Pada tahun ini, SAFEnet menginjak usia ke-6 sejak diinisiasi pada 2013. Selama enam tahun berkiprah dalam memperjuangkan hak-hak digital, pada kali ini SAFEnet merayakannya dengan meluncurkan laporan tahun 2018 bertajuk ‘Jalan Terjal Memperjuangkan Hak-Hak Digital’ serta diskusi publik berjudul ‘Mengkaji Pembatasan Akses Informasi di Internet’ yang diselenggarakan di Jakarta, pada Kamis (27/6/2019).
Dalam laporan tahunan tersebut, tercatat iklim politik sepanjang 2018 berpengaruh atas jumlah pelanggaran hak digital warga. Selain juga dipengaruhi isu terorisme dan radikalisme. Akibatnya, hak-hak digital warga ikut terbatasi.
Sementara itu, SAFEnet mengkategorikan hak-hak digital dalam tiga bentuk. Yaitu hak akses informasi, hak berekspresi, dan hak rasa aman.
Terkait hak mengakses informasi, disebutkan sepanjang 2018 ada 11 aplikasi yang diblokir Pemerintah. Dengan alasan mengandung lebih dari 2000 konten negatif. Serta ada situs-situs yang diblokir karena dianggap menyebarkan paham-paham radikalisme.
Terkait hak berekspresi, disebutkan UU ITE masih digunakan untuk mengkriminalisasi warga dalam mengekspresikan pikirannya. Sepanjang 2018 ada 200 kasus. Jurnalis ikut pula menjadi korban. Tercatat ada pemberitaan yang dilaporkan dengan UU ITE, serta ada media yang dilaporkan karena tidak sesuai memberitakan sesuatu sehingga dilaporkan menggunakan UU ITE.
Sementar itu, berkaitan dengan pasal karet UU ITE, yang paling banyak digunakan untuk mengkriminalisasi adalah defamasi. Sementara kasus lainnya yaitu ujaran kebencian, pornografi, dan lain-lain.
Adapun, hak atas rasa aman di internet, sepanjang 2018 menampakkan adanya kerawanan keamanan. Yaitu munculnya Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Di mana warga atau netizen merasa terancam karena adanya pemerasan, ancaman pornografi, dan lain-lain sehingga hak atas rasa aman mereka dilanggar. Anindya Shabrina di Surabaya korban pelecehan seksual lalu dikriminalisasi dengan UU ITE.
Kemudian ada persekusi online kepada jurnalis. Seperti kasus Zulfikar. Dia men-tweet tentang UAS sehingga dibully ramai-ramai dan dipecat dari perusahaan tempat dia bekerja. Terakhir, pengumbaran data pribadi. LBH Jakarta ternyata sudah mendampingi 3 ribu kasus yang berhubungan dengan pengumbaran data pribadi. Ini terkait dengan fintech landing.
Berdasarkan analisa tersebut maka SAFEnet menilai sepanjang 2018, kasus yang berhubungan dengan hak digital di Indonesia dalam status waspada.
Diskusi Publik Pembatasan Akses Informasi
Salah satu kelompok yang hingga saat ini sering mengalami pembatasan akses informasi adalah kelompok LGBT, selain itu, mereka juga mengalami penyebaran data pribadi dan ancaman online. “Ancaman yang ada di online kami rasakan juga di offline. Sehingga berdampak pada kami dalam mencari tempat yang aman,” kata Ris Carolina dari Arus Pelangi.
Selain itu, Pembatasan akses informasi oleh pemerintah juga dialami para jurnalis. Terutama terkait demonstrasi pada 21 dan 22 Mei 2019 dalam penolakan hasil penghitungan suara pemilihan Presiden Indonesia 2019.
“Pada dua hari itu kita susah mengakses ketika ada kekerasan terhadap warga, korban salah tangkap,” tutur Sasmito Madrim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.
Unggul Sagena dari SAFEnet menjelaskan lebih jauh, “Pada Rabu siang, 22 Mei, sebenarnya Kementerian Kominfo sudah mengeluarkan Siaran Pers No. 105 mengenai imbauan tak sebar konten aksi kekerasan dan ujaran kebencian. Selang tiga jam kemudian langsung pembatasan fitur platform media sosial dan pesan instan. Kita melihat sebenarnya ini ada kegamangan. Antara Pemerintah sendiri mengakui mereka tidak sanggup dan sekalian ini semua supaya lebih gampang. Kesannya logikanya seperti itu.”
Unggul Sagena berpendapat siaran pers Kementerian Kominfo ini tidak disertai alasan, jangka waktu, dasar penetapan, maupun langkah optimal lain. Pembatasan internet merupakan penghalusan dari internet shutdown yang pernah terjadi di beberapa negara. Tetapi di Indonesia memiliki istilah baru yaitu pembatasan fitur. Pembatasan ini pun berdampak kerugian pada sektor bisnis online.
“Pada jangka waktu ini pun mencuat hal-hal lain. Bahkan penggunaan akses melalui VPN oleh masyarakat. Yang tadinya tidak tahu malah jadi tahu.”
Kriminalisasi di Ranah Digital
Sasmito Madrim menyebutkan bahwa yang tidak mendukung kebebasan pers punya banyak cara mengkriminalkan jurnalis. “Jurnalis dikriminalkan berdasarkan postingannya di media sosial. Walau postingannya sama dengan pemberitaan. Tetapi itu yang dilaporkan ke polisi. Ketika laporan ke Dewan Pers tidak berhasil maka mereka melaporkan postingan di media sosial.”
Jurnalis juga mengalami doxing dan diburu. Karena jurnalis itu tidak menyertakan gelar kehormatan pemimpin kelompok tertentu dalam pemberitaannya.
Hak atas akses informasi dan kebebasan berekspresi atau berpendapat menurut Ahmad Fathanah dari LBH Pers sudah dijamin dalam konstitusi pasal 28 E dan F. Tetapi ada pembatasan tersendiri dalam pasal 28 J. “Misalnya, anda tidak boleh menghina seseorang. Tetapi apakah kategori penghinaan ini harus diatur secara rigid?”.
Ahmad Fathanah melanjutkan “Kalau dari kami mengusulkan pasal penghinaan dalam UU ITE harus dihapuskan. Kalau tersinggung, gugat pakai perdata. Supaya kelihatan kerugian materiilnya seperti apa?”
Kasus Acho yang mengeluhkan di dalam blog pribadinya tentang tempat tinggalnya di apartemen Green Pramuka. Keluhan Acho yang tidak digubris pihak pengelola, bahkan diduga berisi pencemaran nama baik.
Di sisi lain, dalam Diskusi Publik ‘Mengkaji Pembatasan Akses Informasi di Internet’ ini Sasmito Madrim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyampaikan perlunya suatu badan yang bisa menangani warga digital dari upaya kriminalisasi.
“Ketika menyampaikan pendapatnya di media sosial lalu dikriminalisasi, kita belum punya wasit. Jadi sebelum dibawa ke polisi ada yang menangani warga digital. Ini bisa diinisiasi SAFEnet terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat warga digital.”
Badan ini digambarkan Sasmito Madrim akan berjalan mirip Dewan Pers yang menangani masalah para jurnalis. ****