Dua saksi ahli yang dihadirkan oleh Tim Pembela Kebebasan Pers menyatakan tindakan Pemutusan Akses Internet di Papua dan Papua Barat oleh pemerintah melanggar Hak Asasi Manusia dan Hukum Administrasi pada persidangan Gugatan Internet Shutdown di PTUN Jakarta, Rabu (11/2020). Kedua saksi ahli tersebut adalah Herlambang P. Wiratraman, akademisi dari UNAIR dan Oce Madril, akademisi dari UGM.
Herlambang satu dari sekian Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga yang memiliki perhatian besar terhadap isu HAM dan kebebasan pers. Salah satunya tercermin dari desertasi yang ditulisnya, berjudul Press Freedom, Law and Politics in Indonesia: A Socio Legal Study (2014). Di muka persidangan, dia dengan lugas mengupas kekeliruan tindakan pemerintah dari sudut pandangan Hak Asasi Manusia, baik dalam konteks hukum nasional maupun internasional.
Sementara Oce merupakan dosen pengajar di Departemen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitad Gajah Mada. Dengan keahlian yang dimilikinya, Oce mengulas kewenangan pemerintah untuk melakukan pembatasan akses internet dari sudut pandang Hukum Administrasi Negara.
Majelis hakim memeriksa keterangan kedua saksi secara terpisah. Mula-mula Herlambang yang menjabarkan perlindungan hak asasi manusia dikaitkan pemutusan akses internet di Papua. Khususnya kebebasan berekspresi, berpendapat, termasuk di dalamnya kebebasan atas informasi atau pers. Perlindungan hak tersebut bermuara pada sistem hukum internasional maupun sistem hukum nasional .
Dalam sistem hukum internasional, ada ICCPR yang telah diratifikasi melalui UU 12/2005. Sedangkan dalam hukum nasional juga diatur dalam konstitusi dan peraturan turunannya.
Lalu pada 2011, digital technology telah menjadi perhatian PBB sebagai bagian tak terpisahkan dalam kehidupan atau peradaban manusia moderen. Pada titik itu, PBB memperhatikan internet sebagai salah satu digital technology yang menjadi hak asasi manusia. Kemudian menegaskan bahwa internet rights is human rights artinya internet atau digital rights merupakan hak asasi manusia yang tidak terpisahkan.
Lebih khusus, terkait pemutusan akses di Papua dan Papua Barat, berdampak pada terhambatnya pemenuhan jaminan hak berekspresi dan berinternet. Herlambang mengutarakan jaminan itu sudah diatur setidaknya pada empat pasal dalam Konstitusi (Pasal 28, Pasal 28 c ayat 2, 28 e 3, dan 28 f). Juga diatur dalam sejumlah pasal di UU HAM dan Pasal 4 UU Pers. Kemudian kerja Pers pun dilingdungi UU (UU Pers) dan tentu muatannya tidak bermuatan melanggar hukum. Sehingga pembatasannya masuk kategori pelanggaran HAM.
Kehadiran pers juga menjawab persoalan penyebaran hoaks yang menjadi alasan pemutusan akses. Pers menjadi sangat penting memberi alternatif informasi dan membantu pemerintah sekaitan fungsi penyebar informasi kepada publik.
Bahkan kasus semacam ini menjadi perhatian serius PBB. Khususnya melihat praktik yang sama di India dan Myanmar. “Myanmar bisa kita jadikan salah satu contoh ketika kondisi konflik, pers dibungkam. Ketika kita tidak ingin kembali ke masa lalu ketika ada model otoriterianisme model baru yang saya sebut digital otoriterianism. Yakni model pemerintahan yang anti demokrasi, tidak mau diawasi, tidak menghendaki pengawasan publik, tidak akan memberi jalan mudah bagi wartawan untuk memberikan pemberitaannya secara baik,” kata Herlambang.
Sehingga pembatasan terhadap hak asasi manusia harus dikaitkan Pasal 19 ayat 3 (ICCPR). Dimana pembatasan dapat dimungkinkan (Permissible Limitations) sejauh memenuhi standar hukum internasional, seperti secara Prescribed by Law ;Legitimated Aim ; dan Necessary .
Prescribed by Law berkaitan dengan penerapan hukum apakah tepat atau keliru. Untuk itu diperlukan standar pembatasan yang diatur dalam doktrin The Siracusa Principlesd. Legitimated Aim berkaitan dengan pembatasan yang harus memenuhi salah satu tujuan yang ditentukan yang tercantum dalam teks instrumen hukum hak asasi manusia (legitimate aim). Secara khusus merujuk pada pasal 19 ayat (3) ICCPR. Dan Necessary berkaitan dengan prinsip kebutuhan dan proporsionaliti.
“Indonesia terikat pada ketentuan hukum internasional yang sudah diratifikasi. Namun ketika hendak menerjemahkan tafsiran pasal-pasal yang telah diratifikasi maka, PBB telah memberikan pedoman, atau dokrin agar negara tidak sewenang-wenang,” jelas dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu.
Kata Herlambang, warga negara dirugikan dengan adangan pembatasan, seperti pengaturan throttling, internet shutdown semestinya bisa menggunakan mekanisme yang diatur dalam sistem hukum internasional. Dijabarkan dalam Prescribed by Law, pembatasan harus dinyatakan dalam sebuah keputusan atau peraturan tertentu agar dapat dipertanggungjawabkan. Dan bahkan bisa dikontrol oleh parlemen, peradilan, maupun badan khusus yang ditunjuk pemerintah.
Lebih lanjut, dalam sudut pandang HAM, pemerintah dalam melakukan pembatasan harus menyiapkan informasi ke publik yang accessible. Standarnya berupa keputusan atau aturan, ada batasan, dan dapat dipertanggungjawabkan, terukur dampaknya, dan penyiapan mitigasi dampak. Terpenting, keputusan atau aturan pembatasan hanya dapat dilakukan jika diatur dalam UU.
“Pemerintah diberi kewenangan, sehingga publik harus bisa meminta pertanggungjawaban, dan tindakan yang dapat dimintai pertanggungjawaban adalah keputusan yang bisa dipertanyakan secara hukum. Sementara siaran pers bisa dibuat siapa saja, sehingga itu bukan pertanggungjawaban hukum,” sambung Herlambang.
Sementara terkait dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam melakukan pemutusan akses pada Pasal 40 UU ITE, Herlambang juga memberi kritik. Sebab dalam perspektif HAM, pembatasan hanya untuk konten bermuatan melanggar, bukan bloking internet. Selain itu, menafsirkan Pasal 40 ayat 2a dan b , harus dilakukan sistematis dan berkaitan. Keduanya mengacu pada filtering content, sehingga tidak termasuk memutus jaringan.
Jika alasan kemananan nasional (national security) diguanakan untuk melakukan pembatasan HAM, syaratnya lebih panjang dan ketat, berdasarkan Pasal 4 ayat 3 dan 19 ayat 3 ICCPR. Pertama pemerintah harus menotifikasi ke PBB, lalu menetapkan situasi emergensi karena mengancam nasional.
Sementara Oce Madril, menerangkan gugatan Tim Pembela Kebebasan Pers yang turut menggugat Presiden RI atas tindakan Kemkominfo RI sudah tepat. Dia mengacu pada konstruksi yang dibangun dalam UU ITE yang mendasari throtting dan internet shutdown. Didalamnya, makna pemerintah juga termasuk presiden dan menteri dalam relasi mandat.
Begitu juga dalam logika UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Katanya, seorang atasan pejabat yang melakukan putusan atau tindakan juga diberikan beban untuk melakukan tindakan tertentu atau keputusan berupa koreksi atau pengukuhan. Seperti adanya upaya administratif melalui atasan dalam bentuk banding administratif. Jadi kata Oce, jika atasan tidak melakukan sesuatu tindakan atau putusan telah masuk dalam lingkup telah melakukan tindakan.
Ditambah lagi dalam Perma no 2/2019, mengharuskan adanya upaya keberatan hingga banding administratif terhadap PMH oleh pemerintah sebelum melakukan gugatan di PTUN. Upaya tersebut dilakukan dengan harapan cukup diselesaikan secara administratif. “Kalau saya melihat, Perma ini mengharapkan penyelesaian secara administrasi di pemerintahan. Sehingga ada logika bertingkat, dilakukan dulu keberatan ke pejabat bersangkutan, kemudian pada atasan. Namun jika fungsi ini tidak bekerja maka tentu pengadilan yang akan megambil alih. Nah pada tahap pengadilan, setelah upaya administratif tidak bisa maka logikanya baik pejabat bersangkutan maupun atasannya bisa digugat di pengadilan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Oce juga menilai pemerintah keliru menggunakan Pasal 40 UU ITE untuk melakukan pemutusan akses internet. Katanya, Pasal 40 ayat 2a dan b merupakan satu kesatuan yang harus ditafsirkan secara terkait. Dilihat dari konstruksi pasalnya, kewenangan yang dimiliki pemerintah hanya sebatas akses terhadap dokumen atau informasi elektronik, bukan jaringan internet secara keseluruhan. Bahkan pada huruf b, ditegasakan jenis dokumen dan informasi elektronik yang dapat diputus hanya terbatas konten bermuatan melanggar hukum. Sehingga implikasi tindakan pemerintah juga berdampak pada informasi atau dokumen bermuatan positif seperti berita yang diprosuksi pers.
“Boleh membatasi. Namun sebatas dokumen dan informasi elektronik. Dokumen dan informasi itu pun juga dibatasi hanya yang bermuatan melanggar hukum. Ada potensi penyalahgunaan kewenangan oleh pemerintah ketika kewenangan ini digunakan di luar apa yang dikehendaki oleh UU,” tegas Oce.
Tim Pembela Kebebasan Pers