Muhammad Hisbun Payu alias ISS terkejut saat pintu kamar mandi kamar kos yang ditempatinya didobrak oleh polisi berpakaian preman. Kejadian ini terjadi pada 13 Maret 2020 sekitar pukul 14.05 WIB Polisi segera menyuruh ISS segera menuntaskan urusan di kamar mandi, memakai baju dan kemudian dibawa dari daerah Pajang Laweyan, Kota Surakarta langsung ke kantor Mapolda Jawa Tengah di Semarang.
ISS ditangkap karena diduga melanggar Pasal 45 A Ayat (2) Jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penangkapan ISS didasarkan pada surat penangkapan yang berawal dari laporan polisi bernomor LP/B/14/I/2020/Jateng/Res SKH tanggal 20 Januari 2020 berdasarkan aduan yang dibuat oleh Ahmad Zulkarnain.
Penangkapan dan penetapan ISS sebagai tersangka cukup janggal. Sebelum ditangkap oleh penyidik Polda Jateng, ISS tidak pernah didengar keterangannya sebagai saksi terlebih dahulu dan bahkan penetapannya sebagai tersangka juga dilakukan setelah ISS dilaporkan ke polisi lewat terbitnya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyelidikan (SPDP) di tanggal yang sama.
“Berdasar apa yang disampaikan oleh ISS dan juga keterangan dari rekan-rekan terdekatnya, tidak pernah ada surat pemanggilan yang dikirimkan kepada ISS. Padahal dalam melakukan penangkapan tersangka, kepolisian terikat pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Untuk bisa melakukan penangkapan, harus terpenuhi dulu bukti permulaan yang cukup. Dalam hal ini, “bukti permulaan yang cukup” adalah terpenuhinya minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa.
Tidak pernah didengarnya keterangan ISS sebelumnya lewat surat pemanggilan polisi menebalkan kecurigaan kami kalau proses penetapan tersangka oleh pihak kepolisian ini tidak mengikuti persyaratan yang diwajibkan dan mengabaikan hak asasi ISS,” ujar Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet.
Pasal 17 KUHAP ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Merujuk pada Pasal 17 beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Namun kemudian, dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Selain itu, hal lain yang mendapat sorotan dari SAFEnet adalah postingan yang dibuat oleh ISS lewat insta story _belummati. ISS adalah salah satu aktivis yang menolak RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Ia menyoroti posisi buruh dan petani serta masyarakat adat yang semakin lemah apabila RUU Omnibus Law ini disahkan. Perlu diketahui bahwa ISS adalah salah satu mahasiswa yang tergabung dalam gerakan mahasiswa #TolakOmnibusLaw yang melakukan penolakan lewat aksi protes baik di media sosial maupun lewat aksi protes di jalan. Sikap kritisnya terhadap RUU Omnibus Law itu disampaikannya dengan merespon postingan Presiden Jokowi sebagai orang yang mendorong segera disahkannya RUU Omnibus Law yang menurut ISS lebih mengutamakan kepentingan (investasi) pengusaha daripada kepentingan buruh, petani dan masyarakat adat. Oleh karenanya, ia merespon postingan Presiden Jokowi di twitter @jokowidodo yang berbunyi “Sebaik-baik komitmen investasi adalah yang terealisasi. Penyebab tidak berbuahnya komitmen investasi itu bisa oleh hal-hal seperti urusan pembebasan tanah yang tak kunjung selesai dan sulitnya perizinan. Untuk itu, saya selalu berpesan agar investor dilayani dengan baik.” pada 15 Januari 2020 dengan memuat kekesalannya melalui insta story @_belummati dari akun instagram @_belummati diikuti oleh 1.957 followers dengan memuat tangkap layar postingan orang lain yang berbunyi “Apa dosa rakyat Indonesia punya presiden laknat kayak Jokowi ini”.
SAFEnet sendiri menilai bahwa postingan ISS di media sosial tidak tepat dipidanakan dengan pasal ujaran kebencian. Apa yang ditulis ISS di media sosial adalah bentuk rasa kesal atas pendapat Presiden Joko Widodo yang dinilainya berat sebelah kepada kelompok investor dan tidak memiliki keberpihakan kepada buruh, kelompok yang selama ini didampinginya. Selain itu, pasal ujaran kebencian tidak bisa dipisahkan dengan pasal 156 KUHP sebagai delik material yang seharusnya pertama-tama lebih dulu harus dibuktikan bahwa postingan yang telah dibuat ISS telah menimbulkan dampak nyata, semisal memunculkan konflik.
Postingan Insta Story @_belummati hanya bisa dilihat oleh kurang dari 2.000 followers dan hanya bisa terlihat selama 24 jam. Setelah itu postingan tersebut hilang karena teknologi insta story hanya bertahan sehari saja.
“Sampai saat ini kami tidak menemukan gejolak sosial yang timbul akibat postingan yang dibuat oleh akun @_belummati lewat pemuatan postingan tersebut, sehingga upaya menjerat ISS dengan pasal ujaran kebencian tidak memiliki bukti material yang kuat. Kami justru menyoroti kerapnya penggunaan pasal ujaran kebencian ini dipakai untuk merepresi mereka yang selama ini menentang kebijakan pemerintah pusat, semisal pada kasus-kasus aktivis yang menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah pusat seperti pada RUU KPK tahun lalu. Karenanya kami menganggap pasal ujaran kebencian ini dipaksakan untuk membungkam hak berpendapat yang telah diatur dan dilindungi oleh Konstitusi Indonesia,” lanjut Damar.
Oleh karena itu, SAFEnet sebagai organisasi regional yang memperjuangkan hak-hak digital warga di Asia Tenggara mendesak:
- Polda Jawa Tengah segera menangguhkan penahanan terhadap Muhammad Hisbun Payu dari ruang tahanan.
- Polda Jawa Tengah menghentikan penyelidikan terhadap Muhammad Hisbun Payu yang keliru dalam menerapkan pasal 28 ayat 2 UU ITE.
- Kompolnas untuk segera melakukan sidak ke Mapolda Jawa Tengah dan menindak para penyidik Polda Jawa Tengah yang melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa mengikuti pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
- Komnas HAM untuk mengeluarkan pernyataan terkait adanya pelanggaran HAM dalam kasus ini agar tidak terjadi lagi pemidanaan terhadap aktivis hanya karena menyatakan kekesalannya di media sosial terhadap kebijakan presiden.
Denpasar, 17 Maret 2020