’ yang diterjemahkan dengan muatan yang lebih luas lingkupnya dibandingkan UU Diskriminasi dan KUHP. Padahal dalam pasal 156 KUHP, golongan yang dimaksud dijelaskan dalam bunyi “Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.”
Secara historis, istilah “golongan” sebenarnya sudah dipakai dalam sistem hukum dan kedudukan ketatanegaraan Indonesia pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Hal ini dapat dirujuk pada ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang merupakan peraturan ketatanegaraan pada era kolonial. Pasal tersebut mengatur pembagian tiga golongan di hadapan hukum: golongan Eropa, pribumi, dan Timur Asing (Djojonegoro: 1980).
Golongan Eropa mencakup warga Belanda, Eropa non-Belanda, Jepang, dan warga keturunan Eropa. Golongan pribumi mencakup orang Indonesia asli atau keturunannya yang melebur menjadi warga Indonesia asli. Adapun golongan Timur Asing mencakup orang Tionghoa dan non-Tionghoa, seperti India dan Arab.
Pembagian golongan ini dimaksudkan untuk menentukan sistem hukum apa yang berlaku bagi masing-masing golongan. Untuk golongan Eropa diberlakukan sistem hukum perdata dan pidana Barat. Untuk golongan pribumi diberlakukan sistem hukum adat secara tidak mutlak dan pidana Barat. Sementara itu, untuk golongan Timur Asing dapat diberlakukan sistem hukum perdata dan pidana adatnya sendiri.
Meski ada pembagian golongan, sistem hukum kolonial pada saat itu tetap memungkinkan adanya unifikasi golongan dan sistem hukum dengan cara “penundukan diri”, baik secara keseluruhan, sebagian, secara diam-diam, maupun dalam kondisi tertentu. Pembagian golongan ini secara logis didasari kebutuhan, kondisi hukum, dan situasi masing-masing golongan pada saat itu. Jadi, mesti ada situasi hukum khusus yang mengkondisikan keberadaan “golongan” itu menjadi ada.
Golongan berdasarkan kedudukan tata negara hari ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang membagi golongan warga menjadi dua: warga negara Indonesia dan warga negara asing. Konsekuensinya, kedua golongan tersebut memiliki hak dan kewajiban hukum yang berbeda di hadapan hukum.
Dalam kasus Jerinx, pernyataan “IDI kacung WHO” tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan siar kebencian sebagaimana definisi yang telah dijelaskan di atas. Pendapat Jerinx itu tidak lebih adalah pernyataan pribadi yang mempercayai adanya teori konspirasi WHO dalam penanganan pandemi COVID-19. Sekalipun memiliki pandangan tersebut bukanlah tindak pidana, namun bukan berarti bahwa pandangan ini tidak memiliki kemungkinan dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri maupun kelompok masyarakat yang memercayainya. SAFEnet dalam posisi ini tidak menyetujui pandangan pribadi Jerinx, namun tetap menghormati pendapatnya sebagai ekspresi yang sah dan bukan tindak pidana siar kebencian.
Harap diingat dalam praktik, tuduhan “siar kebencian” seringkali digunakan untuk menyerang lawan politik, orang-orang yang tidak berkepercayaan (non-believers), orang-orang yang berbeda pandangan (dissenters) dan kritik. Jangan sampai praktik semacam ini dilanggenggkan terus menerus dalam sistem hukum di Indonesia.
Oleh karena itu, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sebagai organisasi regional yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara dan Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) mengeluarkan pernyataan bersama sebagai berikut:
- Praktik pelintiran frasa “antargolongan” harus dihentikan dan segera dikembalikan pada makna yang ketat agar tidak terus-menerus diperluas sekena hati.
- Mendorong pemidanaan terhadap ujaran kebencian untuk melindungi warga tidak berarti menjadi pembenaran (justifikasi) untuk memidanakan mereka yang sekedar mempercayai adanya konspirasi, berbeda pandangan, dan dalam banyak kasus justru sedang mengkritik kinerja penanganan/layanan publik.
- Aparat penegak hukum untuk tegas namun lebih berhati-hati dalam menangani kasus-kasus ujaran kebencian dengan memertimbangkan pengakuan hak asasi yang telah diatur dalam konstitusi.
Denpasar, 20 November 2020