Diskusi Aman Internetan untuk Perempuan dibuka dengan presentasi oleh Ika Ningtyas, yang dapat diunduh di https://bit.ly/2XD4jnM. Head Division Online Freedom of Expression (SAFEnet) ini memulai dengan memberi definisi kekerasan berbasis gender online (KBGO), sebelum kemudian memberi pemaparan statistik umum Januari 2019 dari We are Social perihal penggunaan internet di Indonesia. Saat ini, berdasarkan statistik We Are Social, YouTube adalah platform media sosial paling populer di Indonesia, dengan 88% pengguna, disusul oleh WhatsApp (83%), Facebook (81%), Instagram (80%), LINE (59%) dan Twitter (52%), sementara pengguna terbanyak berasal dari usia 18 – 34 tahun.
Di Indonesia, Komnas Perempuan menerima 65 laporan KBGO di tahun 2017, yang dibagi menjadi 8 jenis (meski dapat berkelindan):
- cyber grooming, atau pendekatan online untuk memperdaya. Biasanya pelaku akan mendandani dirinya, atau menggunakan foto orang lain yang ganteng/cantik, biasanya berseragam, untuk memperdaya orang yang dia dekati online.
- cyber harrassment, berupa ancaman, pelecehan
- hacking atau peretasan
- illegal content
- infringement of privacy (pelanggaran privasi), dan ini banyak terjadi di kampus, di mana koleksi video pacar pelaku dijual ke situs porno
- malicious distribution (ancaman distribusi video/foto pribadi), yang kata Ika, banyak dialami teman-teman buruh migran, untuk pemerasan
- online defamation (pencemaran nama baik)
- online recruitment
KBGO sendiri dilakukan karena berbagai motif dan tujuan. Ika kemudian menyarankan menggunakan beberapa akun untuk memisahkan hal pribadi dengan publik (misal: tidak menggunakan email pribadi dengan email untuk medsos), menciptakan pasword yang kuat (dapat dicek di https://howsecureismypassword.net/) dan nyalakan verifikasi login dengan 2-step verification/2-factor authentification. Ika juga menyarankan untuk ke https://haveibeenpwned.com/ untuk mencek apakah ada akun yang mengalami pelanggaran/pembukaan data. Pengaturan privasi akun medsos sebaiknya juga dicek secara berkala, dan jangan sembarangan percaya aplikasi (seperti kuis-kuis di Facebook) atau aplikasi/attachment. Jaga pula kerasahasiaan pin/password, dari pasangan sekalipun.
Pembicara berikutnya, Poedjiati Tan dari Arek Feminis, juga co-founder konde.co, memberi tambahan bahwa KBGO meningkat dari 65 di tahun 2017 menjadi 97 di tahun 2018. Sementara menurut data LBH Apik, jenis aplikasi yang digunakan dalam cyber crime juga seringkali adalah Tinder, Facebook, Instagram, dan Pinjam Online. Poedji kemudian memberi contoh mahasiswa Unair yang Desember tahun lalu menjual foto dan video mantannya. Ada juga kasus pegawai BPJS yang mengalami pelecehan seksual oleh atasannya dan melaporkan ke polisi tetapi malah mendapatkan cacian dari warganet.
Pola yang sering terjadi adalah dari pelaku mengajak kenalan melalui media sosial atau aplikasi kencan seperti Tinder, kemudian berlanjut dengan phone sex/sexting atau aktivitas seks secara online di mana pelaku diam-diam merekam atau mendokumentasikan aktivitas seksual tersebut, atau bertukar foto/video pribadi. Biasanya korban merasa tekanan untuk memberikan foto pribadinya setelah pelaku mengirimkan foto pribadinya dulu. Ini kemudian digunakan oleh pelaku untuk mengancam korban guna melakukan kekerasan (pemakasaan hubungan seksual secara offline, atau pemerasan). Namun ini biasanya tidak langsung dilakukan, tapi menunggu beberapa hari. Seringkali, perempuan merasa ah, apa bahayanya sih berhubungan seks online, toh tidak bisa hamil, tapi ada berbagai potensi bahaya lain yang perlu diwaspadai.
Sementara Anindya Joediono, editor Merah Muda Memudar yang juga korban pelecehan seksual saat pemutaran film di asrama Papua Surabaya yang digrebek polisi, menceritakan bagaimana dia malah dijerat dengan UU ITE setelah dia membuat kronologi kejadian di media sosial. Undang-undang dan peraturan yang ada sekarang dinilai sangat tidak cukup untuk melindungi korban.
Acara disambut dengan diskusi antusias dari pengunjung. Ada yang menceritakan bagaimana mendapatkan data pribadi begitu mudah sekarang. Ada yang berkomentar barangkali akan lebih aman jika kita kembali ke handphone jadul, meskipun ini adalah suatu kesalahpahaman. Handphone jadul tidak lebih aman daripada smartphone, meski kapasitas datanya jauh lebih sedikit, karena data telpon dan teksnya tidak terenskripsi dan karenanya sangat mudah disadap. Diskusi diakhiri dengan usulan dan permintaan dari peserta untuk membuat workshop/diskusi perihal literasi dan keamanan digital, khususnya di kampus di mana banyak sekali kasus terjadi.