Suasana perayaan kemerdekaan Republik Indonesia ke-74 dirusak oleh tindakan aparat dan ormas yang rasis dan penuh kebencian terhadap 43 mahasiswa asli Papua di Asrama Papua Surabaya. Sejak Jumat (16/8), ada upaya penggalangan massa untuk mengusir dan menangkap mahasiswa Papua dengan tuduhan penodaan bendera merah putih. Sekalipun tuduhan itu tidak terbukti, tetapi tetap saja dilakukan pengepungan oleh sejumlah ormas seperti FPI, PP dan aparat serta Satpol PP. Tak cukup dengan pengepungan, menyebut mereka sebagai monyet dan mengancam akan membantai kalau mereka keluar asrama. Penangkapan juga dilakukan terhadap dua mahasiswa yang mengantarkan makanan kepada mahasiswa yang terperangkap di dalam aula Asrama oleh pihak kepolisian Surabaya. Kemudian, tindakan kekerasan dilakukan aparat dengan melontarkan gas air mata ke dalam asrama sekalipun mereka tidak melakukan tindakan yang melanggar pidana. Seluruh yang ada di dalam asrama Papua, kemudian digelandang keluar dan dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Insiden Surabaya ini memicu reaksi dari masyarakat asli Papua. “Kita sudah 74 tahun merdeka, seharusnya tindakan-tindakan intoleran, rasis dan diskriminatif tidak boleh terjadi di negara Pancasila yang kita junjung bersama,” tulis Gubernur Papua dalam keterangan pers pada Minggu (18/8). Gubernur Papua Lukas Enembe juga menyatakan protes dan meminta perlakukan yang adil dari Indonesia dengan tidak mengucapkan kata yang merendahkan dan tidak pantas kepada masyarakat Papua.
Namun kerusuhan terjadi di Manokwari dan Sorong pada Senin (19/8) mulai pagi hari dan baru reda pada sore hari setelah Gubernur Papua turun tangan. Bukan hanya itu, masyarakat Papua di sejumlah kota dan kabupaten merespon dengan turun ke jalan, seperti Provinsi Papua di Kota Jayapura, Kab. Mimika dan Kab. Jayapura dan di Provinsi Papua Barat di Kab. Manokwari, Kota Sorong dan Kab. Kaimana.
Sedangkan di kota Makassar, terjadi serangan terhadap asrama mahasiswa Papua di tersebut yang terpancing oleh provokasi terjadinya penyerangan terhadap warga Bugis oleh orang Papua yang disebarkan lewat media sosial.
Untuk menangkal sebaran hoax, Kominfo melakukan kembali pembatasan informasi dalam bentuk bandwith throttling yang dilakukan di Papua sejak pukul 13.00 sampai 20.30 WIT. Namun menurut relawan SAFEnet yang berada di Jayapura, sampai dengan hari Selasa (20/8) pukul 13.00 WIT jaringan telekomunikas di Jayapura dan Abepura belum kembali normal.
“Atas apa yang terjadi belakangan hari ini di Papua, SAFEnet sebagai organisasi yang memerjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara, menyesalkan dan meminta pemerintah Indonesia segera menindak pelaku rasisme di Insiden Surabaya,” ujar Executive Director SAFEnet Damar Juniarto. Karena tindakan rasisme itu melanggar hak warga negara yang dilindungi Pancasila dan UUD 1945 yang seharusnya mendapat perlakukan yang sama.
SAFEnet juga memprotes langkah pemerintah lewat Kominfo yang melakukan kembali praktek sensor/internet shutdown dalam bentuk pencekikan internet di provinsi Papua dan Papua Barat dengan dalih menekan peredaran hoaks yang memicu kerusuhan. “Salah satu bukti yang disodorkan sebagai hoaks ternyata tidak terverifikasi dengan benar sehingga langkah pembatasan tersebut tanpa dasar yang jelas,” jelas Damar.
Selain itu, tindakan pembatasan tersebut malahan membuat masyarakat di luar Papua tidak bisa mencari kebenaran peristiwa yang terjadi, mengecek keselamatan sanak-saudara, karena masyarakat di Papua tidak bisa mengirim pesan. Akibatnya seperti yang terlihat di Makassar, justru hoaks beredar di Makassar dan tidak bisa diverifikasi karena ketiadaan akses informasi di Papua.
“Tindakan pembatasan informasi ini harus berhenti cukup sampai hari ini. Tidak perlu dilanjutkan dan diulangi kembali di kemudian hari karena prasyarat terukur dan terkendali yang sempat diucapkan Menkopolhukam tidak bisa dipertanggungjawabkan secara transparan ke publik,” tambah Kepala Divisi Akses Informasi SAFEnet Unggul Sagena.
Unggul mengatakan, “Pemerintah Indonesia telah terbukti kembali melakukan pelanggaran hak digital, berupa pembatasan akses informasi yang sebenarnya dilindungi oleh pasal 19 ICCPR. Kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan menyatakan tuntutan terkait self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri, adalah hak asasi manusia yang diatur dalam pembukaan UUD 1945, Konvenan Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang telah diratifikasi Indonesia.”
Unggul juga memandang aksi di beberapa kota di Papua dan Papua Barat merupakan reaksi wajar dan bersifat damai, karena sampai saat ini tidak ada warga pendatang yang terkena dampak langsung dari aksi, kecuali infrastruktur sebagai bentuk kekecewaan dan kemarahan.
Justru yang harus dilakukan pemerintah Indonesia sekarang adalah menindak tegas para pelaku rasisme di Insiden Surabaya dan memberikan keadilan dan perlindungan yang layak bagi seluruh masyarakat Papua sebagai warga negara Indonesia.
Denpasar, 20 Agustus 2019