Pada Kamis, 18 Juli 2019, Pengadilan Tinggi Surabaya yang dipimpin oleh Hakim Ketua Arifin Edy Suryanto S.H. memutus bebas (vriejspraak) Ibu Saidah Saleh Syamlan (52 tahun) dan membatalkan Putusan Sidang di tingkat pertama Pengadilan Negeri Surabaya pada Selasa, 26 Februari 2019 nomer 3120/Pid.Sus/2018/PN Surabaya yang memvonis hukuman pidana penjara 10 bulan dan denda Rp5 juta subsider 1 bulan kurungan. Pengadilan Tinggi Surabaya juga memerintahkan agar kemampuan, kedudukan, kehormatan ibu Saidah Saleh Syamlan dipulihkan.
Terkait dengan putusan bebas dari Pengadilan Tinggi Surabaya ini, SAFEnet/Southeast Asia Freedom of Expression Network sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak digital di Asia Tenggara dan telah ikut mendampingi korban sejak Maret 2019 dalam mendapatkan keadilan menyatakan menghormati proses hukum yang berlaku dan berterima kasih kepada pimpinan majelis hakim di Pengadilan Tinggi Surabaya yang membuka diri untuk melihat kejanggalan-kejanggalan pada kasus Ibu Saidah Saleh Syamlan ini.
Seperti yang telah disampaikan SAFEnet lewat rilis pers di bulan Maret 2019, setidaknya ada tiga kejanggalan dari kasus yang berawal pada 12 September 2017 saat kuasa hukum PT Pisma Putra Textile, Muhammad Bayu Kusharyanto melaporkan pemilik nomer 08135780800 ke kepolisian di Surabaya. Dalam laporannya, kuasa hukum PT Pisma Putra Textile, mempermasalahkan pesan Whatsapp dari nomor 08135780800. Dalam pengembangan penyelidikan, polisi menemukan nomer tersebut terdaftar atas nama ibu Saidah Saleh Syamlan. Kemudian ia dimintai keterangan dan kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya.
Kejanggalan pertama, tidak adanya alat bukti yang sah. Barang bukti berupa hasil tangkap layar bukanlah alat bukti yang sah dalam persidangan UU ITE. Pemeriksaan lewat forensik digital atas perangkat yang digunakan untuk mengirim pesan Whatsapp haruslah dilakukan. Hal tersebut untuk membuktikan bahwa pesan itu benar dikirim dari nomer yang dipasang pada perangkat yang digunakan Ibu Saidah.
Tidak adanya pemeriksaan forensik digital itu menyebabkan persidangan dilandaskan hanya pada keterangan saksi. Ini tentu tidak bisa dijadikan landasan bahwa pengirim pesan Whatsapp tersebut adalah ibu Saidah, sekalipun nomer tersebut terdaftar atas namanya. Terlebih dalam keterangannya, Ibu Saidah mengatakan ia tidak pernah mengirim pesan Whatsapp tersebut. Bahkan ia tidak kenal dengan orang-orang yang kemudian dikatakan menerima pesan Whatsapp tersebut sehingga barang bukti kasus ini sebenarnya lemah.
Kejanggalan kedua, kasus pencemaran nama UU ITE tidak bisa dipisahkan dengan pasal 310-311 KUHP. Dalam penjelasan hasil revisi UU ITE No. 19 Tahun 2016 disebutkan bahwa pasal ini adalah delik aduan absolut, harus memenuhi unsur di muka publik, dan merupakan persoalan antar pribadi.
Dalam Pasal 310 KUHP ayat (1) ada 4 unsur penting yang harus dipenuhi, yaitu (1) dengan sengaja, (2) menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, (3) dengan menuduhkan sesuatu hal, (4) yang maksud diketahui umum, maka empat unsur tersebut haruslah terbukti lebih dulu dalam persidangan.
Pasal itu jelas mengatur bahwa unsur pencemaran nama baik harus menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Artinya, objek penghinaan dalam kasus pencemaran nama baik haruslah, manusia perseorangan dan bukan badan hukum atau badan usaha atau badan pemerintahan.
Selain itu, SAFENET menilai aduan yang diwakilkan oleh kuasa hukum, sangatlah membingungkan, apakah posisi kuasa hukum ini mewakili perusahaan atau individu pemilik perusahaan. Sehingga tidak jelas siapa pelapor yang nama baiknya dicemarkan.
Kemudian pesan Whatsapp ini sebenarnya percakapan antar pribadi, yakni antara nomer pengirim dan nomer penerima, dan bukan dilakukan secara publik, diketahui oleh umum. Dalam kasus ini tidak ada prasarana teknologi yang digunakan untuk membuatnya dapat diakses oleh orang lain selain dari penerima itu sendiri.
Kejanggalan ketiga, dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Republik Indonesia terkait petunjuk teknis penanganan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan bahwa sebelum informasi atau dokumen elektronik dijadikan alat bukti, harus dimintakan keterangan ahli dari Departemen Kominfo yang dalam penjelasan revisi UU ITE telah ditegaskan yang dimaksud adalah PPNS Kominfo Pusat. Sedangkan dalam kasus Ibu Saidah, saksi ahli ITE yang dihadirkan merupakan petugas Kominfo daerah Surabaya.
Untuk mencegah agar tidak terulang kembali kasus seperti yang dialami oleh Ibu Saidah Saleh Syamlan ini yang muaranya adalah penyalahgunaan pasal defamasi, yang termasuk pasal karet dan merampas hak asasi manusia di dalam UU ITE, maka SAFEnet mendesak keberadaan pasal-pasal karet UU ITE, mulai pasal 27, 28, 29 UU ITE segera dihapuskan.
Penghapusan pasal-pasal karet UU ITE ini sudah mendesak mengingat mereka yang dipidana semakin lama semakin meningkat dan potensi mereka yang sebetulnya tidak layak untuk dipidana semakin besar seperti pada kasus Ibu Saidah Saleh Syamlan ini.
Denpasar, 7 Agustus 2019