Pada masa pandemi COVID-19, informasi akurat berperan penting untuk menjadikan masyarakat lebih waspada terhadap penyebaran virus Korona. Kerja-kerja jurnalistik yang cekatan dan akurat akan melawan balik disinformasi dan upaya menutup-nutupi kondisi sebenarnya di lapangan. Upaya jurnalis untuk melakukan pengecekan suatu informasi atau pernyataan pejabat publik, mewawancarai narasumber yang kredibel, membantu masyarakat untuk mendapat kebenaran dari situasi sulit yang sedang dialami bangsa ini. Tak jarang jurnalis menggunakan media sosial untuk menyampaikan keresahan dan juga kritik.
“Tak beda dengan karya jurnalistik yang ditulis jurnalis, kritik individu jurnalis ini tetap penting untuk dilindungi sebagaimana diatur dalam konstitusi Indonesia. Apalagi bila kritik itu didasarkan pada fakta dan diperlukan untuk memperbaiki kondisi penanganan COVID-19,” ujar Damar Juniarto, direktur eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Maka sungguh disesalkan ketika akun Kementerian Kesehatan (Kemenkes) @kemenkesri pada Selasa, 4 Agustus 2020 sekitar pukul 19.00 WIB, mengunggah surat peringatan kepada jurnalis Narasi TV, Aqwam Fiazmi Hanifan, pemilik akun twitter @aqfiazfan terkait twit yang disampaikan di akun media sosial miliknya.
Surat peringatan itu berisi peringatan dari Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati karena Aqwam me-retweet unggahan media Al Jazeera, @AJEnglish disertai komentar yang dinilai Kemnkes menghina Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
Dalam surat peringatan tersebut, Aqwam disebut memberi komentar atas informasi dari Al Jazeera soal kemampuan seekor anjing di Jerman yang mampu mendeteksi orang yang terinfeksi Covid-19 dengan tingkat akurasi mencapai 94 persen. Aqwam pada komentarnya menulis “Anjing ini lebih berguna ketimbang Menteri Kesehatan kita”.
“Kami menilai unggahan tersebut memuat unsur penghinaan dan atau pencemaran nama baik Menteri Kesehatan dan Kementerian Kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” bunyi surat tertanggal 3 Agustus 2020 itu.
Kemenkes lantas meminta agar Aqwam menghapus unggahannya dan kemudian menyampaikan permintaan maaf secara tertulis kepada Menteri Kesehatan dan Kementerian Kesehatan dalam surat tersebut. Permintaan maaf itu juga harus ditulis dan ditanda tangani di atas materai serta diunggah di akun Twitter milik Aqwam sekaligus dikirimkan ke Kementerian Kesehatan.
“Kami tunggu dalam waktu 2×24 jam terhitung Selasa 4 Agustus 2020. Apabila sampai tenggat waktu yang diberikan tidak ada itikad baik dari saudara maka kami akan langsung menempuh jalur hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku,” bunyi surat peringatan tersebut.
Satu jam, sekitar pukul 20.48 WIB, akun tersebut juga mengirim pesan langsung lewat Direct Message kepada Aqwam. Lalu kemudian Kemenkes menghapus postingan di publik.
SAFEnet menilai surat peringatan Kemenkes ini adalah bentuk intimidasi langsung kepada jurnalis, dengan dalih melakukan pencemaran nama dan akan melakukan penuntutan hukum, namun yang mengkhawatirkan adalah alasan ini sebenarnya digunakan untuk membungkam kritik. Lagipula sejak direvisi pada tahun 2016, pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus dikaitkan dengan pasal 310 KUHP. Pasal ini tidak berlaku untuk institusi, hanya dapat digunakan oleh individu biasa.
Sekalipun demikian, mengingat bahwa yang dikomentari Aqwam adalah Menteri Kesehatan, bukan Terawan sebagai individu apalagi Kementerian sebagai institusi, yang merupakan jabatan publik. Pejabat publik dapat dikomentari, dikritik, agar kinerjanya memenuhi harapan rakyat, karena digaji pakai pajak yang dikumpulkan dari rakyat.
“Rencana pelaporan ini membuat situasi kebebasan pers di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Kasus ini menambah daftar kasus jurnalis dan media yang dilaporkan dengan menggunakan UU ITE. Intimidasi semacam ini telah menjadi tren yang kini dihadapi oleh media dan jurnalis di Indonesia,” tambah Damar.
Dalam catatan SAFEnet, sejak 2008 setidaknya 28 jurnalis dan media di Indonesia dituntut dengan pemidanaan UU ITE, baik dengan alasan pencemaran nama hingga dijerat ujaran kebencian. Tentu bukan ini saja yang dihadapi jurnalis. Belakangan di ranah digital, jurnalis juga kerap mendapat serangan trolling daring, juga doxing, dengan maksud untuk menstigma, mempermalukan, menakut-nakuti, dan mengancam jurnalis. Praktik menghalangi kerja pers dengan cara intimidasi jurnalis melanggar UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang memberi jaminan atas kebebasan pers di Indonesia. Selain itu kriminalisasi tersebut mengancam hak kebebasan berekspresi.
Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi regional yang melindungi hak digital di kawasan Asia Tenggara, mendesak kepada Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk:
1. Membatalkan rencana pemidanaan kepada Aqwam Fiazmi Hanifan dengan jerat UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Cuitan yang disampaikan Aqwam harus dilihat sebagai bentuk kritik terhadap performa Menteri Kesehatan dalam menangani pandemi Covid-19. Penyampaian kritik menjadi bagian hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin oleh Konstitusi dan karenanya harus dilindungi demi menjamin terjaganya demokrasi di Indonesia.
2. Lebih berfokus pada upaya penanganan pandemi Covid-19 dengan lebih banyak mendengarkan masukan dan kritik dari publik, termasuk di dalamnya adalah jurnalis. Pemidanaan terhadap kritik penanganan pandemi Covid-19 justru menunjukkan Kementerian Kesehatan tidak memiliki itikad baik untuk membuka ruang keterlibatan bagi publik.
Denpasar, 5 Agustus 2020
Southeast Asia Freedom of Expression Network
Untuk informasi, hubungi 08119223375 atau email: [email protected]